Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tabayyun, Perintah Tuhan yang Tidak Dipatuhi oleh MUI

10 November 2016   09:18 Diperbarui: 10 November 2016   09:29 5111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menuduh seseorang berbuat kejahatan memerlukan pembuktian. Begtulah ketentuan hukum dan juga menurut ajaran agama. Misalnya menuduh seseorang berselingkuh atau berbuat zina. Ajaran Islam mengharuskan adanya 4 orang saksi laki-laki yang menyaksikan langsung perbuatan itu dilakukan oleh si tertuduh.  Jika tidak bisa membuktikannya, maka si pelapor atau si penuduh yang justru dihukum. Jika hukum syariat Islam yang dijalankan, maka hukumannya adalah dicambuk 80 kali.

Lalu bagaimana terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama  yang dituduh melakukan penistaan terhadap agama Islam, khususnya kitab suci al-Quran?.  Si pelapor atau penuduh tentu harus bisa membuktikannya, dengan alat bukti yang akurat. Jika tidak bisa membuktikannya, maka si pelapor harus dihukum berat, dengan tuduhan mencemarkan nama baik. Ia harus dihukum masuk penjara.

Itulah keadilan yang diajarkan agama Islam kepada dunia. Sebagaimana firman Allah dalam surat  al-Maidah /5:6, ……. “dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”…...

Oleh sebab itu agama Islam mengajarkan untuk berhati-hati dalam menerima berita.  Bisa saja berita itu bohong, yang disebarkan oleh orang jahat dengan maksud tertentu. Misalnya untuk menjatuhkan dan merusak nama baik seorang pemimpin. Untuk itu, Islam mewajibkan untuk melakukan tabayyunterlebih dahulu, sebelum bertindak. Tabayyun artinya melakukan penyelidikan untuk mendapatkan kebenaran berita yang tersebar

Dalam al-Quran setidaknya ada lima ayat yang terkait dengan perintah melakukan tabayyun dalam menerima berita, yaitu al-Hujurat/49:6, 12 dan al-Isra’/17:36, An-Nur/24:12, 15.

Dalam al-Hujurat/49:6, Allah berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.

Dalam al-Hujurat/49:12, Allah berfirman :

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. ……….

Dalam an-Nur/24:12, Allah berfirman :

Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang² mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata."

Dalam an-Nur/24:15, Allah berfirman :

(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (An Nur 15)

Dalam al-Isra’/17:36 Allah berfirman :

”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung-jawabannya”.

Selain itu, sejumlah hadist diriwayatkan sabda Nabi Muhammad yang terkait dengan sikap dalam  menerima berita antara lain :   

“jauhilah dirimu dari persangkaan karena persangkaan itu adalah sedusta-dusta perkataan” (HR Bukhari : 5144)

“Pelan—pelan itu dari Allah, sedangkan terburu-buru itu dari setan” (Musnad Abu Ya’la 7/247, dishahihkan oleh Albani : 4/4041)

Celakanya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memiliki wewenang menerbitkan pendapat dan fatwa tentang urusan agama, tidak melakukan tabayyun secara benar. Mereka juga terlalu tergesa-gesa dalam mengeluarkan pendapat atau fatwa bahwa Gubernur Ahok memang telah melakukan penistaan terhadap agama Islam. Buktinya, MUI tidak meminta klarifikasi kepada Ahok. MUI mendasarkan pendapatnya pada berita bohong  atau hoax yang disebarkan melalui Facebook oleh seseorang yang tidak dikenal sebelumnya.

Setelah dilakukan penelitian terhadap potongan pidato Ahok yang asli ternyata berita yang disebarkan itu sudah diedit terlebih dahulu. Ada kata yang dibuang, sehingga makna kalimat itu berubah. Lalu ada tambahan berupa pemberian judul yang sifatnya  provokatif.

Pada hal dalam pidato selama lebih satu jam, Ahok sama sekali tidak terkandung penghinaan terhadap al-Quran.  Dalam pidato tanpa teks itu, Ahok mempersilahkan rakyat tidak memilihnya dalam Pilkada 2017 karena dibodohi oleh orang-orang yang memakai surat Al-Maidah ayat 51. Ujaran Ahok itu sebenarnya  dapat disandingkan dengan sebuah pidato Habib Rizieq,  pemimpin FPI, yang justru menghujat ulama-ulama yang digolongkannya ulama abal-abal, ulama fasik dan ulama bejat, yang membodohi umat dengan menggunakan ayat-ayat al-Quran.

Pada hal ulama di Indonesia tidak ada yang diverifikasi sebagai ulama yang benar dan ulama abal-abal. Semua sama, seperti Habib Rizieq. Ia disebut ulama karena  selalu memakai jubah dan pintar berorasi.  Ada pula yang disebut ulama karena memiliki padepokan atau sering mengisi acara dakwah di televisi, seperti Gatot Brajamusti, Kanjeng Dimas dan Guntur Bumi. Tapi tidak ada lembaga resmi yang memberikan sertifikat ulama kepada mereka.

Jadi, jelaslah kesalaha MUI tidak melakukan tabayyun, yang diperintahkan Tuhan melalui  sesuai ayat-ayat tabuyun di atas.  Maka MUI menerbitkan fatwa atau pendapat bahwa Ahok telah menistakan agama Islam, dalam hal ini kitab suci al-Quran  dan para ulama. Pendapat MUI itulah yang memicu terjadinya demostrasi besar 4/11.

Maka ratusan ribu orang terbakar emosinya. Mereka  percaya dengan pendapat MUI  bahwa Ahok memang telah menghina al-Quran dan ulama. Terjadilah demo terbesar dalam sejarah RI pada 4 November 2016. Para demonstran meneriakkan agar Ahok harus ditangkap hari itu juga dan dimasukkan ke dalam penjara. Yang  ikut demo bukan saja rakyat awam. Banyak pula umat bergelar sarjana dan bahkan doktor dan profesor yang ikut demonstrasi.

Akan tetapi MUI merasa tidak bersalah. Mereka merasa masih di jalan kebenaran. Mereka tidak merasa berdosa tidak mematuhi perintah Allah mengenai tabayyun secara benar. Bahkan mereka berdalih, tidak ada keharusan meminta keterangan kepada Ahok.

Saya setuju dengan pendapat Buya Syafii Maarif, MUI harus bertanggung jawab dengan pendapat dan fatwanya yang memicu terjadinya demo paling besar dalam sejarah Indonesia. Sudah banyak demo dan tindak kekerasan terjadi karena fatwa dan pendapat-pendapat yang dirilis oleh MUI.

Sekian dulu, salam kompasiana

M. Jaya Nasti

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun