Mencari dan mendapatkan seseorang untuk menjadi menteri yang mumpuni adalah pekerjaan yang luar biasa sulit. Apalagi untuk mendapatkan 34 orang menteri mumpuni sekaligus. Banyak menteri yang diangkat Jokowi mempunyai curriculum vitae yang luar biasa bagus. Tapi sebagai menteri, setelah 6 bulan bertugas, kinerja mereka ternyata tidak sebagus curriculum vitae mereka.
Itulah kenyataan yang dihadapi Presiden Jokowi saat ini. Setelah 7 bulan memimpin para menteri dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK, maka mulai ketahuan tidak ada menteri yang memiliki kompetensi luar biasa. Saya menilai hanya ada 4 menteri yang memiliki kinerja yang lumayan bagus, yaitu Susi Pudjiastuti (MKP), Ignatius Jonan (Menhub), Sudiman Said (Men ESDM) dan Marwan Ja’far (Men DTDT) Selebihnya hanyalah para menteri dengan kompetensi biasa-biasa saja, yang kinerjanya masih jauh dari harapan rakyat.
Masih untung ada Presiden Jokowi, yang dengan kewibawaan dan kemampuan politiknya, berbagai kelemahan kabinetnya masih bisa ditutupi. Ia berhasil melunakkan hati para anggota DPR, sehingga RAPBN-P 2015 disetujui tanpa banyak perdebatan. Pada hal di DPR ada KMP yang menjadi oposisi. Tetapi semua menyetujui RABPN-P dijadikan Undang-Undang. Pada hal di dalam APBN-P itu terdapat dana sebesar hampir 300 triliun yang akan digunakan untuk pembangunan berbagai infrastruktur ekonomi sesuai program Nawacita yang dijanjikan Jokowi.
Akan tetapi kelonggaran fiskal sebesar 300 triliun rupiah itu ternyata tidak cukup untuk mendongkrak kinerja perekonomian Indonesia. Indikatornya dengan mudah dilihat, seperti nilai rupiah yang masih terus melemah, IHSG yang stagnan dan cenderung turun. Rakyat kecil menghadapi kesulitah karena harga barang kebutuhan pokok yang terus meroket setelah subsidi BBM dicabut tanpa bisa dihentikan, dan sebagainya.
Dalam situasi yang tersebut, muncul desakan bertubi-tubi kepada Presiden untuk mengganti sejumlah menterinya yang kinerjanya tidak bagus. Semua bicara tentang perlunya dilakukan reshuffle kabinet. Para politisi di KIH dan KMP melihat ada peluang, lalu meramaikan desakan kepada Presiden Jokowi. Wapres JK yang mulai kurang kompak dengan Presiden Jokowi ikut memperkuat desakan itu.
Tapi yang menjadi pertanyaan siapa yang perlu dan harus diganti. Lalu, wajarkah seorang menteri diganti pada hal anggaran bagi kementeriannya baru saja turun. Dan yang lebih sulit lagi adalah mencari penggantinya yang lebih hebat. Parpol KIH tidak punyai kader yang hebat, mereka hanyalah politikus yang sok bisa.
Saya pada mulanya tidak setuju dilakukannya reshuffle kabinet, karena para menteri belum waktunya dievaluasi. Anggaran kementerian masih belum turun atau baru saja turun. Tetapi kemarin ada berita Jokowi marah-marah karena banyak menteri yang memang lamban dalam bekerja. Jokowi marah karena masih banyak menteri yang belum juga berhasil menyesuaikan nomenklatur kementeriannya dengan ketentuan yang digariskan dalam undang-undang. Akibatnya, kementerian tersebut belum bisa mencairkan anggaran yang tersedia. Maka saya pikir memang ada menteri yang selayaknya diganti.
Saya berpendapat menteri pertama yang harus diganti oleh Presiden Jokowi adalah Sofyan Djalil, Menko Perekonomian. Ia bertanggung jawab atas kemerosotan kinerja ekonomi Indonesia selama 6 bulan ini. Meski berasal dari unsur profesional, prestasi Sofyan Djalil sebagai menteri sebenarnya tidak moncer.
Ia adalah menteri “bawaan” Jusuf Kalla. Sofyan pernah menjabat sebagai Menteri BUMN, lalu dipindah menjadi Menkominfo di masa pemerintahan SBY yang pertama. Tidak ada yang bisa dicatat sebagai prestasi kerja yang hebat dari Sofyan Djalil sebagai menteri pada 2 pos kementerian tersebut. Ia justru terkenal sebagai satu juru runding perdamaian Aceh. Ia ditunjuk karena satu-satunya menteri yang berasal dari Aceh.
Sofyan Djalil tersingkir bersamaan dengan tersingkirnya JK pada periode kedua pemerintahan SBY. Lalu Sofyan Djalil kembali menjadi menteri, kali ini Menko Perekonomian, pada pemerintahan Jokowi-JK. Jadi Sofyan selalu menjadi menteri jika JK menjadi wapres. Tapi sayangnya Sofyan belum pernah menunjukkan kinerja yang bagus.
Rini Sumarno termasuk menteri yang seharusnya juga diganti. Ia menempati posisi yang dulu diduduki Dahlan Iskan selama 3 tahun. Akan tetapi Rini yang kurus dan ringkih, tidak mampu meneruskan kinerja yang dihasilkan Dahlan Iskan. Rini lebih suka bekerja di belakang meja. Sedangkan Dahlan Iskan lebih menyukai blusukan, kunjungan mendadak ke seluruh wilayah Indonesia untuk melihat dan mempelajari kondisi riil 240-an perusahaan BUMN. Pada bulan keenam, Dahlan Iskan sudah bisa “action”. Hasilnya luar biasa. Pada hampir setiap proyek raksasa BUMN selalu ada sentuhan dan jejak “action” Dahlan Iskan.
Sebagai contoh, dulu pada 2013, Bulog yang termasuk perusahaan BUMN “dipaksa” Dahlan Iskan untuk bekerja keras membeli beras atau gabah dari petani. Hasilnya Bulog mampu membeli 3,5 juta ton beras. Indonesia tidak perlu lagi impor beras. Sekarang, Bulog yang dibawahi Rini Sumarno kinerjanya melorot. Ia mungkin terlambat memerintahkan Bulog membeli gabah petani. Akibatnya, Bulog baru mampu membuat stok beras sebanyak 500 ribu ton saja, sehingga kran impor harus dibuka kembali.
Rini baru saja memecatkan banyak direktur utama perusahaan BUMN, hanya berdasarkan laporan pembantunya. Ia tidak merasa perlu melihat kondisi riil BUMN tersebut di lapangan.
Puan Maharani termasuk menteri yang seharusnya juga diganti. Tapi mungkin sulit bagi Jokowi untuk mengganti Puan, karena ia adalah puteri Mahkota kerajaan PDIP. Bahkan mungkin posisinya sekarang adalah “pengawas” perilaku dan tindakan Jokowi selaku “petugas partai” untuk dilaporkan kepada sang Ratu.
Tapi dalam posisinya sebagai Menko SDM, Puan belum melakukan apa-apa. Bahkan program Revolusi Mental yang seharusnya dirancang dengan baik, belum kelihatan hasilnya. Pada hal program Revolusi Mental adalah salah satu program unggulan Jokowi yang menjadikan Jokowi menang debat televisi melawan Prabowo. Jadi Puan Maharani adalah seorang menteri yang lamban dan belum punya prestasi apa-apa.
Menteri lain yang juga perlu diganti adalah Tedjo Edy Purdjianto, Menko Polhukam. Ia menteri yang tidak bisa menjaga bicaranya kepada publik. Krisis politik dalam kasus BG beberapa waktu lalu adalah bagian dari tanggung jawabnya selaku Menko Polhukam. Tapi ia mengambil posisi berseberangan dengan Presiden. Ia bersama JK ikut kelompok yang mendorong Jokowi untuk melantik BG menjadi kapolri. Pada hal dengan sikap itu dia sebenarnya membenturkan Jokowi dengan rakyat yang memilihnya, yang percaya ia akan membentuk pemerintahan yang adil dan dari bersih.
Masih banyak menteri yang tidak performed. Tapi bagi mereka perlu diberikan kesempatan dan waktu yang lebih banyak, seperti Rahmat Gobel (Medag), Husin Saleh (Menperind), Hanif Dakiri (Menaker) dan sebagainya. Bahkan Amran Sulaeman, Mentan diberi waktu 3 tahun oleh Presiden Jokowi untuk mewujudkan Indonesia swasembada pangan. Mungkin swasembada beras bisa diwujudkan. Tapi bagaimana dengan swasembada bahan pokok lainnya seperti daging, gula, garam dan seterusnya. Itu tantangan yang berat yang dihadapi Amran Sulaeman, orang daerah yang dipercaya Jokowi menjadi menteri.
# Reshuffle Kabinet Kerja Jokowi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H