Mohon tunggu...
Mj Jafar Shodiq
Mj Jafar Shodiq Mohon Tunggu... Dosen - Koordinator Nasional Kaukus Muda PPP

Direktur PT Mukti Lintas Media Owner Nuslembabershop Owner Majapahit Rental Owner Avra Pimpinan Redaksi Hidayatuna.com Direktur Lembaga Tunas Muda Cendekia Pendiri ITHLA (Organisasi Persatuan Mahasiswa Bahasa Arab Se Indonesia)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sepenggal Kisah Perubahan Naskah Piagam Jakarta

28 Februari 2020   14:00 Diperbarui: 7 April 2021   10:37 2134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kalau begitu kata Bung Karno: "Bangsa Indonesia dulu itu bangsa yang perikemanusiaan, satu sama lain suka tolong menolong. Kerja sama, perikemanusiaan."

"Lantas kita, sama Wahid Hasyim, kita...: Kemanusiaan itu boleh tapi mesti yang adil. Jangan sendiri boleh tidak diapa-apakan, kalau orang lain yang salah dihantam. Tidak adil itu. Kalau Siti Fatimah mencuri saya potong tangannya. Siti Fathimah putri Rasulullah. Jadi harus adil. Biar anaknya kalau salah ya salah. Dihukum bagaimana. Ini Islam. Ya benar. Benar ini memang."

Lantas ada lagi. Bung Karno katakan: "Siapa dulu..?"

Kahar Mudzakkir lontarkan: "Ada orang budayanya tidak mau dipersentuh dengan orang bawahan. Kalau beri apa-apa dilemparkan. Umpamanya orang bawahan, pengemis. Kasih uang dilemparkan begitu saja. Kalau dalam Islam tidak bisa. Di dalam Islam harus diserahkan yang baik. Jadi perikemanusiaan yang adil dan beradab. Adabnya ini tadi."

Lantas sampai kepada orang Indonesia itu, orang Jawa itu dulu, suka memberikan apa-apa sama tetangganya. Kalau rumah ini tak punya cabe, minta sama rumah sini. Kalau tidak punya garam, minta sama rumah sini, kan begitu. Jadi orang Jawa dulu, kalau masak di rumah minta garam sama tetangga... Ini diusulkan Bung Karno... Ini namanya tolong menolong. Gotong royong. Lantas ada lagi, bangsa Jawa itu dulu, sampai ada kepada lima itu. Begini. Kalau ada apa-apa, kumpul orang-orang desa itu. Satu sama lain tanya bagaimana baiknya begini, baiknya begini. Ini dinamakan Bung Karno musyawarah. Jadi bangsa kita dulu itu suka musyawarah. Kalau mau kawinkan anaknya, mufakatan, kalau mau menamakan anakanya dinamakan siap mufakatan. Yang ambil suara biasanya yang tertua. Bung Karno katakan musyawarah perwakilan. Lantas perkara orang Jawa dulu itu, kalau dimintai apa-apa, minta apa-apa dikasihkan. Sampai minta apa, biar di sini habis, diberikan. Solidaritas sosialnya.

Lalu ditanyakan kepada Islam. Islam memang zakat, kita kewajiban  zakat, kita memberi fakir miskin, yang kaya memberikan ke yang fakir miskin. Jadi sampai kesimpulan lima itu. Kesimpulan lima tadinya mau di tambah, tapi kita umat Islam mengatakan, rukun Islam itu lima. Jadi, lima ini saja bisa dikembangkan satu persatu, tetapi jangan ditambah. Hitungannya supaya bisa lima. Ramai... dari jam 7 malam sampai jam 4 pagi, sampai shubuh. Ini dijadikan Bung Karno Pancasila. Menjadikan penggantinya dasar Islam Negara. Kita, umat Islam mengatakan, kalau dasar Islam itu isim-nya diambil, kalau Pancasila itu musammah-nya yang diambil. Ini sebagai musammah. Isi Islam-Isi Islam, musammah-nya Pancasila. Lantas Bung Karno katakan: "Mau saya usulkan Pancasila. Awas kalau ada yang mengacau (Kiai Masjkur ketawa imitasi Bung Karno). Awas!"

Kita tak boleh bantah. Lantas diusulkan Bung karno itu. Lima sila itu. Saya pikir waktu itu dengan kawan-kawan, Pak Yusuf Hasyim, kalau dengan dasar Islam, belum tentu menjalankan Islam. Kadang-kadang negara ada tokoh-tokoh Islam, atau praktiknya tidak Islam. Ini kita ambil musammah-nya. Isim-nya kita tinggalkan.

Setelah itu, pada tanggal 1 Juni 1945 barulah Soekarno berbicara, menyampaikan dasar-dasar Negara dengan menggunakan bahasa-bahasa yang telah dipilih, yaitu: kebangsaan Indonesia, internasionalisme, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan. Disebutnya lima hal itu dengan istilah Pancasila. Kalau diperas lagi menjadi 3 dasar dinamakan Trisila, dan kalau diperas menjadi satu dasar gotong royong, namanya Ekasila. Sidang pertama selesai tanggal 1 Juni 1945, dengan hasil masih mendengarkan pandangan-pandangan umum.

Segera pasca sidang pertama berakhir, 38 anggota melanjutkan pertemuan. Kemudian mereka membentuk panitia kecil yang terdiri atas sembilan orang yang dipilih. Mereka adalah Soekarno (nasionalis); Mohammad Hatta (Islam, nasionalis); A.A. Maramis (Kristen); Abikoesno Tjokrosoejoso (PSII); Abdul Kahar Mudzakir (Muhammadiyah); Haji Agus Salim (Islam); Achmad Soebarjo (Islam, nasionalis); KH. Wahid Hasyim (NU); Muhammad Yamin (nasionalis).

Mereka diberi tugas merumuskan rancangan Pembukaan Hukum Dasar yang dikenal dengan preambul atau Pembukaan UUD. Hasil dari kesepakatan Panitia Sembilan ini kemudian disebut dengan Piagam Jakarta (The Jakarta Charter). Isi dari Piagam Jakarta tersebut terdiri dari 4 paragraf, yaitu:

"...Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan (tidak dengan kata Ketuhanan yang Maha Esa) dengan kewajiban menjalankan syariat bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adi dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi se luruh rakyat Indonesia"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun