Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi dan Pemerintahan Tanpa Oposisi

1 Februari 2016   11:59 Diperbarui: 1 Februari 2016   12:36 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jokowi hanya membutuhkan setahun empat bulan untuk menjadikan seluruh politisi di Indonesia tunduk dan beralih menjadi pendukungnya.  KMP yang semula sangat kuat, rontok berkeping-keping. Hanya tinggal Partai Gerindra dan PKS yang bertahan.  Hanya untuk menjaga perasaan Prabowo saja, para pemimpin partai berbasa basi menyatakan tidak keluar dari KMP, tetapi hanya beralih menjadi pendukung Pemerintah Jokowi-JK.

Kecuali Partai Gerindra dan PKS, seluruh partai sudah menjadi pendukung Pemerintahan Jokowi. Terakhir, PPP versi Jaan Farids menyatakan PPP menjadi mendukung Pemerintahan Jokowi tanpa syarat. Jadi dari 10 parpol penghuni Senayan, hanya tinggal Partai Geindra dan PKS yang menjadi anggota KMP.

Tapi Partai Gerindra sendiri berada dalam posisi sulit. Stok kadernya sudah habis. Untuk mendapatkan kader yang bisa menjadi lawan yang seimbang bagi Ahok saja pada Pilgus 2017, Partai Gerindra sudah kewalahan. Pada hal bagi Partai Gerindra, melengserkan Ahok dari kursi gubernur Jakarta adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar. Ahok telah berkhianat kepada partai yang mengusungnya menjadi Wakil Gubernur berpasangan dengan Jokowi, bahkan tanpa uang mahar. Hanya karena berbeda visi, Ahok tidak setuju dengan keputusan partainya yang mendukung Pilkada tidak langsung melalui DPRD, maka Ahok keluar dari Gerindra. Betul-betul tidak berterima kasih.  

Akan tetapi petinggi Partai Gerindra, pada level sekjen saja menolak dicalonkan jadi Cagub. Alasannya tidak punya potongan menjadi gubernur. Kader lainnya, Muhammad Taufiq tidak bisa diharap, karena punya nama buruk, pernah dipenjarakan  karena korupsi. Sedangkan Sandiono Uno dipandang tidak cukup berpengalaman di pemerintahan dan dengan mudah bisa dikalahkan oleh Ahok. Lalu mereka berharap pada Ridwan Kamil, walikota Bandung yang berprestasi. Tapi Ridwan masih maju mundur. Terakhir ada usul dari kompasianer untuk mencalonkan langsung Waketumnya, Fadli Zon menjad cagub DKI berpasangan dengan Fahri Hamzah,  sehingga menjadi pasangan disingkat FaFa. Belum ada respon dari Gerindra untuk opsi ini.

Sementara itu PKS sendiri tidak bisa lagi bisa diandalkan untuk mau terus menjadi anggota KMP. Pengurus baru PKS kelihatannya memiliki visi berbeda dengan pengurus PKS yang digantikannya.  Soalnya Presiden PKS yang baru, Muhammad Shohibul Iman, berlatar belakang akademisi. Ia pernah menjadi Rektor Universitas Paramadina, yang didirikan oleh Cak Nur, tokoh pembaharu pemikiran Islam terkenal. Sebaliknya Anies Mata berlatar belakang pengusaha yang gemar memamerkan kemewahan dan  memakai jam tangan mahal.

Pengurus PKS yang baru mengurangi kritik-kritik tajam kepada Pemerintah. Bahkan Pengurus baru PKS sudah datang ke istana menghadap Presiden Jokowi. Banyak yang menduga, hal itu sebagai indikasi PKS akan beralih menjadi partai pendukung Pemerintah. Indikasi lain, mereka mulai melakukan pembersihan  ke dalam. Tokoh-tokoh garis keras pendukung Anies Mata mulai disingkirkan. Bahkan Fahri Hamzah, tokoh PKS paling vokal melawan Jokowi, dicopot dari jabatannya selaku Wakil Ketua DPR.

Jadi lengkap sudah politisi yang takluk kepada Presiden Jokowi. Di barisan pengusung dan pendukung awal Jokowi ada Megawati, Surya Paloh, Muhaimin, Wiranto dan Sutiyoso. Selanjutnya politisi pendukung yang meyusul belakangan adalah Zulkifli Hasan (PAN), Agung Laksono, Aburizal Bakrie (Golkar), Romahurmuzi, dan Jaan Farids (PPP). Lalu yang mulai mendekat adalah Shohbul Iman (PKS). Tinggallah Prabowo sendirian, dengan sikap politik  juga mendukung Pemerintah Jokowi selama masih berpihak kepada kepentingan rakyat. Selain itu, Jokowi didukung pula oleh politisi senior yang ikut menjadi anggota Kabinet Kerja, yaitu Jusuf Kalla dan Luhut Binsar Panjaitan, keduanya berasal dari Golkar.

Memang ada masalah yang bisa muncul dengan situasi  politik seperti itu. Pemerintahan Jokowi sepertinya tidak mempunyai oposisi. Kondisi ini menjadikan tidak berjalannya fungsi check and balance. Pemerintah bisa berbuat  semaunya.

Hal itu disebabkan peranan partai politik semakin berkurang dan bahkan menjengkelkan. Pada anggota DPR yang semuanya berasal dari Parpol semakin kedodoran kinerjanya. Mungkin karena mereka menjadi anggota parlemen terutama disebabkan faktor uang. Setelah setahun bekerja, semakin kelihatan kebodohan mereka. Semakin banyak kasus anggota DPR yang terkena kasus kriminal. Ada anggota DPR yang berkelahi di ruang sidang. Ada kasus Ketua dan  Wakil Ketua DPR yang dijebak oleh Capres sekaligus pengusaha Donald Trump untuk menghadiri kampanyenya. Ada kasus “papa minta saham” yang pelakunya adalah Ketua DPR sendiri.  Ada yang melakukan penyiksaan kepada pembantu rumah tangga. Dan terakhir ada kasus pemukulan staf ahli perempuan sampai berdarah-darah matanya.  

Selain itu, selama setahun  berlalu, kinerja DPR yang dihuni parpol sangat memprihatinkan karena hanya bisa menyelesaikan 3 UU dari 40 UU yang ditargetkan. Selanjutnya, satu per satu anggota DPR terkena OTT oleh KPK karena menerima uang suap.  Yang lebih menjengkelkan, fraksi-fraksi parpol di DPR tidak lagi berpihak kepada rakyat, tetapi berpihak kepada kepentingan  politik dari pemimpin partainya.

Namun demikian, zaman sudah berubah, karena sekarang fungsi kontrol terhadap pemerintah yang lebih efektif justru dilakukan oleh media massa, baik berupa media cetak, televisi maupun media social pada jaringan internet. Bahkan setiap warga negara bisa memanfaatkan media sosial yang ada untuk beropini tentang kebijakan dan pelaksanaan proyek/program pembaangunan yang dlakukan pemerintah. Rakyat bisa menyampaikan kritiknya terhadap presiden dan para menteri yang “sesat pikir” dalam merumuskan kebijakan dan program kerja kementerian masing-masing.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun