Koperasi konsumen di Indonesia meskipun banyak, sebagian besar berbentuk KPN atau kopkar. Koperasi itu dibatasi oleh dinding tembok kantor-kantor pemerintah atau pabrik-pabrik. Kondisi itumenyebabkan keanggotaan dalam koperasi menjadi tertutup untuk umum, karena hanya terdiri dari pegawai atau karyawan yang ada di suatu  kantor-kantor pemerintah dan  perusahaan swasta itu. Akibatnya, ukuran koperasi, khususnya koperasi-koperasi  primer  sangat kecil sehingga skala ekonominya tidak tercapai.  Akibatnya omset koperasi terbatas pula, sehingga tidak mampu memotong saluran distribusi barang untuk mendapatkan harga yang lebih murah. Yang terjadi, harga barang di koperasi tidak lebih murah atau bahkan lebih mahal  dari harga barang  di minimarket dan warung-warung sembako. Â
Meskipun demikian, loperasi di Indonesia sudah dilindungi oleh undang-undang, yaitu UU No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Namun kalangan gerakan koperasi, DPR dan Pemerintah memandang perlunya dilakukan perubahan UU Koperasi agar lebih kompatibel dengan badan-badan usaha lainnya. Maka lahirnya UU no 17 Tahun 20012 tentang Perkoperasian. Salah satu substansi yang diubah adalah mengenai permodalan koperasi.
Masalah yang dihadapi  koperasi selama ini, sulitnya mendapatkan akses kepada sumber permodalan,  khususnya perbankan. Pihak perbankan misalnya  memandang  simpanan pokok anggota pada koperasi bukanlah modal,  tetapi justru utang. Neraca koperasi selalu minus karena tidak punya modal sendiri, sehingga tidak layak mendapatkan kredit. Jadi ada banyak ketentuan dalam UU no. 25  tahun 1992 tentang perkoperasian  yang tidak sesuai dengan statusnya sebagai business entity.
Tapi apa lacur, ada pihak yang memiliki legal standing melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan itu dikabulkan oleh MK yang memutuskan seluruh ketentuan dalam UU koperasi yang baru itu dinyatakan batal. Masalahnya menjadi rumit karena pertimbangan yang digunakan MK Â justu tidak memperjelas persoalan. MK terlalu jauh menyimpulkan bahwa undang-undang itu mengutamakan skema permodalan materiil dan finansial serta mengesampingkan modal sosial yang menjadi ciri fundamental koperasi sebagai suatu entitas khas pelaku ekonomi berdasarkan UUD 1945. Entah apa yang dimaksud MK dengan modal material dan modal sosial. Entah apa pula tafsir para hakim konstitusi tentang pasal 33 ayat-1 UUD 1945 sehingga mereka sampai pada keputusan tersebut. Dengan keputusan MK tersebut, usaha untuk menjadikan koperasi benar-benar sebagai business entity, Â menjadi kandas. Maka sempurnalah koperasi di Indonesia dalam kondisi antara ada dan tiada.
Saya secara pribadi berpendapat bahwa koperasi sebenarnya termasuk dalam rumpun keluarga besar perseroan terbatas (PT). Yang membedakannya dengan PT non koperasi adalah  prinsip-prinsip koperasi sesuai rumusan ICA yang ditambahkan pada UU PT tersebut. Itulah sebabnya di luar negeri,  pada nama koperasi ditambahkan istilah limited atau berhad (Malaysia)  yang berarti perseroan terbatas koperasi. Dengan bernaung di bawah UU PT,  maka  status koperasi menjadi kompatibel dengan badan usaha perseroan terbatas lainnya. Koperasi menjadi benar-benar badan usaha. Koperasi juga sederajat  dengan badan usaha lainnya dalam membuat dan menjalankan perjanjian bisnis yang saling menguntungkan.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H