Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik

DPR dan Korupsi

22 Oktober 2015   02:51 Diperbarui: 22 Oktober 2015   07:40 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Baru saja desakan DPR untuk melakukan revisi UU KPK reda. Ada kesepakatan antara Pimpinan DPR dan Presiden untuk  menunda pembahasan RUU KPK tersebut, karena Pemerintah sedang sibuk menangani masalah perekonomian. Tetapi apa mau dikata,  dua anggota DPR ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam kasus korupsi. Celakanya lagi keduanya berasal dari partai yang mendukung Pemerintah.

Jadi alasan untuk melemahkan KPK melalui revisi UU KPK menjadi tidak relevan. Revisi UU KPK yang membatasi umur KPK hanya 12 tahun lagi, menghapus kewenangan KPK dalam penyidikan perkara korupsi, serta mengharuskan KPK mendapatkan persetujuan hakim dalam penyadapan, jelaslah merupakan upaya DPR untuk melemahkan dan  bahkan mematikan KPK.  Tetapi dengan kasus dua anggota DPR yang menjadi tersangka kasus korupsi membuktikan bahwa KPK masih sangat diperlukan. Tanpa KPK maka para koruptor akan semakin leluasa menguras uang rakyat. Selain itu para anggota DPR semakin banyak yang  akan tergoda untuk ikut serta melakukan korupsi.

Memang Polri dan kejaksaan masih ada. Tetapi fakta menunjukkan bahwa penanganan perkara korupsi yang ditangani kedua institusi hukum itu berjalan lambat. Bahkan  lebih banyak perkara korupsi yang hilang begitu saja. Misalnya ada 60an perkara korupsi yang disidik Bareskrim sewaktu dikomandani oleh Komjen Buwas, belum satupun yang masuk ke pengadilan.  Begitu pula puluhan kasus perkara korupsi yang disidik para jaksa yang tergabung dalam satgas anti korupsi, semuanya seperti hilang lenyap tanpa bekas.

Hal itu mungkin karena perkara-perkara korupsi ditangani masih dengan semangat memperbanyak ATM. Para pelaku korupsi masih bisa tawar menawar agar kasus korupsi mereka tidak ditindak-lanjuti dengan imbalan uang atau berbagi uang hasil korupsi. Semakin banyak nilai uang yang dikorupsi semakin menggembirakan pihak penyidik karena semakin banyak uang hasil korupsi yang bisa dibagi-bagi.

Lalu para anggota DPR ikut numpang menjadi pelaku kejahatan korupsi. Memang MK telah memutuskan DPR hanya bisa terlibat dalam pembahasan anggaran sampai pada satuan dua. Tetapi para anggota DPR memiliki kewenangan anggaran, dalam bentuk ikut mengawal anggaran setiap proyek agar dilaksanakan secara “benar” di Kementerian maupun Daerah. Mereka masih mempunyai pengaruh dan “kekuatan” untuk mempercepat realisasi atau membintangi anggaran suatu proyek. Tetapi mereka tidak cukup kuat menahan godaan dari para kontraktor, seperti kasus suap Dewi Limpo Yasin. Maka konon, Rp 1,7 milyar sudah disiapkan sebagai uang suap.

Hal yang sama dilakukan para anggota DPRD untuk menguras APBD. Dengan perolehan itu, para anggota DPR/D bisa melunasi utang mereka dalam rangka Pemilu legislatif tahun 2014 yang lalu. Jika sudah dilunasi, mereka bisa menabung untuk persiapan mencalegkan diri lagi pada 2019. Atau bisa juga, mereka memberanikan diri menjadi cagub, cabup atau cawako dalam Pilkada serentak pada Desember yang akan dating.

Presiden Jokowi telah mengambil resiko yang menyebabkan popularitasnya turun,  yaitu menghapus subsidi BBM yang salah sasaran. Hasilnya adalah tersedia uang sekitar Rp 300 Triliun, sebagian besar untuk proyek-proyek pembangunan infrastruktur ekonomi. Lalu sebagiannya untuk keperluan dana desa, pengadaan alusista, dan sebagainya.

Masalahnya, seluruh dana untuk keperluan proyek-proyek pembangunan itu rawan dikorupsi. Jika tidak dilakukan pengawasan yang ketat, maka sebagian dana itu tidak sampai ke tujuannya. Dana itu akan masuk ke kantong-kantong para koruptor, baik di jajaran eksekutif maupun legislatif. Kalau dulu dana itu hanya sampai pada instansi-instansi pemerintah di tingkat kabupaten, sekarang uang itu bahkan masuk ke rekening kepala desa.

Lalu, sebagian dana tersebut berpindah pula ke dalam amplop-amplop yang dibagikan pimpro kepada seluruh pegawai di lingkungan instansi pemerintah pelaksana proyek. Terima uang amplop setiap kali anggaran proyek dicairkan telah menjadi budaya dan menjadi sikap mental para pegawai negeri. Uang itu berasal dari uang komisi yang besarannya bisa 15-30% dari nilai proyek yang dikerjakan oleh para kontraktor. Banyak pegawai yang tidak lagi menganggap uang amplop yang mereka terima sebagai korupsi.

Oleh sebab itu, kehadiran KPK sangat diperlukan. KPK perlu diperkuat, baik dari sudut SDM (terutama para penyidik), sarana dan peralatan kerja yang super canggih. Selain itu KPK bahkan perlu diperkuat dengan mendirikan kantor-kantor perwakilan KPK di setiap daerah propinsi, kabupaten dan kota. Kehadiran KPK di setiap daerah akan menciutkan nyali para koruptor.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun