Saya mendapatkan pelajaran minggu lalu,  bahwa untuk menjadi orang baik tidak mesti menjadi pejabat dulu atau menjadi orang kaya dulu. Orang baik itu bisa saja orang biasa saja. Untuk menjadi orang baik yang diperlukan hanyalah  sikap hidup  kesediaan untuk berbagi. Meskipun dalam kesusahan, orang itu tetap bersedia untuk berbagi dengan orang lain, dengan tetangga, dengan kawan-kawan dan dengan sesama pemukim di lingkungannya.Â
Ciri-ciri untuk mengenali  seseorang itu orang baik ternyata adalah kesedihan  mendalam semua orang sewaktu orang itu pergi, meninggalkan mereka untuk selamanya. Semua warga di lingkungannya bersedih, sebagian malah menangis dengan suara keras pada waktu jenazahnya sampai  di rumah. Pada hal  sebagian besar di antara mereka, tidak punya hubungan saudara, hanya teman, hanya tetangga, hanya mitra dalam usaha, dan sebagainya.
Hal Itulah yang  saya temui minggu lalu. Adik ipar saya terkena serangan jantung dan dirawat di rumah sakit.  Kami bergegas ke RSU  Abdul Muluk di Bandar Lampung. Tapi malaikat  maut lebih dulu datang untuk mencabut nyawanya. Jenazahnya lalu dibawa pulang ke rumahnya di  kota kecil pelabuhan feri, Bakauheni, Lampung Selatan.
Pada waktu itulah terlihat pemandangan luar biasa, rumah dan halamannya  penuh dipadati pelayat, sebagian menangis tersedu-sedu dengan tangisan yang keras. Ada warga setempat, ada orang bugis,  Jawa dan juga kawan, relasi serta sanak familinya dari Sumbar.
Saya bertanya kepada isteri dan famili, kenapa banyak benar pelayat yang datang dan  dan banyak sekali yang menangis. Jawab mereka, karena almarhum banyak memberikan pertolongan kepada siapa saja yang memerlukan, meskipun hidupnya juga susah.  Ia dipandang tokoh masyarakat karena termasuk pemukim pemula di kota pelabuhan itu. Ia menjadi tempat melapor  orang-orang jika mendapat kegembiraan atau kesusahan.
Kala ia mendapat rezeki, ia membeli lahan-lahan  yang ditawarkan orang kepadanya,  tetapi  orang yang menjualnya diberi tugas untuk meneruskan usaha taninya di lahan itu. Ia hanya mendapatkan bagian seperlunya saja, hanya sebagai tanda bahwa lahan itu miliknya. Ia membeli lahan tambak udang  kepada penduduk lokal yang sampai puluhan tahun masih terus menggarapnya,  yang memberikan bagi hasil terserah saja tanpa hitung-hitungan.  Ia membeli sebuah kapal  nelayan karena kasihan dengan pemiliknya yang  bangkrut dan menyerahkan kapal itu untuk tetap dikelola oleh pemilik lama. Ia menjadi tempat  berutang orang-orang yang usahanya hampir bangkrut.Â
Lalu, jika ada famili dan keluarga setempat yang punya hajatan kawinan, ia membantu mereka agar selamatan kawinan mereka  berlangsung meriah. Ia bahkan seringkali menawarkan rumahnya yang terbilang cukup besar di kota Bakauheni itu menjadi tempat pesta perkawinan secara gratis.  Bahkan banyak  pasangan pengantin yang biaya pesta perkawinan mereka dia bantu sepenuhnya.
Konon setiap hari raya, baik Idul fitri maupun idul adha, seakan sudah menjadi tradisi, sehabis shalat  ied, seluruh warga, khususnya para pedagang yang tergolong UMK  di lingkungan itu akan mampir dulu  di rumahnya untuk menikmati ketupat lebaran sambil ber-halal-bihalal dan bersilaturrahim.
Jadi untuk menjadi orang baik itu, menjadi orang yang disayangi warga di lingkungannya dan di kotanya, Â tidak mesti menjadi pejabat dulu, tidak mesti menjadi orang kaya dulu. Yang diperlukan adalah sikap mau berbagi kepada siapa saja, apa lagi warga yang membutuhkan. Itulah pelajaran yang saya peroleh minggu lalu.
Sekian dulu dan salam Kompasiana
M. Jaya Nasti
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI