Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jabatan Menteri Senior untuk ARB

21 Mei 2014   20:08 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:16 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada masa injury time, Golkar sepakat untuk mendukung Prabowo sebagai capres. Seusai Rapimnas Golkar,  Aburizal Bakrie (ARB) yang kepepet waktu, menjambangi Megawati,  SBY dan Prabowo. Menjelang pendeklarasian Prabowo dan Hatta Radjasa selaku capres dan cawapres, sekali lagi mereka bertemu secara terpisah. Setelah melalui lika liku dan lobi panjang, akhirnya Golkar sepakat merapat ke Gerindra. Golkar menjadi partai kelima yang memberikan dukungan kepada Prabowo, selain Gerindra, PAN, PKS dan PPP. Prabowo juga didukung oleh PBB yang tidak lolos ke Senayan,  sehingga dukungan mereka lebih bersifat simbolik.

Berkejaran dengan waktu, ARB bersedia menurunkan persyaratan kemitraan dengan Gerindra, dari posisi capres, cawapres sampai turun ke sejumlah pos menteri bagi Golkar. Prabowo cukup pintar dalam membujuk ARB, dengan menawarinya jabatan Menteri Senior. Itulah tawaran Prabowo untuk menutup kekecewaan ARB dan sekaligus kehormatan Golkar. Itulah informasi yang disampaikan Fadel Muhammad,  Waketum Golkar. Tapi tentunya tidak hanya jabatan Menteri Senior. Sejumlah pos menteri lain akan diberikan Prabowo kepada Golkar.

Menteri Senior merupakan jabatan yang tidak termasuk dalam UU tentang Menteri Negara. Karenanya, jika Prabowo menang,  dia harus segera meminta DPR melakukan revisi terhadap UU tersebut, agar posisi Menteri Senior bisa dimasukkan.

Itulah cara yang digunakan Prabowo untuk mendukung pencapresannya. Istilah kerennya adalah power sharing. Bermitra dalam koalisi artinya ada kesepakatan bagi-bagi kekuasaan. Wujudnya adalah pembagian jatah menteri kepada parpol pendukung. Tentunya jumlah kursi menteri tersebut disesuaikan dengan jumlah kursi yang mereka punyai di DPR. Itulah tradisi yang sudah dijalankan selama puluhan tahun. Begitu juga yang dipraktekkan selama 2 periode di era pemerintahan SBY.

Prabowo sendiri sempat berada dalam posisi terjepit  sewaktu PKS dan PPP mempersoalkan posisi cawapres yang akan diberikan kepada Hatta Radjasa dari PAN. PKS mempersoalkan mengapa bukan dipilih dari salah satu 3 nama cawapres yang telah mereka ajukan. PPP mempersoalkan latar belakang Hatta yang bukan dari Nahdhiyin, tetapi dari Muhammadiyah. Tetapi, setelah mengadakan pertemuan dengan para ketua umum parpol pendukung, akhirnya mereka menyepakati Hatta Radjasa sebagai cawapres yang akan mereka dukung. Untuk itu,  sebagai imbalan, diduga ada kesepakatan jatah menteri bagi PAN berkurang sedangkan bagi PKS dan PPP bertambah.

Demikianlah, Prabowo sudah bagi-bagi pos menteri bagi parpol mitra koalisi pendukung. Bahkan ada pos menteri baru yang harus ditambahkan yang hanya bisa dilakukan dengan merevisi ketentuan perundang-undangan. Pada hal Pilpres masih jauh, masih 2 bulan lagi. Pada hal Presiden terpilih baru akan dilantik masih 5 bulan lagi. Belum jelas pula siapa yang akan memenangkan kursi presiden, bisa Prabowo bisa Jokowi.

Lain lagi halnya dengan Jokowi. Sejak awal dia sudah menjelaskan bahwa ia tidak mau membentuk koalisi parpol pendukung dengan cara bagi-bagi jatah menteri.  Ia juga tidak suka dengan istilah koalisi, tetapi kerjasama. Bagi Jokowi,  kerjasama tersebut haruslah didasarkan atas kesepakatan dan kesamaan platform dan  pogram yang akan dijalankan pada setiap sektor pemerintahan. Barulah dari sana dicari figur yang paling kompeten dan memiliki integritas tinggi untuk menjalankan program tersebut. Ia menginginkan figur terbaik untuk setiap jabatan menteri, bisa berasal dari parpol atau dari kalangan profesional.

Pada mulanya, ide Jokowi tersebut ditanggapi negatif. Bahkan para pengamat dari perguruan tinggi juga menyatakan ide Jokowi tersebut tidak mungkin terwujud dan tidak lazim. Namun Jokowi bertahan dengan idenya. Ternyata ada parpol yang setuju. Ia berhasil mendapatkan Partai Nasdem yang bersedia tidak minta jatah menteri. Lalu,  PKB juga setuju bergabung. Terakhir Hanura bergabung. Ditambah PDIP,  jumlah kursi empat partai tersebut sudah juah melampaui 112 kursi,  persyaratan yang ditetapkan UU untuk pengusulan pasangan capres/cawapres.

Jokowi menjelaskan alasan mengapa Partai Golkar tidak bergabung untuk mendukung pencapresannya. PDIP menolak berbagai permintaan Golkar untuk diberi jatah kursi. Jokowi hanya mau bekerjasama dengan partai yang tidak meminta-minta jatah. Sampai pertemuan terakhir,  permintaan Golkar untuk mendapatkan sejumlah pos kementerian tetap ditolak. Akhirnya Golkar berpaling ke Gerindra yang bersedia memberikan sejumlah pos menteri, termasuk posisi Menteri Senior bagi ARB.

Jokowi kelihatannya berkaca pada kinerja menteri-menteri di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid Satu dan Jilid Dua,  selama 10 tahun era pemerintahan SBY. Selama itu, sejumlah kementerian telah menjadi pos tetap bagi menteri dari parpol tertentu. Misalnya,  Kementerian Agama dan Perumahan menjadi jatah menteri dari PPP. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Perindustrian dan Menko Kesra  jatah menteri dari Golkar. Kementerian Pertanian, Sosial dan Kominfo jatah PKS. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Daerah Tertinggal menjadi jatah PKB.  Sedangkan Partai Demokrat mendapat jatah di Kementerian ESDM, Perhubungan, Koperasi & UKM,  Sekneg dan Sekab.

Namun sayangnya tidak ada menteri dari parpol yang memperlihat kinerja yang sangat baik. Prestasi mereka tidak ada yang menonjol. Nyaris tidak ada perubahan yang mereka hasilkan. Mereka pada umumnya adalah petinggi partai yang menyebabkan presiden tidak berani menegur mereka. Tetapi mereka tidak memiliki kapasitas dan kompetensi pada tugas kementerian yang menjadi tanggung jawab mereka. Untuk menutup kelemahan dan kegagalan,  para menteri biasanya bermain pada angka dan data tentang kemajuan-kemajuan yang dicapai selama mereka menjadi menteri. Tetapi,  apa yang mereka hasilkan sebenarnya tidak menyentuh sama sekali kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi rakyat banyak.

Yang kemudian terlihat hanyalah bahwa parpol tertentu menjadi penguasa di kementerian-kementerian tersebut. Setiap kementerian akan dimasuki oleh orang-orang parpol  yang berlagak berkuasa. Mereka akan mengangkangi proyek-proyek dari kementerian,  untuk dimenangkan oleh perusahaan-perusahaan tertentu yang dimilik orang partai. Perubahan personil  menteri dari parpol yang sama bisa terjadi  jika parpol berkehendak mengganti menterinya. Misalnya Fadel Muhammad diganti dengan Syarif Cicip Sutarjo yang sama-sama dari Golkar. Suharso Manoarfa diganti dengan Djan Farids yang sama-sama dari PPP.  Sayangnya tidak jarang menteri yang diganti mempunyai kinerja yang lebih baik dari menteri yang menggantikan. Presiden SBY sepertinya tak berdaya dan membiarkan saja iklim kerja minus prestasi dari kementerian-kementerian di bawah parpol tersebut.

Situasi itulah yang sepertinya ingin diubah oleh Jokowi  jika ia menjadi presiden. Ia mempunyai pengalaman sebagai gubernur,  bagaimana sulitnya mencari orang yang memiliki integritas dan kapabilitas untuk  jabatan  walikota,  sekwilda,  kepala-kepala dinas, camat sampai lurah-lurah di tingkat paling bawah.  Karenanya ia tidak percaya begitu saja dengan figur yang disodorkan oleh parpol untuk sekitar 30 pos menteri. Untuk itulah,  ia ingin parpol-parpol bisa diajak berdiskusi secara terbuka dalam menetapkan kriteria untuk setiap jabatan menteri.

Ciawi,  21 Mei 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun