Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik

Salim Kancil dan Hukum Rimba di Negara Kita  

7 Oktober 2015   17:37 Diperbarui: 7 Oktober 2015   17:51 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Hukum rimba sejatinya adalah hukum yang berlaku pada kehidupan binatang.  Hukum yang berlaku adalah yang kuat memakan yang lemah. Singa, harimau dan macan tutul  yang kuat membunuh rusa dan kuda zebra yang lemah untuk dimakan. Dan sebagainya.

Saya kira setelah 70 tahun Indonesia merdeka,  hukum rimba sudah tidak ada lagi dalam kehidupan manusia di negara yang katanya berdasarkan hukum. Tiga puluh tahun lalu, sewaktu bertugas sebagai konsultan transmigrasi dan bertempat tinggal di kota kecil pusat pemukiman transmigasi di Jambi, suasana hukum rimba itu masih kental. Polisi-polisi setempat  menganggap dirinya bisa berbuat apa saja. Pernah  isteri saya menjadi incaran polisi untuk diperkosa. Saya memberanikan diri mendatangi oknum polisi-polisi jahat itu. Saya mengancam akan membuat laporan ke Kapolda dan kalau perlu ke kapolri, jika ia masih menciptakan suasana tidak aman bagi keluarga saya.  Untunglah  polisi mengalah.  Mereka memahami posisi saya sebagai konsultan dari Jakarta yang tidak seenaknya bisa diganggu.  Mereka rupanya masih takut kehilangan pekerjaan.

Tetapi 30 tahun kemudian, hukum rimba masih berlaku dalam kehidupan manusia di negara kita. Di berbagai daerah, negara belum sepenuhnya hadir. Hukum belum berfungsi melindungi rakyat. Yang hadir barulah penguasa lokal, polisi dan pengusaha investor yang kejam dan serakah.  Jika di daerah itu terdapat kekayaan negara. Mereka bekerjasama untuk mengangkangi sumberdaya alam itu

Dari pengalaman saya, hukum rimba pada kehidupan manusia banyak terjadi di daerah yang jauh.   Semakin jauh dari Jakarta atau ibukota propinsi, semakin besar kecenderungan berlakunya hukum rimba. Kabupaten  Lumajang termasuk daerah jauh itu, berada di bagian Selatan Jawa Timur. Di kabupaten itu, ternyata  negara belum hadir. Karenanya, tidak ada yang ditakuti oleh para penguasa lokal. Mereka bisa berbuat semaunya. Mereka bisa berlaku kejam jika ada kepentingan mereka terganggu. Tidak ada yang mengawasi tindak tanduk mereka yang merugikan rakyat. Apalagi pada umumnya rakyat sudah bersikap pasrah dan tidak berani melawan. Kalau ada yang berani melawan para penguasa lokal, apalagi terkait dengan bisnis yang mereka lindungi, yang selama ini  telah menjadikan mereka kaya raya, mereka akan dihabisi saja.

Hal itulah  yang terjadi pada Salim Kancil, seorang aktifis lingkungan hidup di desanya. Ia mati dibunuh oleh belasan orang di pendopo desa. Para pembunuhnya dikenal sebagai pengawal atau centeng  Kepala Desa.  Salim Kancil sudah melaporkan ancaman terhadap dirinya kepada polisi. Tetapi laporannya tidak ditindak-lanjuti oleh polisi, dibiarkan saja,  sehingga terjadilah pembunuhan itu.  

Jadi hati-hatilah jika ditugaskan di daerah jauh. Hukum rimba mungkin masih berlaku di sana. Di daerah jauh itu, kehidupan manusia  bisa jadi tidak aman, karena di sana banyak  orang kuat, yang bodinya besar dan lengannya berotot. Mereka biasanya menjadi tukang pukul, centeng dan pengawal. Yang kuat dalam arti sebenarnya adalah penguasa. Mereka bisa jadi seorang kepala dusun, kepala desa, camat atau bupati.

Para penguasa lokal tidak takut kepada aparat hukum seperti polisi, karena para polisi sudah terserap menjadi unsur dari kaki tangan pengusaha selaku investor.  Polisi  akhirnya hanya bertindak membela yang salah, menyalahkan yang benar.

Oleh sebab itu, penguasa sebenarnya di daerah jauh adalah pengusaha swasta yang menjadi investor untuk memanfaatkan potensi kekayaan sumberdaya alam yang terdapat di daerah jauh itu. Meskipun umumnya mereka adalah orang luar, tetapi sangat berkuasa, karena mereka mempunyai uang yang sangat banyak.  Mereka membayar semuanya, baik penguasa lokal maupun  aparat hukum. Semua menjadi kaki tangannya.

Sebagai imbalan bagi uang yang sudah mereka bagi-bagikan, para penguasa lokal dan aparat hukum harus mengamankan segala aktifitas bisnis mereka.  Mereka tidak peduli, aktifitas bisnis mereka menjadikan rakyat menderita,  karena jalanan menjadi rusak, debu beterbangan, dan terjadinya kerusakan lingkungan.

Kasus pembunuhan Salim Kancil  hanya bisa terjadi  karena di daerah jauh seperti Kabupaten Lumajang, karena di sana masih berlaku hukum rimba. Fakta-fakta lapangan menegaskan Lumajang merupakan salah satu kabupaten  yang memberlakukan hukum rimba, jika kita mengajukan pertanyaan dan dijawab sendiri :

Mengapa PAD dari tambang pasir hanya Rp 75 juta pertahun, pada hal uang yang beredar dalam bisnis penambangan pasir itu milyaran rupiah perhari?.  Hal ini menjadi  indikasi penguasa lokal (kepdes dan bupati) bermain mata dengan pengusaha invenstor. Bahkan Komisi III DPR terkesan bahwa jajaran Pemkab Lumajang juga membiarkan penambangan liar berlangsung terus. Karenanya, diyakini sang Bupati mau saja daerahnya mendapatkan pemasukan yang sangat kecil, karena bagian terbesar masuk ke kantongnya dan para penguasa lokal lainnya.

Mengapa polisi tidak menindak-lanjuti  pengaduan Salim Kancil ke kapolsek dan kapolres.? Hal itu menjadi indikasi bahwa polisi lebih melindungi penguasa lokal (kepala desa), karena mereka sama-sama berkewajiban melindungi bisnis pengusaha investor dan selama ini telah menikmati uang yang dibagi-bagikan investor.

Pembunuhan dilakukan di Pendopo desa oleh orang-orang yang selama ini dikenal sebagai centengnya kepala desa. Hal ini menjadi bukti kuat Kepala Desa terlibat, atau bahkan pembunuhan dilakukan atas perintahnya. Tentu ia menolak terlibat dengan alasan berada di tempat lain, tetapi perangkat gaget yang dimilikinya, sebenarnya bisa digunakan sebagai bukti bahwa perintah pembunuhan itu datang dari si Kepala Desa.

Mengapa Kepala desa tidak  langsung dijadikan tersangka oleh polisi. Setelah mendapatkan tekanan dari masyarakat dan media sosial, barulah Kepdes dijadikan tersangka. Hal ini dapat menjadi bukti, bahwa polisi berusaha keras melindunginya, tetapi karena kasusnya berkembang menjadi kasus  berskala nasional, maka polisi terpaksa menetapkannya sebagai tersangka.

Akhirnya terpulang kepada Soekarwo, Saifullah Yusuf dan Kapolda. Mampukah mereka menghapus arang yang tercoreng di kening Jawa Timur. Lalu terpulang kepada Jokowi, Jaksa Agung dan Kapolri, mampukah mereka menghadirkan  tangan-tangan negara  untuk menegakkan Indoonesia sebagai  negara hukum, ke seluruh propinsi dan daerah di Indonesia.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun