Ilustrasi - koperasi (Kompas.com)
Hari ini, 12 Juli 2015, adalah hari koperasi ke-68. Peringatan hari koperasi diadakan di Kupang, NTT. Presiden Jokowi mungkin menganggap acara itu tidak terlalu penting. Karenanya, Presiden Jokowi mewakilkan kepada Wapres Jusuf Kalla untuk menghadiri dan memimpin upacara itu.
Tapi hari koperasi (harkop) memang sudah lama diperingati sebagai seremoni basa-basi, hanya karena koperasi dipandang sebagai pengejawantahan dari Pasal 33 UUD 1945 ayat-1. Dalam realitasnya, yang tumbuh dan berkembangan pesat adalah badan-badan usaha non koperasi. Sedangkan koperasi sendiri semakin terpinggirkan. Maka posisi koperasi di Indonesia sebenarnya antara ada dan tiada.
TIdak demikian halnya di negara-negara lain, termasuk negara kampiun kapitalis. Koperasi tumbuh dan berkembangan dengan pesat. Pada awal 1997, menjelang krismon, saya mendapat kesempatan melakukan studi banding tentang koperasi-koperasi di Kanada. Salah satu koperasi yang dikunjungi adalah “Mountain Equipment Coop” (MEC) yang berkantor pusat di Vancover, sebuah kota besar di pinggir pantai Lautan Pasifik Kanada. Koperasi itu didirikan oleh para olahragawan pendaki gunung pada 1971. Sebelumnya, untuk mendaki gunung-gunung yang tinggi dan dilapisi es, mereka membelinya ke kota Seatle di wilayah Amerika Serikat yang berbatasan dengan Kanada.
MEC memulai usaha dengan mendirikan toko yang menjual berbagai macam alat-alat olah raga pendaki gunung dengan harga bersaing. Sekarang, MEC telah membuka cabang di 17 kota besar, seperti Montreal dan Ottawa, ibukota Kanada. Setiap toko koperasi besarnya sama dengan sebuah mal seukuran Carefour.
MEC menjalankan sepenuhnya prinsip-prinsip koperasi yang digariskan oleh International Cooperative Alliance(ICA). Setiap orang boleh dan terbuka untuk menjadi anggota koperasi, sesuai prinsip “open membership” tanpa memandang glongan, agama, bangsa dan jenis kelamin. Tentunya yang diterima adalah yang bersedia mengikuti ketentuan keanggotaan dalam koperasi. Salah satunya adalah kesediaan untuk membayar “membership share” yang jumlahnya sama setiap orang, sehingga setiap anggota mempunyai hak yang sama, dan ketentuan “one member one vote” bisa dijalankan.
Sesuai prinsip koperasi, MEC hanya melayani anggotanya saja, yaitu orang yang memiliki kartu anggota. Karenanya, untuk membeli barang dan alat-alat olahraga di koperasi ini, haruslah menjadi anggota koperasi. Tetapi caranya cukup mudah, yaitu bersedia membayar “membership share” sekitar 5 dollar Kanada yang ditambahkan pada saat membayar di kasir, pada pertama kali belanja. Pada 2013, jumlah anggota MEC mencapai 4,1 juta orang.
Saya membeli sejumlah barang di MEC sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang. Sesuai ketentuan MEC, pada saat membayar di kasir, saya sebagai orang asing ternyata juga harus membayar “membership share” tersebut. Maka jadilah saya sebagai anggota MEC. Selama dua tahun, saya dikirimi berbagai informasi oleh koperasi ini, seperti barang-barang baru yang tersedia, rencana rapat anggota dan calon ketua koperasi yang akan maju untuk periode berikutnya. Rupanya ada ketentuan MEC bahwa jika tidak aktif selama dua tahun akan dihapus dari daftar anggota. Setelah dua tahun berlalu saya tidak lagi mendapat kiriman dokumen dari MEC.
Bagaimana dengan koperasi konsumen di Indonesia?
Secara kuantitas, koperasi Indonesia tumbuh pesat. Menurut Menteri Koperasi dan UKM, pada 2014 jumlah koperasi mencapai 200.808 unit. Sebagian besar dari jumlah koperasi itu adalah koperasi yang termasuk koperasi konsumen. Tetapi sayangnya, keberadaan koperasi tidak terasa sehingga ia menjadi seperti tidak ada.
Kita bisa melihat di daerah perkotaan, pada jarak kurang dari satu kilometer berdiri minimarket modern yang menjual semua barang kebutuhan pokok masyarakat, melengkapi warung-warung sembako dan kelontong yang dimiliki oleh perorangan. Akan tetapi tidak ditemukan koperasi konsumen di sana. Lalu di mana koperasi yang jumlahnya ratusan ribu unit itu berada?.
Koperasi konsumen di Indonesia meskipun banyak, sebagian besar berbentuk KPN atau kopkar. Koperasi itu dibatasi oleh dinding tembok kantor-kantor pemerintah atau pabrik-pabrik. Kondisi itumenyebabkan keanggotaan dalam koperasi menjadi tertutup untuk umum, karena hanya terdiri dari pegawai atau karyawan yang ada di suatu kantor-kantor pemerintah dan perusahaan swasta itu. Akibatnya, ukuran koperasi, khususnya koperasi-koperasi primer sangat kecil sehingga skala ekonominya tidak tercapai. Akibatnya omset koperasi terbatas pula, sehingga tidak mampu memotong saluran distribusi barang untuk mendapatkan harga yang lebih murah. Yang terjadi, harga barang di koperasi tidak lebih murah atau bahkan lebih mahal dari harga barang di minimarket dan warung-warung sembako.
Meskipun demikian, loperasi di Indonesia sudah dilindungi oleh undang-undang, yaitu UU No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Namun kalangan gerakan koperasi, DPR dan Pemerintah memandang perlunya dilakukan perubahan UU Koperasi agar lebih kompatibel dengan badan-badan usaha lainnya. Maka lahirnya UU no 17 Tahun 20012 tentang Perkoperasian. Salah satu substansi yang diubah adalah mengenai permodalan koperasi.
Masalah yang dihadapi koperasi selama ini, sulitnya mendapatkan akses kepada sumber permodalan, khususnya perbankan. Pihak perbankan misalnya memandang simpanan pokok anggota pada koperasi bukanlah modal, tetapi justru utang. Neraca koperasi selalu minus karena tidak punya modal sendiri, sehingga tidak layak mendapatkan kredit. Jadi ada banyak ketentuan dalam UU no. 25 tahun 1992 tentang perkoperasian yang tidak sesuai dengan statusnya sebagai business entity.
Tapi apa lacur, ada pihak yang memiliki legal standing melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan itu dikabulkan oleh MK yang memutuskan seluruh ketentuan dalam UU koperasi yang baru itu dinyatakan batal. Masalahnya menjadi rumit karena pertimbangan yang digunakan MK justu tidak memperjelas persoalan. MK terlalu jauh menyimpulkan bahwa undang-undang itu mengutamakan skema permodalan materiil dan finansial serta mengesampingkan modal sosial yang menjadi ciri fundamental koperasi sebagai suatu entitas khas pelaku ekonomi berdasarkan UUD 1945. Entah apa yang dimaksud MK dengan modal material dan modal sosial. Entah apa pula tafsir para hakim konstitusi tentang pasal 33 ayat-1 UUD 1945 sehingga mereka sampai pada keputusan tersebut. Dengan keputusan MK tersebut, usaha untuk menjadikan koperasi benar-benar sebagai business entity, menjadi kandas. Maka sempurnalah koperasi di Indonesia dalam kondisi antara ada dan tiada.
Saya secara pribadi berpendapat bahwa koperasi sebenarnya termasuk dalam rumpun keluarga besar perseroan terbatas (PT). Yang membedakannya dengan PT non koperasi adalah prinsip-prinsip koperasi sesuai rumusan ICA yang ditambahkan pada UU PT tersebut. Itulah sebabnya di luar negeri, pada nama koperasi ditambahkan istilah limited atau berhad (Malaysia) yang berarti perseroan terbatas koperasi. Dengan bernaung di bawah UU PT, maka status koperasi menjadi kompatibel dengan badan usaha perseroan terbatas lainnya. Koperasi menjadi benar-benar badan usaha. Koperasi juga sederajat dengan badan usaha lainnya dalam membuat dan menjalankan perjanjian bisnis yang saling menguntungkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H