Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Saya Malas Pulang Mudik

3 Juli 2016   16:36 Diperbarui: 3 Juli 2016   16:42 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sudah lama saya tidak mudik lebaran ke kampung halaman. Pada hal saya punya kampung halaman yang luar biasa indah di Sumatera sana. Terletak tidak jauh dari kaki pegunungan Bukit Barisan. Kalau memandang ke samping kanan terlihat hamparan sawah sejauh mata memandang.  Kalau pandangan diarahkan ke belakang, terlihat gunung Merapi dan Gunung Singgalang yang duduk berpasangan, kadang-kadang ditutup awan atau bersih sama sekali.

Memang kampung halaman saya setiap menjelang hari raya Idul Fitri masih menunggu orang rantau yang hendak pulang mudik. Tapi sudah lama tidak ada yang mudik. Masalahnya,  di kampung saya berderet rumah-rumah yang kondisinya sama, kosong tidak berpenghuni sehingga penuh debu.  Hal itu disebabkan para orang tua sebagian besar sudah meninggal dunia. Ayah saya sendiri wafat 17 tahun yang lalu. Sedangkan ibu saya wafat sepuluh tahun silam.  Begitu pula, para orang tua yang menjadi tetangga ayah dan ibu, juga sudah meninggal, dan seluruh anak-anaknya pergi merantau.  Selain itu, ada pula kakek atau nenek yang ikut anak-anak mereka di rantau karena di kampung tidak ada lagi yang mengurus mereka.

Sudah menjadi tradisi anak muda Minangkabau, pergi merantau ke negeri orang. Mereka merantau untuk menuntut ilmu atau mencari kerja untuk menyambung hidup.  Baik yang merantau karena menuntut ilmu maupun yang langsung bekerja, mereka pada akhirnya menetap di rantau. Mereka malas pulang karena di kampung hanya ada rumah yang kosong dan  berdebu. Tidak ada yang menyambut mereka pulang. Bahkan untuk mengisi perut saja, mereka harus mencari rumah makan.

Pulang mudik lebaran menjadi tidak ada gunanya. Tidak ketemu siapa-siapa  untuk bersilatrahim, kecuali orang senagari yang tidak dikenal dengan baik. Paling-paling mereka akan bertanya, kamu anak siapa  dan di mana rumahmu? Lalu mereka akan memberikan komentar, oh  ternyata kamu anak si fulan, kami dulu berteman baik. Begitu saja.

Dalam banyak kasus, orang Minang perantauan malas pulang ke kampung halaman karena tidak punya apa-apa lagi di kampung. Rumah orang tua dan lahan pusaka  mereka sudah diambil alih oleh famili lain yang merasa berhak pula atas rumah dan sawah ladang yang dulu dibangun dan digarap orang tua mereka. Hal itu terjadi karena faktor kesukuan. Karena ditinggal kosong maka rumah mereka dikuasai secara sepihak oleh famili satu suku. Lahan pusaka yang dulu digarap orang tua mereka, sekarang sudah digarap orang lain. 

Sementara itu, bagi anak muda laki-laki, merantau adalah langkah untuk membebaskan diri dari hukum adat yang berpihak kepada perempuan. Hukum adat mengatakan, tanah pusaka tidak boleh dijual. Tanah itu diwariskan kepada anak perempuan,  sedangkan anak laki-laki hanya boleh menggarapnya sebagian kecil sesuai kemampuan. Laki-laki tidak punya hak mewariskan kepada anak-anaknya, meskipun  sudah melakukan investasi ratusan juta di tanah pusaka itu. Semua harus dikembalikan kepada saudara perempuan atau para anak-anaknya. Itulah hukum adat yang menyebabkan kaum laki-laki pergi merantau dan  tidak mau melakukan investasi di atas lahan pusaka kaum mereka sendiri.

Pada akhirnya,  sesuai perjalanan waktu, lahan sawah dan ladang di kampung halaman itu terbagi-bagi dalam potongan-potongan kecil. Anak-anak  berkembang biak dengan cepat, sedangkan lahan tanah pusaka tidak bertambah luas. Oleh sebab itu, anak-anak laki-laki mengalah, menyerahkan sepenuhnya bagian tanah pusaka kepada saudara-saudara perempuannya. Anak-anak muda itu sebagian besar pergi merantau dan akhirnya tinggal menetap di perantauan. Itulah sebabnya, kalau kita pergi berkeliling di kota-kota Provinsi Sumatera Barat, kota-kota itu terasa sangat lengang, karena sebagian besar pergi merantau.   

Dengan merantau, para laki-laki minang akan menjadi tuan di atas tanah dan rumah yang mereka beli atau bangun. Tidak ada lagi yan menganggu, seperti intrik dalam pemilikan lahan pusako di kampung halaman.  Mereka menjadi merdeka di perantauan.

Oleh sebab itu, jika ada kegiatan sosial orang minang perantauan yang disebut “Pulang Basamo” , sebenarnya hanya untuk sekedar bernostalgia tentang masa lalu di kampung halaman. Mungkin sebagian besar dari mereka tidak pulang ke kampung halamannya. Mereka justru akan menginap di hotel-hotel di Padang atau Bukittinggi, lalu shalat Idul Fitri di masjid kampungnya, dan singgah sebentar melihat rumah masa kecil mereka yang sekarang kosong penuh debu.

Sekian dulu dan Salam
M. Jaya Nasti

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun