Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dilema Parpol Penentang Ahok

31 Agustus 2016   07:50 Diperbarui: 31 Agustus 2016   08:15 2294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada 4 partai Islam atau partai berbasis masa Islam yang menjadi kontestan dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, yaitu PPP, PAN, PKB dan PKS. Keempat partai masih belum juga menetapkan siapa yang akan mereka usung dalam Pilgub 2017. Pada hal waktu yang tersisa untuk mendaftarkan calon gubernur dan pasangannya ke KPUD hanya tinggal 20 hari lagi.

Yang jelas, partai-partai itu anti Ahok dan diyakini tidak akan mengusung nama Ahok menjadi calon gubernur. PKS memberikan alasan, Ahok sudah terlalu kuat sehingga tidak perlu didukung lagi. Memang posisi Ahok sudah kuat dan aman, selain didukung oleh Relawan Teman Ahok yang banyak, Ahok juga didukung oleh 3 partai, Nasdem, Hanura dan Golkar,  yang total memiliki 24 kursi. Sudah cukup untuk memenuhi jumlah kursi yang dipersyaratkan KUPD.  

Alasan yang lain sering dikemukakan adalah karena Ahok tidak santun, suka berkata kasar dan suka menggusur rakyat. Tetapi alasan yang tersirat sebenarnya terkait faktor sara juga. Ahok menyandang “double minoritas”. Para pemimpin partai Islam itu tidak berani mengusung Ahok yang Kristen dan berasal dari etnis Cina.  Mereka tidak berani karena tindakan itu pasti akan ditentang oleh masa pendukungnya yang tergolong Islam fanatik. Maka PKS ikutan ngotot menggadang-gadang Risma, walikota Surabaya yang berjilbab, menjadi penantang Ahok.

Masalah yang dihadapi oleh partai-partai Islam itu adalah mencari kader sendiri  yang mumpuni untuk diusung menjadi calon gubernur  guna menantang Ahok. Kaderisasi oleh partai tidak berhasil, kalaupun punya sekolah kader, tamatannya hanya kader-kader korup yang kemudian ditangkap KPK seperti kader PAN yang jadi anggota DPR dan yang menjadi gubernur. Partai-partai itu tidak memiliki stok kader yang mumpuni. Mereka terpaksa melirik kepada figur-figur yang bukan kader partai.

Sejauh ini, hanya tersedia dua figur yang sebenarnya cukup hebat,  yaitu Yusril Ihza Mahendra (YIM) dan Rizal Ramli (RR). Ada juga figur abal-abal seperti Ahmad Dhani, H. Lulung dan Adhiyaksa Dault. Akan tetapi entah mengapa mereka belum berani menetapkan YIM dan RR, masih juga lirak-lirik kiri kanan.

Pada hal YIM dan RR memiliki prestasi yang cukup hebat. Keduanya pernah jadi menteri, bahkan menko. YIM dalam profesinya sebagai pengacara dan ahli hukum ketatanegaraan pernah menjungkalkan Jaksa Agung di era SBY dari kursi empuknya. Sedangkan RR adalah mantan menko yang vokal, berani dan sangat berpihak kepada rakyat. Hal itu dibuktikan dengan kemenangan RR dalam memperjuangkan pembangunan Blok Masela yang “onshore” melawan konsep Sudirman Said yang “offshore”. Keduanya juga mempunyai konsep tentang pembangunan Jakarta untuk mengatasi kemacetan lalu lintas dan banjir.

PDIP sebagai partai pemenang Pemilu 2014 dan pemilik 28 kursi di DPRD Jakarta juga menghadapi dilema. Partai ini dihadapkan pada gelolak internal partai.  Sejumlah petinggi partai cemburu dengan kedekatan Ahok dengan Ketum Megawati Soekarno Putri (MSP). Lalu mereka kompak menentang Ahok. Caranya adalah mencari-cari kesalahan Ahok, termasuk mengadakan survei abal-abal yang hasilnya akan memberikan  citra negatif kepada Ahok. Untuk itu mereka menggadang-gadang Risma, Walikota Surabaya, sebagai penantang yang pasti mampu mengalahkan Ahok.

Pada hal ada  sisi lain. Para petinggi PDIP tersebut sebenarnya sudah mempunyai agenda sendiri. Mereka ingin menghadiahkan kursi walikota Surabaya yang lowong kepada kader PDIP lainnya yang sudah lama menunggu. Mereka juga punya agenda memenangkan Pilkada Jawa Timur 2018 tanpa kehadiran Risma yang dianggap sebagai penghalang utama.

Hebatnya, MSP membiarkan saja gejolak internal dalam partainya. Dia masih melihat-lihat siapa saja kadernya yang mempunyai niat baik dan niat jahat. Barulah nanti, pada tanggal 20 September, sehari menjelang masa pendaftaran calon gubernur DKI ditutup, MSP akan mengumumkan calon gubernur yang diusung PDIP. Bisa saja yang diusung itu adalah Ahok, YIM atau RR. Tapi saya yakin, yang diusung PDIP tidak lain adalah pasangan Ahok dan Djarot. Setelah itu, mungkin MSP terpaksa membersihkan PDIP dari kader-kader yang membangkang dan punya niat jahat.

Masih ada parpol  penentang Ahok yang juga dihadapkan pada dilema cagub yang akan diusung. Partai Demokrat misalnya,  sampai hari ini masih kebingungan. Partai ini juga tidak punya kader yang mumpuni, Bahkan sebagian besar sudah masuk penjara karena korupsi, dan sisanya tidak meyakinkan. Misalnya, Ramadhan Pohan Wasekjen Parta Demokrat,  yang baru-baru ini diberitakan terlibat penipuan di Medan. Ada juga Roy Suryo yang menjadi ketawaan publik karena menilep barang inventaris rumah dinas. Bisa jadi Partai Demokrat tidak mencalonkan siapa-siapa.

Terakhir adalah Partai Gerindra yang memposisikan Ahok sebagai musuh utama. Partai ini sudah mendeklarasikan Sandiaga Uno sebagai cagub atau wacagub. Namun dukungan terhadap Sandi tidaklah besar, termasuk dari partai—partai yang sempat bergabung dalam Koalisi Kekeluargaan. Andalan Gerindra sebenarnya PKS. Tetapi tidak tampak wakil PKS pada acara deklarasi pengusung Sandiaga Uno. Wakil PKB juga tidak datang.

Masalahnya mungkin disebabkan Gerindra terlalu memaksakan Sandi untuk menjadi cagub. Pada hal elektabilitas Sandiaga Uno tertinggal terlalu jauh dari Ahok dan sudah sulit untuk  didongkrak. Mungkin juga Sandi terlalu culun untuk menantang Ahok, karena ia tidak mempunyai pengalaman di pemerintahan dan parlemen.  Atau karena bisa juga Sandi, sebagaimana yang ditulis oleh seorang Kompasioner,  hanya memiliki isi celana yang banyak. Maksudnya, modal Sandi sebenarya hanya uang. Selaku pengusaha, ia  punya cukup banyak uang  di dalam celananya.

Tapi rakyat Jakarta tidak lagi terpukau  dengan kekayaan seseorang.  Ini terbukti pada Pilkada 2012. Jokowi dan Ahok yang tidak punya banyak uang berhasil memenangkan Pilgub Jakarta. Apalagi nama Sandi masuk dalam Panama Papers yang berisi nama-nama pengemplang pajak di negaranya sendiri dengan mendirikan perusahaan cangkang di luar negeri.

Ciawi, 31 Agustus 2016.

Sekian dulu, Salam

M. Jaya Nasti

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun