Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gaya Presiden Filipina Membasmi Kejahatan Narkoba

7 September 2016   11:33 Diperbarui: 7 September 2016   11:42 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rodrigo Duterte adalah Presiden Filipina yang baru menjabat 3 bulan yang lalu (30/6/2016). Duterte memenangkan  pemilihan presiden pada Mei dengan janji akan memberantas kejahatan. Pria berusia 71 tahun ini dalam kampanyenya bersumpah untuk membunuh lebih dari 100 ribu terduga kriminal narkoba dan akan membuang tubuh mereka di teluk Manila selama enam bulan pertama menjabat jadi Presiden. Meskipun terdengar kejam, namun rakyat Filipina yang rupanya sudah sangat geram dengan mafia narkoba, memilih Dudarte menjadi presiden. Ia menjadi harapan bahwa kejahatan narkoba akan secepatnya bisa dibasmi di Filipina.

Dan sejak  ia mulai menjabat presiden, Duterte segera melangkah untuk memenuhi janjinya. Maka terjadilah gelombang pembunuhan para kriminal  narkoba yang dilakukan oleh warga  atau kepolisian Filipina. Ratusan pengedar narkoba telah ditembak mati, dengan alasan mereka melakuan perlawanan kepada aparat polisi yang hendak menangkap. Duterte sudah menewaskan lebih dari 300 pengedar, bandar dan pemakai narkoba di Filipina. Jumlah itu diduga bisa lebih tinggi karena ada beberapa korban peluru kepolisian yang tidak jelas identitasnya.

Duterte juga mengajak partisipasi warga Filipina dalam membasmi kejahatan narkoba. Ia sampai mengadakan sayembara.  Ia akan memberi uang untuk mayat-mayat penjahat narkoba. Tiga juta peso (sekitar Rp 833 juta) untuk setiap bos jaringan narkoba,  dua juta peso (sekitar Rp 555 juta) untuk distributor narkoba, satu juta peso (sekitar Rp 277 juta) untuk terduga anggota jaringan narkoba dan 50 ribu peso (sekitar Rp 13,8 juta) untuk setiap penjual narkoba rendahan.

Di Indonesia kita masih ramai membicarakan dan menghujat hukuman mati terhadap seorang Freddy Budiman, gembong narkoba yang menjalankan bisnisnya di dalam penjara. Bahkan Freddy Budiman sudah melalui proses hukum sebagaimana mestinya sampai ke upaya peninjauan kembali. Maka sudah semestinya ia menjalani proses hukuman mati.

Para aktifis LSM bidang HAM di Indonesia masih tidak puas, karena mereka adalah pengikut paham anti hukuman mati. Mereka berkeyakinan pelaku kriminal luar biasa sekalipun memiliki hak hidup.  Tapi mereka tidak peduli dengan ribuan orang yang telah menjadi korban narkoba di Indonesia. Sebanyak 50 jiwa setiap hari melayang karena mengkonsumsi narkoba. Selain itu jutaan orang hidup sengsara karena milyaran rupiah uang negara untuk mensejahterakan rakyat,  dikorupsi untuk kenikmatan hidup tujuh keturunan para koruptor.

Kembali kepada kasus Duterte, dalam waktu singkat, ia menjadi buah bibir. Tindakan Duterte memerangi mafia tanpa belas kasihan itu  mendapatkan kecamanan dari seluruh dunia, dari PBB, Lembaga HAM, dan bahkan Presiden Obama. Tetapi Duterte tidak mundur dengan kebijakan pemerintahannya itu. Ia malah menyerang Presiden Obama dengan kata-kata kasar yang dianggap penghinaan, karena ia mengeluarkan umpatan khas Filipina, “ kamu anak pelacur”. Akibatnya, Presiden Obama memutuskan untuk membatalkan pertemuannya dengan Duterte dalam KTT ASEAN di Laos.

Kepala BNN, Komjen Budi Waseso justru mengapresiasi kebijakan Presiden Duterte dalam menghabisi mafia narkoba. Ia setuju, cara-cara Duterte membasmi pelaku dan gembong narkoba juga dilakukan di Indonesia. Hanya dengan cara itu, kejahatan narkoba akan bisa dibasmi. Tapi keinginan Jenderal Pol. Buwas itu tentulah hanya  harapan pribadinya selaku Kepada BNN.

Di Indonesia,  para penjahat, baik gembong narkoba sampai koruptor,  dilindungi oleh hukum untuk menegakkan Hak Azasi Manusia (HAM). Mereka tidak boleh dimatikan begitu saja. Mereka hanya bisa dihukum mati jika pengadilan tertinggi dan grasi menolak memberikan keringanan hukuman.

Presiden Jokowi yang berasal dari Solo yang halus peribahasanya, tentunya tidak mempunyai keberanian seperti Presiden Filipina, Duterte. Maka di Indonesia, kejahatan narkoba akan terus meningkat, menjadi semakin mengerikan.

Sekian dan salam

M. Jaya Nasti

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun