Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Masukan ABS yang Membuat Jokowi Pontang Panting

16 September 2016   05:09 Diperbarui: 16 September 2016   06:51 2914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masuknya Sri Mulyani Indrawati (SMI) dalam Kabinet Kerja Resuffle Jilid dua menciptakan suasana baru dalam pemerintahan.  SMI, dalam tugas pertamanya selaku Menkeu, memprioritaskan perbaikan RAPBN agar lebih sehat dan realistis sesuai dengan kondisi ekonomi Indonesia. Hasilnya, sebesar Rp 133,3 Triliun dipangkas. Yang terkena pemangkasan mencakup dana operasional kementerian dan DAU bagi daerah. Akibatnya, para gubernur dan bupati serta walikota se Indonesia menjerit. Bahkan Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah menulis sebuah artikel di kompas.com  yang berisi keluhan dan jeritannya terhadap  pemangkasan besar-besaran oleh SMI.

SMI bukan sembarang orang.  Ia adalah orang Indonesia pertama dipercaya menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia. Ia juga adalah mantan Menkeu di era Presiden SBY. Ia pernah dinobatkan sebagai Menteri Keuangan terbaik Asia untuk tahun 2006 oleh Emerging Marketspada 18 September2006. Ia juga terpilih sebagai wanita paling berpengaruh ke-23 di dunia versi majalah Forbes tahun 2008 dan wanita paling berpengaruh ke-2 di Indonesia versi majalah Globe Asia bulan Oktober 2007.

Tapi SMI tersingkir dari jabatannya selaku Menkeu karena SBY tidak memback-upnya dalam urusan politik. Masalahnya ia ngebet mengejar setoran tunggakan pajak sebesar Rp 2 Trilun oleh perusahaan-perusahaan milik petinggi Golkar, Aburizal Bakrie.

Menarik bahwa draft RAPBN 2017 disiapkan oleh Menkeu sebelumnya, Bambang Brodjonegoro (BB).  Begitu SMI datang maka terjadilah koreksi terhadap RAPBN yang disiapkan BB, berupa pemangkasan anggaran besar-besaran tersebut. Terlihat bahwa  sebelumnya BB ternyata tidak terlalu peduli dengan kondisi perekonomian Indonesia yang morat-marit selama 2015 dan 2016. Ia selalu membuat RAPBN  yang sangat optimistik. Ia mengabaikan fakta bahwa pada 2015 hampir seluruh target penerimaan negara tidak tercapai. Bagi BB, yang penting Presiden Jokowi senang.

Penerimaan Negara dari pajak pada 2015 tidak tercapai karena perlambatan pertumbuhan ekonomi di hampir seluruh negara di dunia. Pemerintah hanya mampu merealisasikan penerimaan pajak senilai Rp 1.055 triliun atau sekitar 81,5 persen dari yang ditargetkan dalam APBNP 2015 yang tercatat Rp 1.294,25 triliun.  Dengan demikian, secara nominal  target itu meleset sebesar Rp 239 Triliun, Dalam penjelasan Kemenkeu, berdasarkan perhitungan sementara, realisasi pendapatan negara hanya mencapai Rp 1.491,5 triliun atau 84,7 persen dari target yang tercatat Rp 1.761,6 triliun, atau meleset sebesar Rp 270 Triliun.  Penerimaan tersebut merupakan penjumlahan dari penerimaan pajak, bea cukai serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

 Penerimaan Negara dari sektor Migas juga mengalami penurunan karena turunnya harga minyak  dunia dari USD 100 menjadi hanya USD 37 per barel, dan lifting migas yang juga terus menurun karena sumur-sumur migas sudah tua. Satuan Kerja Khusus Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas) mencatat penerimaan negara dari sektor minyak dan gas sepanjang 2015 hanya mencapai USD 12,86 miliar atau Rp 177,47 triliun. Pencapaian ini hanya 85% dari target APBN-P 2015 sebesar USD 14,99 miliar. 

Angka ini jauh lebih kecil dari penerimaan negara pada 2014 yaitu US$26,7 miliar. Karenanya penghapusan subsidi BBM yang diharapkan menghasilkan Rp 300 Triliun, ternyata langsung terhapus karena tidak tercapainya target pendapatan Negara, termasuk penurunan harga minyak dunia tersebut. 

Akibatnya Negara mengalami defisit anggaran yang cukup parah. Defisit anggaran mengalami peningkatan dari Rp 272,2 triliun di APBN Induk 2016 menjadi Rp 313,2 triliun dalam RAPBN tahun 2017. Kondisi itu menyebabkan  Pemerintah terpaksa menambah utang luar negeri. Bank Indonesia  melaporkan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir triwulan II 2016 tercatat sebesar US$ 323,8 miliar atau setara dengan Rp 4.273 triliun.  Selama 2 tahun masa pemerintahan Presiden Jokowi, utang luar negeri pemerintah meningkat sebesar hampir Rp 600 triliun.

Meskipun demikian, BI masih menyatakan bahwa utang sebesar itu dalam koridor  aman. Total utang itu jika dikaitkan dengan Gross Domestic Product/produk domestik bruto (GDP) Indonesia hanya sekitar 36,7 persen. Dibandingkan sejumlah Negara termasuk Malaysia dan bahkan Amerika Serikat, utang Negara masih terbilang kecil jika dilihat dari rasio GDP setiap Negara.

Presiden Jokowi menyadari kekeliruannya yang menerima begitu saja konsep yang disodorkan BB selaku Menkeu. Presiden Jokowi lalu membujuk SMI yang sedang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Bank Dunia untuk kembali ke Indonesia. SMI diminta  untuk kembali  mengurus keuangan Negara yang kacau balau. Untunglah SMI bersedia memenuh ajakan Presiden Jokowi. Maka pada reshuffle Kabinet Kerja kedua, SMI duduk menggantikan BB, yang posisinya digeser menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan/Ketua Bappenas.

Sebagai akibatnya, bahkan sebelum melakukan reshuffle kedua,  Presiden Jokowi terpaksa pontang-panting mencari sumber pendanaan alternatif untuk menutup defisit anggaran yang terjadi. Maka muncullah ide untuk merealisasikan dana yang diperoleh dari pengampunan pajak (tax amnesty, TA) yang diharapkan bisa menutupi sebagian defisit anggaran. Presiden Jokowi sangat antusias untuk mengegolkan RUU TA tersebut, dengan berkali-kali melobi pimpinan DPR serta partai politik. Akhirnya RUU TA disahkan menjadi Undang- Undang. Presiden Jokowi tampil di berbagai kota untuk mensosialisakan UU TA tersebut kepada para pengusaha.

Sekali lagi BB  membuat kekeliruan dengan membuat target pemasukan dari TA yang terlalu optimistik karena sikapnya yang ABS itu. Target penerimaan Negara dari TS yang disodorkannya sebesar Rp 165 Triliun. Banyak pengamat ekonomi pesimis, dan meyakini target penerimaan negara dari TA tersebut tidak akan tercapai. SMI kelihatannya juga menerima pandangan itu. Penerimaan dari TA paling hanya sebesar Rp 60-70 triliun.  Namun SMI memutuskan untuk tidak merubah target tersebut. Tapi SMI bersiap-siap jika  target penerimaan TA gagal, ia akan kembali melakukan pemangkasan pada APBN-P 2017.

Lalu, setiap kali berkunjung ke luar negeri, Jokowi  selalu menawarkan kerjasama dengan para kepala Negara yang dikunjungi. Ia mengajak mereka untuk melakukan investasi di Indonesia, serta menjanjikan berbagai kemudahan.  Presiden Jokowi juga tidak lupa menjajakan Indonesia kepada para pengusaha setempat, untuk berinvestasi di Indonesia. Hasilnya cukup lumayan. Presiden Jokowi setiap pulan dari kunjungan luar negeri selalu membawa oleh-oleh berupa komitmen dari kepala Negara dan para pengusaha  luar negeri untuk melakukan investasi di Indonesia.

Hal yang menarik, Presiden Jokowi membiarkan saja SMI melakukan pemangkasan RAPBN 2017. Biarlah dana untuk keperluan perjalanan dinas, seminar, rapat-rapat  di hotel mewah dan sebagainya dipangkas habis.  SMI bahkan juga memangkas dana tunjangan profesi  guru sebesar Rp 23 Triliun.  SMI menjelaskan bahwa dana itu merupakan kelebihan penganggaran, karena gurunya memang tidak ada atau gurunya ada tetapi belum lulus sertifikasi profesi.

Tetapi Jokowi memesankan agar dana untuk keperluan pembangunan infrastruktur ekonomi jangan diganggu. Pesan Presiden Jokowi tersebut diterima dan dilaksanakan oleh SMI. Maka pembangunan jalan tol  lintas Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua akan terus berjalan. Begitu juga pembangunan infrastruktur ekonomi lainnya seperti pelabuhan, bandara, bendungan dan pembangkit listrik.

Keberhasilan dalam pembangunan infrastruktur ekonomi  akan menjadi pertaruhan Presiden Jokowi untuk maju dalam Pilpres 2019. Tidak masalah sebenarnya dengan utang luar negeri yang meningkat,  jika dana tersebut bisa digunakan secara efektif. Sebagaimana juga dahulu,  Presiden Soekarnu membangun proyek-proyek infrastruktur dengan dana utangan dari Rusia dan Cina. Hasilnya masih kita nikmati sampai saat ini, seperti Stadion Utama Senayan.

Sebagai rakyat kita tentunya berharap, seluruh atau sebagian besar infrastruktur ekonomi itu terwujud pada 2018 atau 2019.

Sekian dulu dan Salam

M. Jaya Nasti

Sumber : Diolah dari berbagai laporan dan berita di media online.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun