Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Money

Swasembada Daging Sapi, di Padang Mangateh Jokowi Menemukan Solusi  

15 Oktober 2015   02:12 Diperbarui: 15 Oktober 2015   04:11 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Sudah lebih dari 3 tahun harga daging sapi tidak pernah turun. Masih sekitar Rp 100 ribu sampai Rp 120 ribu per kg. Jika dibandingkan dengan negara tetangga kita Australia, pada Juni 2013 harga daging sapi di sana hanya Rp 37.830 per kg, lebih rendah ketimbang harga pada Desember 2012: Rp 42.195 per kg. Di Indonesia sebaliknya yang terjadi. Sejak November 2012, harga daging sapi naik hingga menembus Rp 100.000 per kg dan tidak pernah turun lagi. Bahkan pada lebaran 2015, harga daging sapi mencapai puncaknya, Rp 120 ribu per kg.

Jadi rakyat Indonesia yang memiliki tradisi wajib memasak daging sapi pada lebaran Idul Fitri untuk diolah menjadi rendang dan gulai semur, sangat dirugikan.  Idealnya konsumen membeli daging dengan harga wajar saja, tetapi peternak tetap untung. Harga yang wajar seharusnya adalah Rp 75.000.-

Menteri BUMN era SBY, Dahlan Iskan sudah mencoba beberapa solusi, tetapi semuanya gagal. Mulanya, ditemukan suatu rumus untuk pakan sapi yang murah dari daun kelapa sawit. Menurut pada ahli peternakan dari ITB, tandan sawit yang diolah menjadi semacam bubur daun sawit, ternyata sangat  baik dijadikan pakan sapi. Hasil uji coba menunjukan terjadi peningkatan bobot.  Jadi dengan membuat usaha peternakan sapi di perkebunan sawit akan dicapai efisiensi biaya, khususnya biaya pakan sapi yang merupakan salah satu komponen biaya produksi yang paling memberatkan.  Pada hal setiap pohon sawit, setiap tahun memerlukan pemangkasan sebanyak 7 tandan per tahun.  Jika ada sejuta pohon sawit maka tersedia 7 juta tandan daun sawit yang siap diolah menjadi bubur daun sawit.

Maka waktu itu muncullah istilah “sasa”, singkatan dari sawit dan sapi. Dahlan Iskan yang membawahi sejumlah BUMN perkebunan sawit  mendorong agar BUMN itu menjalankan pula usaha peternakan sapi. Dengan cara demikian, Dahlan Iskan berharap usaha swasembada daging sapi dapat dipercepat dan harga daging sapi bisa diturunkan. Maka BUMN perkebunan melakukan diversifikasi usaha yaitu peternakan sapi.

Tapi usaha peternakan sapi di kebun sawit langsung dihadang oleh kendala, yaitu sulitnya mendapatkan sapi bakalan untuk dibesarkan. Jangankan untuk mendapatkan 10.000 ekor per unit usaha peternakan. Untuk mendatangkan 100 ekor sapi bakalan saja susahnya bukan main.

Lalu muncul gagasan inovatif lain, yaitu beli saja usaha petenakan sapi yang sudah jadi berikut lahannya di Australia atau Selandia Baru. Nanti, sapi-sapi yang layak potong dikirim ke Indonesia, baik sapi hidup atau sudah berupa daging sapi. Maka persiapan untuk merealisasikan gagasan itu segera dimulai. Ada dua BUMN yang ditugaskan untuk membeli peternakan sapi di Australia. Tetapi entah mengapa, rencana pembelian peternakan sapi itu urung dilaksanakan.

Presiden Jokowi mencanangkan Indonesia swasembada pangan dalam 3 tahun. Presiden Jokowi menugaskan Menteri Pertanian untuk mewujudkannya, termasuk swasembada sapi. Tapi tidak jelas bagaimana swasembada sapi itu direalisasikan. Sementara Kementerian Pertanian sendiri masih menghadapi kekacauan dalam hal data jumlah sapi yang ada di Indonesia. Yang pasti, usaha peternakan sapi masih mengandalkan usaha-usaha peternakan sapi skala sangat kecil milik perorangan di pedesaan, yang memiliki sapi 2-3 ekor saja. Sedangkan jumlah unit usaha peternakan sapi skala rumah tangga itu mencapai 6,5 juta unit usaha.

Jadi total jumlah sapi ternak di Indonesia sekitar 15 juta ekor. Dengan jumlah sapi sebanyak itu, swasembada sapi seharusnya sudah tercapai. Rakyat Indonesia hanya memerlukan 350.000 ekor sapi setiap tahun. Tetapi mengapa harga daging sapi masih sangat mahal?. Mengapa masih harus impor? Bisakah usaha peternakan skala rumahtangga itu diandalkan untuk mewujudkan swasembada daging sapi? Yang jelas, usaha peternakan sapi skala rumah tangga itu tidak semuanya dimaksudkan untuk memproduksi sapi potong. Banyak pula keluarga yang mempekerjakan sapi mereka untuk membajak sawah.

Maka dalam perjalanan darat dari Padang ke Kampar (Riau) minggu lalu, Presiden Jokowi tiba-tiba  memutuskan untuk melihat usaha peternakan sapi milik pemerintah di Padang Mangateh, Kecamatan Luhak, Kabupaten Limapuluh Kota. Sapi-sapi di peternakan itu dibiarkan tanpa kandang, mereka makan, kawin dan bunting secara alamiah di lahan peternakan seluas 280 hektar. Nantinya sapi jantan yang sudah layak potong ditangkap dan dijual kepada pedagang daging sapi.

Pada lahan peternakan seluas 280 hektar itu, dipelihara sebanyak 1250 ekor sapi. Jumlah sapi ternak itu belum optimal, karena rata-rata hanya 4 ekor per hektar. Jika  dioptimalkan, misalnya sepuluh ekor per hektar, maka pada lahan peternakan sapi seluas 280 hektar itu seharusnya dapat dipelihara 2.600 ekor sapi.

Presiden Jokowi langsung mendapatkan ide untuk mempercepat swasembada daging. Semestinya, setiap Pemda Provinsi dan Kabupaten memiliki usaha peternakan sapi model Padang Mangateh itu. Jadi minimal harus ada 500 unit peternakan sapi model Padang Mangateh di seluruh Indonesia. Dengan 500 unit peternakan sapi, di mana masing-masing memelihara 2.600 ekor sapi, maka jumlah sapi yang diternakkan mencapai  1,3 juta ekor. Maka rencana pemerintah untuk mewujudkan swasembada daging sapi tidak lagi angan-angan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun