Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sidang Ahok dan Kemungkinan Putusan Tidak Bersalah

13 Desember 2016   07:29 Diperbarui: 13 Desember 2016   09:27 7501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Maka ia ditangkap lalu dihadapkan pada sidang pengadilan. Hakim yang ditunjuk memimpin perkara itu, memutuskan untuk membebaskan biarawan itu, meskipun ia telah mengucapkan caci maki yang sangat menghina Nabi Muhammad itu. Hakim menilai, Perfectus melakukannya akibat diprovokasi oleh orang-orang Arab muslim. Tapi beberapa hari kemudian, sang Biarawan kembali berteriak di tengah keramaian, menghina Nabi Muhamad dengan kata-kata yang lebih kasar dan vulgar. Ia ditangkap dan disidang kembali. Kali in hakim memutuskan ia bersalah dan menetapkan sanksi hukuman baginya. Ia dieksekusi mati. 

Begitulah hukum secara islami ditegakkan 1200 tahun yang lalu. Hakim tidak ragu dalam menegakkan keadilan. Hakim tidak takut pada tekanan publik atau massa. Karena itu pula tidak ada diskiriminasi, apakah suatu kesalahan atau kejahatan dilakukan oleh muslim atau non muslim. 

Apa yang dilakukan Ahok sebenarnya sangat jauh dari perbuatan biarawan itu. Ahok tidak menyebut sama sekali nama orang-orang, dan tidak berkata secara kasar, seperti yang dilakukan sang biarawan. Ahok tidak menghina al-Quran dalam bentuk perbuatan fisik seperti mencampakkan kitab suci umat Islam itu ke tanah. Ahok bersalah hanya karena satu kata saja yakni menyebutkan “al-Maidah ayat 51”. Jika kata itu tidak disebutkannya, maka kalimat itu tidak mengandung makna penghinaan kepada al-Quran. 

Ahok juga tidak melakukan penghinaan terhadap Islam sebagaimana yang dilakukan oleh Geert Wilders, Ketua Partai Kebebasan di Belanda. Wilders membuat dan merilis film “fitna” yang isinya sangat menghina Islam, Al-Quran dan Nabi Muhammad. Tentang Al-Quran sendiri Gert Wilders berpidato bahwa seharusnya Al-Quran tidak dibolehkan beredar di Belanda, karena separonya berisi hasutan untuk memerangi Kristen. 

Hukum Islam sendiri bisa lebih keras, jika kesalahan itu bersifat fatal dan bisa mengancam eksistensi Islam. Misalnya yang dlakukan Nabi Muhammad kepada Bani Kainuka dan Bani Nadir, dua suku Yahudi yang bermukim di Madinah. Karena terbukti bersalah berkomplot hendak membunuh Nabi Muhammad dengan racun dan mempermalukan seorang muslimah yang berbelanja di pasar. Kedua kelompok Yahudi itu diusir dari kota Madinah. Sementara satu kelompok Yahudi lainnya (Bani Khuraizah) tidak diganggu gugat. Mereka aman dan dapat melanjutkan bisnis mereka yang banyak bergerak sebagai pandai besi. Bahkan mereka meminjamkan alat-alat untuk menggali parit kepada pasukan Islam, untuk mempersulit pasukan kafir memasuki kota Madinah, sebelum terjadinya Perang Khandaq. 

Akan tetapi hukum Islam bisa jauh lebih keras. Sewaktu Bani Khuraizah berkhianat. Bani Khuraizah adalah kelompok Yahudi terakhir yang bermukim di Madinah. Pada saat berlangsung Perang Khandaq, mereka membelot, ikut menjadi bagian pasukan kafir yang memerangi pasukan Islam. Maka segera setelah perang usai, Nabi Muhammad menunjuk seorang hakim untuk memutus perkara itu. Hakim itu memutuskan hukuman pancung kepada seluruh laki-laki yang menjadi pengkianat perang. Nabi Muhammad menyetujui keputusan itu. 

Oleh sebab itu, kesimpulan saya adalah Ahok hanya melakukan kesalahan dari sudut kebahasaan, karena menyisipkan satu kalimat dalam pidatonya di Kepulauan Seribu, yang mengandung makna penghinaan terhadap al-Quran. Tapi utuk mengetahui kesalahan itu diperlukan analisis yang mendalam dari sudut kebahasaan. Warga masyarakat awam tidak menyadari dan tidak mengetahui adanya kesalahan tersebut. Selain itu, kesalahan itu terjadi karena Ahok terprovoasi oleh banyaknya serangan kepada dirinya sebagai cagub DKI Jakarta pada Pilkada 2017. Kesalahan yang terjadi karena provokasi, seperti dalam kasus biarawan di Kordoba, adalah dibebaskan. Ia harus dipandang tidak melakukan kesalahan. Ia baru dihukum bersalah jika mengulangi perbuatannya. Hal itu tentu hanya bisa terjadi kalau hakim yang ditunjuk betul-betul hendak menegakkan keadilan, bukannya takut dan tunduk kepada tekanan massa yang menginginkan Ahok segera ditahan. 

Semoga demikian. Sekian dulu, salam Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun