Mohon tunggu...
Miya Sumandli
Miya Sumandli Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Katanya BBM untuk Kemakmuran Rakyat, Nyatanya?

16 Maret 2016   17:08 Diperbarui: 16 Maret 2016   18:55 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gustave Courbet (1819-1877) - Poor Woman of the Village, Gambar Public Domain dari Wikimedia Commons"][/caption]

Sampai saat ini, konsumsi BBM kita posisinya sangat vital dan fatal bagi perekonomian sektor real Indonesia. Karena itulah sebenarnya mengapa UUD 1945 telah mengamanatkan kepada kita agar penggunaannya diatur negara dengan memperhatikan sebenar-benarnya bagi kemakmuran rakyat, melalui penugasan kepada Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara, dengan monopoli yang luar biasa nilainya.

Tapi apa yang sebenarnya terjadi di dunia nyata? 

Yang terjadi malah ketidakjelasan luar biasa dalam penentuan harga BBM. Mulai dari Dana Ketahanan Energi yang sedang jadi isu hangat, lalu formulasi harga yang tak pernah transparan, asumsi penetapan yang tak jelas-jelas amat, hingga akhirnya setiap kali mau membicarakan perubahan harga BBM, seisi Indonesia selalu gonjang-ganjing. Akibatnya lalu timbul pertanyaan, apakah benar pengelolaan ini untuk kemakmuran rakyat, ataukah untuk kepentingan bisnis belaka ya?

Dari berita yang dimuat dalam media Pikiran Rakyat Online pada tanggal 26 Desember 2015 dengan judul “Berapa Sebenarnya Harga BBM Seharusnya” maka kita seharusnya bisa bertanya:

Pertama, berapa sih sebenarnya Harga Pokok? Harga pokok yang digunakan adalah harga BBM sesuai MOPS Singapura. Sebagai catatan, harga MOPS Singapura adalah harga BBM yang sudah menjadi produk (termasuk biaya pengolahan dan distribusi) namun penentuan harga dilakukan melalui mekanisme pasar. Harusnya jika MOPS naik, maka harga pun naik. MOPS turun, maka harga pun turun. 

Namun masalah terjadi karena sesungguhnya komponen BBM Pertamina ada yang berasal dari dalam negeri dan impor, menunjukan bahwa penetapan harga BBM produksi domestik dilakukan atas mekanisme pasar (bukan refleksi keekoonomian biaya produksi BBM). Atas kondisi ini ketika harga BBM MOPS naik mengikuti harga pasar, Pertamina menikmati keuntungan diatas biaya produksi (windfall profit) yang diperoleh dari subsidi APBN, alias...jika kita bicara subsidi, maka windfall profit Pertamina ini sesungguhnya dibayar oleh rakyat.

Nah, ke mana perginya windfall profit itu? Kenapa kita tidak pernah diberitahu?

Disamping itu, penetapan harga pokok ini rawan sekali kecurangan karena sulit dievaluasi nilainya. Selain karena nilai MOPS sesuai spesifikasi RON Premium tidak publish secara umum, nilai yang digunakan juga tidak jelas, karena menggunakan data sesuai pembelian BBM oleh Pertamina.

Sebagai contoh ketidakjelasan penetapan harga pokok ini adalah berbedanya data yang diberikan Pertamina dan para pengamat. Sebagaimana direlease dalam berita Pikiran Rakyat Online pada tanggal 26 Desember 2015, Pemerintah menyatakan Harga Pokok sebagaimana mengacu kepada harga MOPS rata-rata setidaknya 3 bulan terakhir adalah 56,40 dolar AS/barel sementara Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) mengeluarkan angka 54,60 dolar AS/barel. Perbedaan-perbedaan semacam ini sulit dan tidak pernah secara transparan dijelaskan ke publik. Semua analisa dan kebingungan publik hanya menjadi kegeraman yang sulit disalurkan. 

Kedua,bagaimana pula dengan 20% Alpha? Nilai alpha pada hakikatnya adalah margin badan usaha, sebagai perbandingan nilai 20% ini adalah ilustrasi sebagaimana berikut:

Konsumsi BBM dalam negeri mencapai kurang lebih 1,5 Juta barel per hari. Jika menggunakan asumsi harga pokok 50 dolar AS/barel maka nilai alpha 20% setara dengan pemasukan 15 Juta dolar AS per hari atau kurang lebih 200 Milyar per hari. Ini adalah sebuah margin yang fantastis atas kegiatan usaha yang memang sudah dimonopoli sesuai penugasan.

Sekarang kalau kita pertanyakan, penetapan margin sebesar ini atas dasar apa? Kalau menggunakan model pengembalian investasi atas pembangunan infrastruktur penyimpanan dan distribusi maka seharusnya dapat dengan mudah dihitung dong?

Lah.. yang jelas faktanya, sudah disuapi margin segini besar pun nyatanya tidak secara signifikan mendorong peningkatan kualitas pengelolaan BBM dalam negeri oleh Pertamina. Fasilitas pengolaahan minyak (kilang) yang terakhir dibangun adalah kilang Balongan tahun 1995, sementara fasilitas distribusi SPBU lebih banyak dibangun oleh pihak swasta (SPBU milik Pertamina hanya 120 buah dari sekitar 5500 SPBU di Indonesia). Buktinya konsumen masih saja mengeluh dengan layanan di akar rumput. 

Lalu ke mana sebenarnya margin sebesar tadi? Dan yang lebih fundamental, bagaimana transparansi atas penetapan margin alpha sebesar 20% tersebut? Kenapa BUMN ini diberi keistimewaan pasti untung 20% tanpa perlu pusing-pusing? Enak benar ya jadi badan usaha yang untungnya seolah sudah pasti dan permintaannya juga luar biasa besarnya?

Ketiga, dan yang sedang hot sekarang, akan seperti apa hitungan Dana Ketahanan Energi? Dalam komponen harga jual BBM saat ini terdapat Dana Ketahanan Energi yang dikelola oleh Badan Usaha dan dalam pengelolaan keuangannya terkonsolidasi dalam pengelolaan korporat Badan Usaha. Nah.. tidakkah akan menjadi rancu jika DKE yang harusnya hal positif dan menjadi program pemerintah, nyatanya dikelola oleh Badan Usaha, yang bisa-bisa menimbulkan potensi penyelewengan dan menjadi tidak optimal? Masa mungutin (alias memalak) rakyat, namun duitnya lari ke kantong korporat, alias bukan ke APBN? 

Saat ini memang pungutan ini masih ditunda, namun bagaimana kalau nanti sudah dijalankan. Akan meledak lagi perdebatan soal DKE ini.. Lalu kita berkelahi massal lagi, lalu lupa lagi siapa yang sebenarnya akan menikmati ini semua. 

Masih banyak lagi problem pelik dalam pengelolaan BBM. Tak Sekedar BBM subsidi saja, namun juga BBM Non subsidi di sektor industri juga bisa dibulang masih jauh dari transparansi. Lihatlah saat ini industri berteriak atas beban yang mesti mereka tanggung. Nyatanya harga BBM non subsidi tidak memperhatikan teriakan tersebut. Kalau sampai industri kolaps, alamak mati pula jutaan pekerja yang menggantungkan hidupnya dari roda industri kita. 

Coba perhatikan harga HSD Pertamina bulan maret tahun 2016, kita bisa melihat  bahwa kisaran harga HSD adalah sekitar 5,900 Rp/L. Nilai ini masih harus dikenakan pajak-pajak dan margin penyalur untuk menjadi harga distributor. Nah yang menjadi perhatian adalah darimana patokan penentuan harga dasar HSD Pertamina?

Jika coba dilakukan komparasi terhadap nilai MOPS maka komoditas yang spesifikasinya sesuai dengan HSD Pertamina adalah MOPS MGO (Marine Gas Oil). Harga MOPS MGO untuk periode maret 2016 sendiri berada dalam kisaran 315 USD/MT atau setara dengan 3,500 Rp/L. Dari 3500 menjadi 5900, RUARRR BIASA selisihnya! 

Nah, sekarang pertanyaannya...sudahkah pengusaan monopolistik ini dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun