Bertambah lagi kader PDIP yang bakal masuk penjara. Damayanti Wisnu Putranti (DWP) anggota DPR Komisi VI dari fraksi PDIP digelandang KPK karena terkena operasi tangkap tangan (OPP) sewaktu menerima suap. Rupanya PDIP akan terus menyandang gelar juara korupsi. Sebelumnya Ketua Komisi III DPRD Banten dari Fraksi PDIP, FL Tri Satya, terkena operasi OTToleh KPK. Sebelumnya lagi, Irwansyah yang juga anggota DPR dari fraksi PDIP yang mewakili Sulawesi Selatan terkena OPP.
Melihat beruntunnya anggota parlemen dari PDIP yang ditangkap KPK, maka kesalahan terbesar tentunya harus ditimpukkan kepada DPP PDIP. Mereka telah dibina menjadi kader, namun proses kaderasisasi partai gagal mengubah sikap mental mereka menjadi lebih baik.
Mereka terus saja melakukan korupsi dengan cara berjualan proyek pemerintah untuk mendapatkan komisi atau gratifikasi. Mereka memanfaatkan fungsi mereka di bidang anggara dan pengawasan. Jadilah PDIP sebagai partai penyumbang terbesar koruptor dari kalangan anggota parlemen sampai kepala daerah.
Mereka dipilih untuk penyambung lidah rakyat. Tetapi mereka mengkhianatinya. Mereka ternyata bercita-cita menjadi anggota parlemen agar mendapatkan kesempatan menguras uang Negara. Rakyat terus menerus dikhianati dan disakiti.
Tentu saja tidak cukup dengan pernyataan partai bahwa kade rnya yang korupsi akan langsung dipecat dari partai. Rakyat mempertanyakan bagaimana proses kaderisasi di partai itu. Kok bisa mereka yang dipilih menjadi caleg dan kemudian dengan uang mereka memenangkan kursi DPR. Rakyat semakin yakin bahwa kaderisasi di partai politik itu sebenarnya tidak berjalan dan tidak efektif. Rakyat juga semakin tidak percaya dengan partai politik, Begitu pula halnya dengan DPR atau DPRD.
Yang terjadi sebenarnya adalah politik uang, Para koruptor itu menjadi caleg karena membayar kepada partai yang mau mencalegkan mereka. Setelah terpilih menjadi anggota DPR, mereka tidak peduli lagi dengan partai. Dihadapan mereka ada ratusan proyek pemerintah yang siap mereka jual kepada para kontraktor yang mau memberikan uang komisi dan gratifikasi.
Di Negara kita, para anggota parlemen berlomba-lomba menggasak uang Negara. Banyak cara yang dapat dilakukan. Bisa jualan proyek pemerintah. Bisa juga memaksa BUMN-BUMN menyediakan THR, meskipun dari Negara mereka sudah terima THR. Bisa juga modus operandi Setya Novanto dalam bentuk “papa minta saham” dan sebagainya.
Mungkin kondisi itu disebabkan para anggota parlemen mengetahui bahwa yang tertangkap jauh lebih sedikit dari yang lolos. Mereka kemudian beranggapan hanya faktor kesialan yang menyebabkan seseorang tertangkap. Mungkin juga mereka berpikiran KPK sudah takut kepada mereka karena ditakut-takuti dengan revisi UU KPK yang akan mengamputasi sejumlah kewenangan KPK.
Apalagi uang Negara yang bersumber dari APBN dan non APBN untuk pembangunan infrastuktur di era Presiden Jokowi luar biasa besarnya. Maka hampir semuanya tergoda untuk “berjualan” proyek-proyek Pemerintah. Mereka kemudian menikmati apa yang disebut uang komisi dan gratifikasi, yang tidak lain uang ucapan terima kasih dari para kontraktor yang telah dimenangkan mendapatkan proyek-proyek pemerintah tersebut. Semakin besar nilai suatu proyek tentu semakin besar uang yang disetorkan sebagai komisi atau gratifikasi.
Uang ucapan terima kasih (gratifikasi) bisa berjumlah milyaran rupiah. Sehingga Gubernur DKI, Ahok cukup tercengang sewaktu Kadis Perumahan DKI Jakarta melaporkan telah menerima gratifikasi Rp 10 milyar. Ia memerintahkan Kadis Perumahan DKI Jakarta, yang kebetulan juga seorang perempuan, untuk menyerahkan uang itu kepada KPK.
Tetapi DWP, anggota DPR dari PDIP menerima uang komisi atau gratifikasi itu untuk dirinya sendiri. Karena ia menerimanya secara diam-diam. Tetapi malang tidak dapat ditolak, KPK sudah mengendusnya dan melakukan OTT.
Rupanya anggota DPR perempuan tidak mau ketinggalan. Belum lama Dewie Yasin Limpo, anggota DPR dari Partai Hanura terkena OTT KPK. Rupanya anggota DPR perempuan kurang canggih dalam melakukan korupsi, sehingga mudah ketangkap tangan.
Menurut Mendagri Tjahjo Kumolo, DWP setahunya memiliki kekayaan cukup melimpah. Sedangkan Dewie Yasin Limpo tidak lain adalah adik perempuan Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo. di Sulsel terkenal sangat kaya, karena perusahaan-perusahaannya menggurita menggarap sebagian besar proyek-proyek pemerintah di propinsi itu.
Jadi mereka korupsi bukan karena membutuhkan uang. Mereka korupsi karena sudah ketagihan. Korupsi rupanya memiliki kesamaan dengan judi, yaitu ketagihan. Mereka tidak pernah puas dengan hasil korupsi yang diperoleh. Mereka korupsi lagi dan lagi. Sampai suatu saat kesialan datang menghampiri mereka. Mereka ketangkap operasi OTT KPK. Atau mereka tersangkut kasus korupsi besar seperti Angelina Sondakh. Tetapi mungkin banyak yang beruntung, lolos dari jangkauan aparat hukum.
Tentu kondisi Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan Amerika Serikat atau Negara maju lainnya yang hampir bersih dari penyakit korupsi. Wapres Amerika Serikat Joe Biden misalnya pernah berniat menjual rumahnya untuk mencukupi biaya perawatan anaknya di rumah sakit karena kanker otak. Tapi Presiden Obama mencegahnya. Obama berjanji akan membantu kebutuhan uang bagi perawatan anak Joe Biden. Jadi meski sudah menjadi Wapres dan sebelumnya menjadi anggota parlemen (Kongres), Joe Biden tidak kaya raya. Ia mencukupkan apa yang menjadi haknya berupa gaji dan tunjangan selaku wapres, bukan dengan korupsi.
Maka ruang tahanan KPK bertambah penghuninya dengan anggota DPR perempuan yang cantik. Nanti DWP akan menjadi teman sebui mantan anggota DPR perempuan cantik lainnya, Angelina Sondakh yang masuk penjara karena terlibat korupsi yang lebih besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H