Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Makan Bajamba Ala Minang Kayo

26 Oktober 2015   13:35 Diperbarui: 26 Oktober 2015   18:54 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Hari minggu kemarin saya berkesempatan mengikuti acara “Makan Bajamba” ala Minang Kayo. Acara ini merupakan rangkaian dari upaya pelurusan sejarah tentang istilah Jalur Sutera, diselenggarakan harian Jakarta Pos bekerjasama dengan Museum Nasional.  

Ide dasarnya adalah mengapa kita bangsa Indonesia menggunakan  dan mempopulerkan istilah Jalur Sutera bukannya Jalur Rempah. Indonesia adalah  negeri terkenal kaya dengan tanaman rempah-rempah. Bangsa Eropa dan China datang ke pulau-pulau nusantara untuk membeli aneka jenis rempah, seperti cengkeh dan pala.  Bahkan raja-raja di China konon hanya mau menerima tamu yang memakan “permen” buah cengkeh yang menjadikan nafasnya tidak bau.

Sedangkan jalur sutera sebenarnya adalah reute atau jalur perjalanan pedagang China menuju Eropa untuk menjual kain sutera. Jadi sebenarnya tidak ada hubungannya dengan Indonesia yang tidak memproduksi dan  berdagang sutera. Karenanya, kita seharusnya kembali ke jatidiri Indonesia sebagai produsen dan pedagang rempah, dengan menggunakan istilah Jalur Rempah. Jalur rempah sendiri terdiri dari dua jalur. Pertama adalah jalur perjalanan laut bangsa Eropa mencari rempah ke kepulauan nusantara sejak tahun 1500-an. Jalur rempah kedua adalah perjalanan bangsa Indonesia sebagai pelaut, terutama suku Bugis  ke China dan India  untuk menjual aneka rempah.

Pada bagian akhir, pada malam harinya dari acara  “kembali Ke Jalur Rempah” itu  adalah makan bersama menikmati makanan khas Indonesia yang menggunakan rempah-rempah. Dalam  hal ini sejumlah daerah di Indonesia memperkenalkan acara makan bersama menikmati makanan dengan aneka bumbu rempah. Jadi ada acara makan bersama ala Batak, Minangkabau, Bangka dan Jawa. Makan Bajamba Ala Minang Kayo menjadi acara penutup Kembali ke Jalur Rempah.

Acara Makan Bajamba ala Minang Kayo, adalah acara makan khas Minangkabau yang diorganisir oleh satu grup pecinta kuliner yang diberi nama Minang Kayo, artinya Minangkabau yang Kaya dengan aneka jenis masakan enak, menggunakan bumbu rempah-rempah milik Indonesia.

 

Hidangan selamat datang bagi para tamu adalah memakan sejenis kerupuk singkong  yang diguyur kuah sate padang. Selanjutnya, setelah para tamu menempati tempat duduk masing-masing, acara dimulai dengan pengantar acara oleh Host, Reno Andam Suri. Reno menjelaskan bahwa di Sumatera dahulu ada sebuah kota pusat perdagangan rempah-rempah, yang dikenal sebagai kota Barus, di pesisir Barat Sumatera. Mungkin itu yang menyebabkan masakan di Sumatera kaya dengan bumbu rempah-rempah, sejak dari Aceh sampai Sumatera Selatan,  termasuk daerah Minangkabau.

Makan Bajamba artinya makan bersama duduk lesehan. Pada Makan Bajamba ala Minang Kayo, peserta dibagi dalam kelompok-kelompok makan bersama terdiri dari 10 orang. Mereka duduk melingkar. Petugas, yaitu para ibu-ibu muda mengantarkan makanan dalam talam besar, berisi piring dengan menu-menu masakan minang. Talam itu dijunjung di kepala dan dibawa ke tempat makan bajamba. Para tamu menikmati makan dengan piring sendiri-sendiri.

Menu yang dihidangkan Minang Kayo cukup bervariasi. Nasi yang dihidangkan menggunakan beras yang didatangkan dari Solok (beras Solok) yang pernah menjadi judul lagu Elly Kasim pada tahun 1970-an. Dari talam besar itu, diturunkan piring berisi lauk pauk masakan minang. Dalam hal ini Minang Kayo menghidangkan 5 menu masakan, yaitu gulai kambing, gulai kurma, sindang ikan, rendang belut khas Tanah Datar, sayur urap dan tiga jenis sambal khas Minang. Sedangkan untuk penutup, dihidangkan bubur kampiun yang merupakan campuran antara puding sarikaya, lemang ketan, kolak pisang, bubur sumsum dan cendil beserta kuah santan dengan gula aren.

Ternyata tamu yang membayar Rp 350 ribu per orang cukup terpuaskan. Pada setiap kelompok, makanan yang dihidangkan ludes  sampai bersih. Mereka memuji masakan khas Minang yang mereka nikmati. Bahkan ada tamu dari Bandung yang meminta acara semacam itu juga digelar di Bandung. Staf Ahli Menteri Pariwisata, Emirsyah Sattar, yang juga asli Minang juga memuji dan mengajak Minang Kayo menggelar acara serupa pada event-event nasional yang lebih besar.

-------------    

Sebagai orang Minang asli, saya mempunyai pengalaman makan bajamba di kampung halaman saya di dekat Bukittinggi. Di kampung saya, acara makan bajamba biasanya digelar pada acara perkawinan dan pada acara baralek (pesta) besar mengangkat penghulu (datuk). Makan bajamba menggunakan  piring keramik besar buatan Cina. Satu piring untuk makan bersama maksimal 6 orang. Jadi satu kelompok makan bajamba akan duduk lesehan mengelilingi piring besar itu. Jadi, jika tamunya seratus orang, tinggal dibagi enam, menjadi 17 kelompok makan.

Acara makan bajamba biasanya disiapkan untuk orang sekampung yang diundang dengan cara didatangi. Orang sekampung itu termasuk kenalan dan karib kerabat dari “shahibul Hajat”.  Mereka didatangi satu persatu, dengan membawa carano berisi kapur dan sirih serta rokok yang ditawarkan untuk kepada yang diundang.

Sedangkan makan tidak bajamba  biasanya diadakan untuk para tamu dari luar yang mendapat surat undangan. Acara itu diadakah terpisah sehari sesudah pesta dengan cara makan bajamba.

Dalam acara makan bajamba, para tamu akan makan dengan tangan bukan memakai sendok garpu. Etika makan bajamba, setiap orang harus mengerti “wilayah nasi” yang menjadi bagiannya, dan tangannya tidak boleh nylonong ke wilayah orang lain.

Makan bajamba dimulai setelah acara pasambahan (persembahan) selesai. Acara pasambahan adalah percakapan antara pihak shabibul hajat yang disebut si pangka atau si pokok, dengan pihak yang diundang. Dalam pasambahan itu digunakan bahasa Minang tingkat tinggi yang penuh dengan petatah petitih, sampai kepada kedua pihak sepakat untuk memulai makan.

Pada acara makan bajamba itu, piring-piring keramik cina besar itu diantarkan kepada setiap kelompok. Di dalamnya sudah berisi nasi secukupnya untuk dimakan oleh enam orang. Lauk pauk berupa makanan asli Minang atau bahkan asli daerah setempat ditempatkan dalam piring-piring di samping  piring jamba itu. Lalu salah seorang menuangkan sejumlah menu masakan ke dalam piring jamba, dan makan bajamba dimulai.

Menu utama untuk makan bajamba dan juga yang bukan bajamba sama, yaitu gulai kambing yang memang dimasak dengan banyak rempah-rempah. Lalu ada gulai kurma yang rasanya mirip gulai opor tetapi dengan bumbu rempah yang lebih banyak. Ada pula pangek ikan yang dimasak agak kering.

Yang tidak ketinggalan adalah gulai nangka dengan bumbu rempah gulai kambing.  Selain itu ada menu tambahan seperti kerupuk balado yang dipotong panjang-panjang. Makanan penutup biasanya berupa lamang tapai, pinyaram (sejenis gorengan) dan   pisang gadang (ambon).

Khusus di Luhak Tanah Datar (Batusangkar), menu yang tidak boleh ketinggalan adalah rendang belut yang dimasak dengan 40 jenis daun rempah. Rendang itu dimasak sampai berwarna hitam, namun dengan cita rasa khas rendang yang sangat enak. Sedangkan di luhak Agam (Bukittinggi) dan Limapuluh Kota (Payakumbuh), biasanya dihidangkan pula rendang daging.

Demikianlah kegiatan saya tadi malam,  makan bajamba ala MinangKayo. Acara tadi malam mengingatkan saya dengan makan bajamba di  kampung halaman di Sumatera Barat.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun