Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik

Petisi Perlindungan Hukum Untuk Ahok

25 November 2016   04:48 Diperbarui: 25 November 2016   10:38 3040
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya lihat di televisi (News TV) Din Syamsudin, Ketua Dewan Penasehat MUI yang juga mantan Ketum MUI serta PP Muhammadiyah,  meminta Polisi menahan Ahok. Alasannya hanya menjadikan Ahok tersangka belum sepenuhnya memenuhi tuntutan para demonstran 4/11. Dengan pernyataan itu, Din Syamsudin sebenarnya telah memillih panggungnya, menjadi bagian dari pembenci Ahok, bersama Amien Rais, Habib Rizieq, Bachtiar Nasir dan lain-lain. Yaitu mereka yang memilih paham Islam garis keras.

Saya pernah menulis di Kompasiana mengenai proses hukum penodaan agama Islam yang dilakukan Ahok.  Dengan mengacu Perpres No. 1 Tahun 1965, hukuman bagi Ahok  jika diputuskan bersalah melakukan penodaan agama, hanya mendapatkan peringatan untuk tidak mengulang perbuatannya itu.  Ahok baru terkena hukuman penjara jika ia melakukan hal yang sama. Jadi harus ada tahap pemberian peringatan terlebih dahulu. Baca http://www.kompasiana.com/mjnasti/hukuman-yang-setimpal-untuk-ahok-atas-tuduhan-penistaan-agama_5806bc395c7b61753f13e53f  

Akan tetapi di Negara kita ini ketentuan undang-undang bisa saling bertentangan. Perpres No. 1/1965 tersebut diterbitkan pada 1965, masih di era Presiden Sukarno. Perpres itu ternyata telah dianulir oleh KUHP pasal 156, khususnya Pasal 156a, yang menghapus adanya tahap pemberian peringatan itu.

Saya pikir, ketentuan hukum yang benar adalah  yang digariskan Perpres 165, karena sudah sesuai dengan “jurisprudensi” pada masa  kekhalifahan Islam hampir 1200 tahun yang lalu. Jika merujuk kepada sejarah Islam, dalam buku “Sejarah Muhammad” yang ditulis oleh Karen Amstrong, dikisahkan tentang seorang biarawan bernama Perfectus  yang menghina Islam. Biarawan itu berbelanja di pasar Cordoba, ibukota kerajaan Islam di Andalusia. Ia didatangi oleh sejumlah orang Arab yang berniat melakukan provokasi.

Mereka mengajukan pertanyaan, siapa yang lebih besar, Yesus Kristus atau Nabi Muhammmad SAW. Perfectus menyadari bahwa ia mendapatkan pertanyaan jebakan. Kalau ia menjawab Yesus Kristus ia akan dipandang menghina Nabi Muhammad, karena ia berada  di suatu kerajaan Islam. Mula-mula ia menjawab hati-hati. Tetapi kemudian ia membentak dan berteriak-teriak dengan menuduh nabi Islam itu tidak lain adalah dukun klenik, petualang sex dan anti kristus.  Maka ia langsung diseret ke penjara. Hakim (Qadi) yang ditunjuk memimpin perkara  memutuskan untuk tidak memberinya  hukuman, karena Perfectus terbukti telah diprovokasi sebelumnya. Ia pun dibebaskan.

Tetapi beberapa hari kemudian Perfectus mengulang perbuatannya, ia kembali mengejek Nabi Muhammad  dengan bahasa yang sangat keras. Akibatnya Qadi tidak punya pilihan lain dalam melaksanakan tanggung jawabnya selaku Qadi. Biarawan itu diputuskan dieksekusi mati.

Kisah itu hampir mirip dengan yang terjadi pada Ahok. Sebelum ia keseleo lidah di Kepulauan Seribu itu, sudah lama, bahkan sejak di Belitung sana sewaktu menjadi caalon bupati,  Ahok mendapatkan serangan dari kelompok-kelompok Islam garis keras karena pada dirinya melekat double minoritas(etnis Cina dan Kristen). Terakhir, para tokoh Islam garis keras dan tokoh politik seperti Rizieq Shihab,  Amien Rais, Hidayat Nurwahid dan Bachtiar Nasir merilis Risalah Istiqlal,  yang antara lain berisi himbauan kepada seluruh umat Islam Jakarta untuk hanya memilih pemimpin muslim pada Pilkada 2017 dengan memakai dalil al-Maidah 51 itu. 

Ahok sepertinya terpancing dengan provokasi itu sehingga memberikan perlawanan. Ahok hanya menyebutkan satu patah kata saja yang menjadi pangkal penghinaan,  yaitu al-Maidah ayat 51. Soalnya ayat itulah yang selalu digunakan para ulama garis keras dan aktor politik untuk menghentikan langkahnya memenangkan Pilkada Jakarta 2017.

Pada hal Ahok tidak mengatakan ayat itu tidak benar. Dengan terjemahan bebas, ia hanya mengatakan bahwa ada orang-orang yang memakai ayat itu sebagai dalil untuk tidak memilihnya dalam Pilkada. Malah Ahok mempersilahkan rakyat tidak memilihnya jika takut dengan peringatan yang disampaikan ayat itu.

Pada hal Habib Rizieq Shihab, Imam Besar FPI juga pernah pidato dengan kalimat yang hampir sama. Ia mencela para ulama yang disebutnya ulama abal-abal, ulama sesat, yang memakai ayat-ayat al-Quran untuk tujuan menipu umat Islam. Habib Rizieq tidak memperjelas ulama yang dimaksud. Bisa jadi semua ulama yang tidak sepaham dengannya. Jadi nuansa penghinaan terhadap ulama yang disampaikannya jauh lebih besar. Tetapi entah mengapa, umat Islam Indonesia ridak mempersoalnya. Sebenarnya Habib Rizieq telah menghina para ulama, sehingga ia juga  juga menghina agama Islam.

Pada mulanya tidak ada yang merasa ada yang salah dalam pidato Ahok. Tetapi beberapa hari kemudian, seseorang yang tidak dikenal, bernama Buni Yani memposting transkrip potongan setengah menit dari pidato panjang Ahok yang durasinya  sekitar satu jam lebih,  disertai judul provokatif ”Penistaan Terhadap Agama?.  Para ulama dan tokoh politik pembenci Ahok seperti mendapatkan bahan bakar. Mereka segera melaporkan Ahok telah menistakan agama Islam dan ulama. Pernyataan Ahok itu digoreng sedemikian rupa dan disampaikan secara sangat provokatif kepada umat Islam, yang tanpa berpikir, tanpa periksa dan tanpa bertanya lagi  langsung percaya bahwa Ahok telah menghina Islam dan ulama. Maka terjadilah unjuk raksasa terbesar 4/11.

Sidang gelar perkara dalam penyelidikan kasus penistaan agama oleh Ahok telah digelar. Keputusannya Ahok dinyatakan bersalah dan dijadikan tersangka. Tetapi saya yakin bahwa keputusan itu dibuat karena Polri atau Bareskrim berada di bawah tekanan dan ancaman ulama garis keras dan tokoh politik pembenci Ahok. Mereka mengancam akan melakukan demo yang lebih besar lagi pada 25/11. Untuk mendinginkan situasi, Polri mengalah. Jadi keputusan itu dibuat tidak murni sesuai dengan fakta dari keterangan para saksi pada gelar perkara, tetapi lebih bersifat politis. 

Tentu para pendukung Ahok yang jumlahnya jutaan sebagai silent majority, yang umumnya diam dan menyimak dari belakang, mulai melakukan perlawanan balik. Saya baca di sejumlah medsos, ada petisi kepada Kapolri dan Kabereskrim. Petisi itu sudah ditandatangani oleh hampir 25.000 orang. Mereka menuntut adanya perlindungan hukum bagi Ahok terkait tuduhan penistaan agama. Mereka menyebutkan bahwa Ahok telah beberapa kali menyampaikan permohonan maafnya secara tulus. Tidak ada niat sama sekali dari Ahok untuk menghina agama Islam, karena ia sadar betul 90% konstituennya adalah Umat Islam.

Selain itu, pemrakarsa petisi menilai, penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok terlalu dipaksakan. Ia memberikan sejumlah argumen, antara lain masyarakat Kepulauan Seribu baik-baik saja, tidak ada yang tersinggung dan protes saat Ahok melontarkan pernyataannya,  yang kemudian disebut telah menistakan agama.

Pemrakarsa juga berpendapat bahwa penetapan status tersangka Ahok tidak tepat. Sebab, Perpres Nomor 1 Tahun 1965 yang mengatur penerapan Pasal 156a KUHP yang menjerat Ahok, menyebutkan perlunya ada tahap peringatan sebelum pemidanaan. Pasal 156a KUHP baru bisa efektif setelah ada pembahasan oleh forum Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat dan Keagamaan (Bakor Pakem) yang terdiri dari Kementerian Agama, kejaksaan, kepolisian, Badan Intelijen Negara, serta tokoh masyarakat yang menetapkan suatu aliran dinyatakan sesat. Bila belum masuk ke forum Bakor Pakem dan prosedur tersebut juga belum dijalankan, itu belum bisa masuk ke pasal penodaan agama.

Mereka juga berdalih, seandainya ucapan Pak Ahok saat itu dianggap telah menista agama (sekalipun), tetapi ucapan tersebut tidak dapat serta-merta mengakibatkan Pak Ahok dikenakan status tersangka. Karena, kedua ketentuan hukum tentang penistaan agama mensyaratkan bahwa harus ada tahapan peringatan terlebuh dahulu!.

Akan tetapi saya melihat posisi Ahok memang semakin terjepit. Apalagi tokoh Islam sekaliber Din Syamsudin sudah bergabung dengan para ulama garis keras dan tokoh politik pembenci Ahok. Ia mempunyai pengaruh kuat di Muhammadiyah dan MUI. Ia mempunyai jaringan perkawanan yang sangat luas.

Sekian dulu, Salam Kompasiana

M. Jaya Nasti

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun