Di dunia modern ini, kita seringkali hidup dengan nyaman karena adanya berbagai fasilitas yang terpenuhi. Namun, apakah hal yang sama akan terjadi di daerah desa?
Live in harus diterapkan di semua sekolah yang ada di Indonesia. Bukan dengan tujuan untuk membuat jadwal para siswa menjadi padat, tetapi dengan tujuan untuk pembentukan karakter. Dengan demikian, siswa tidak hanya mengasah otaknya untuk menjadi pintar, tetapi juga melatih hati mereka untuk lebih peka dan dapat bersyukur.
Salah satu penerapan kegiatan live in di sekolah telah dilakukan oleh Kolese Kanisius. Kolese Kanisius sebagai salah satu sekolah Jesuit di Indonesia, telah membuat banyak wadah dengan tujuan pembentukan karakter siswanya. Salah satunya adalah dengan kegiatan live in. Live in biasanya dikenal dengan kegiatan untuk tinggal bersama dengan masyarakat pedesaan yang jauh dari fasilitas-fasilitas yang biasanya sering dilihat di kota.
Di era modern yang serba cepat dan penuh dengan teknologi, program live in memberikan kesempatan yang langka bagi saya untuk sejenak berhenti dan kembali ke akar kehidupan sederhana agar dapat merasakan makna dari kebersamaan, gotong royong, dan kemandirian. Namun, hal yang berbeda dengan live in Kolese Kanisius adalah sesi refleksi. Setelah melalui dinamika sosial dengan warga dalam waktu yang cukup panjang, Kanisian harus melakukan refleksi untuk mengendapkan apa yang telah mereka dapatkan.
Alasan yang membuat live in menjadi sangat penting adalah karena live in menghadirkan realitas kepada siswa yang sering kali tidak tersentuh. Banyak dari siswa yang hidup di kota besar mungkin tidak menyadari betapa berbeda dan sulitnya kehidupan di pedesaan yang memiliki keterbatasan akses terhadap fasilitas dasar seperti air bersih, listrik, bahkan pendidikan sekalipun.
Melalui live in, para siswa dapat merasakan secara langsung dinamika kehidupan itu bukan seperti yang ada di gambar buku atau handphone. Namun, inti dari live in bukan hanya tentang kesadaran sosial atau sekadar merasakan kehidupan masyarakat saja. Kegiatan ini juga menjadi ajang pembelajaran penting bagi siswa, untuk dapat mengenal empati.
Hidup bersama masyarakat lokal mengajarkan para siswa untuk tidak melihat kehidupan hanya dari perspektif dirinya, tetapi juga turut melihat dari perspektif warga lokal dengan mendengarkan cerita mereka, memahami kesulitan yang warga hadapi, dan belajar untuk memaknai kebahagiaan dan kebersamaan.
Saya sendiri pernah berada di titik itu, ketika hari pertama saya pergi ke lokasi live in, Desa Kapencar, saya melihat betapa minimnya fasilitas yang diperoleh. WC yang biasanya di rumah saya besar dan menggunakan toilet duduk, di sini saya harus menghadapi realita dengan toilet yang sangat sederhana.
Toilet itu hanya bermodalkan pipa yang miring ke bawah dan ukurannya tidak begitu besar. Toilet itu hanya muat untuk satu orang berdiri. Ketika mandi saja, saya harus berdiri di atas “toilet” itu. Saya memang awalnya merasa agak jijik dengan toilet itu, tetapi melihat pelayanan yang diberikan oleh keluarga asuh saya di malam itu, saya akhirnya menerima dan menggunakan toilet itu.