PT. KAI berbenah. Di seluruh stasiun kereta api dibangun pagar besi yang kokoh. Para calon penumpang hanya bisa memasuki atau keluar stasiun pada pintu masuk dan pintu keluar. Masalahnya pada sejumlah stasiun besar pintu masuk dan pintu keluar itu dibuat pada sisi paling ujung stasiun yang menyebabkan calon penumpang harus berjalan kakii cukup jauh.
Terlebih lagi di stasiun kereta api Bogor. Untuk bisa masuk stasiun, saya harus ngos-ngosan menaiki jembatan penyeberangan. Sebenarnya jembatan penyeberangan itu sudah puluhan tahun bangun. Tapi warga Bogor tidak mau menggunakannya karena konstruksi jembatan yang terlalu terjal dan tinggi. Kalau tergelincir, pastilah kepala orang itu pecah atau setidaknya ia menderita geger otak.
Menteri Perhubungan Jonan memaksa calon penumpang KRL menaiki jembatan penyeberangan itu, khususnya yang datang dari arah Selatan. Orang harus naik jembatan karena di jalan sepanjang di depan stasiun sampai jembatan merah, dibangun pula pagar besi permanen, agar orang tidak bisa menyeberang jalan.
Kalau tidak naik jembatan, maka orang harus berjalan jauh, menyeberang jalan dari Jembatan Merah menyusuri jalanan yang macet penuh angkot untuk sampai ke pintu masuk stasiun. Begitu pula, kalau pulang ke Bogor menggunakan KRL. Pilihannya, naik jembatan curam itu atau berjalan kaki ke pintu masuk/keluar stasiun di yang letaknya jauh di sebelah ujung stasiun.
Itulah penderitaan yang dihadiahkan Jonan kepada pengguna KRL Bogor. Mungkin kondisi itu tidak ada masalah bagi yang masih berusia muda. Tapi bagi lansia dan ibu-ibu hamil, kondisi yang diciptakan Jonan itu betul-betul siksaan.
Kemarin, sewaktu mau keluar stasiun Bogor, seorang laki-laki lansia marah-marah meledakkan kejengkelannya dengan kata-kata kasar. Ia berteriak “Menteri Perhubungan Jonan itu otaknya di mana, apa ditarok di dengkul, membuat pintu keluar yang sangat jauh, kenapa tidak di depan ini saja, orang tua seperti saya kan jadi susah”.
Tidak hanya di Stasiun Bogor, tetapi pada sejumlah stasiun besar, juga dibuat pintu masuk dan keluar yang memaksa calon penumpang KRL berjalan ratusan meter. Di Stasiun Cikini, kondisinya sama, pintu masuk dan pintu keluar dibuat di ujung paling kiri dan ujung paling kanan stasiun yang mengharuskan calon penumpang berjalan kaki sekitar 200 meter.
Pernah juga saya naik KRL dari Sudimara ke Bogor. Karena belum tahu tiket ke Bogor bisa dibeli langsung dari Sudimara, maka saya beli tiket sampai stasiun Tanah Abang. Sesampai di Stasiun Tanah Abang sewaktu mau beli tiket untuk melanjutkan perjalanan ke Bogor, saya dicegat petugas. Rupanya ada peraturan baru dari PT. KAI, tangga stasiun hanya untuk calon penumbang yang akan naik ke KRL saja. Jadi saya harus memutar keluar stasiun dulu, yang lokasi pintu keluarnya jauh di ujung stasiun dan balik lagi ke stasiun, karena saya akan naik KRL tujuan Bogor.
Oleh sebab itu, saya usul, kebijakan yang menyiksa calon penumpang KRL itu seharusnya ditinjau kembali. Menhub Jonan perlu memerintahkan direksi PT. KRL Commuter untuk mengatur kembali posisi pintu masuk dan pintu keluar stasiun, untuk memberi kemudahan bagi calon penumpang KRL, terutama bagi lansia dan ibu-ibu hamil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H