Konsumsi BBM dalam negeri mencapai kurang lebih 1,5 Juta barel per hari. Jika menggunakan asumsi harga pokok 50 dolar AS/barel maka nilai alpha 20% setara dengan pemasukan 15 Juta dolar AS per hari atau kurang lebih 200 Milyar per hari. Ini adalah sebuah margin yang fantastis atas kegiatan usaha yang memang sudah dimonopoli sesuai penugasan.
Sekarang kalau kita pertanyakan, penetapan margin sebesar ini atas dasar apa? Kalau menggunakan model pengembalian investasi atas pembangunan infrastruktur penyimpanan dan distribusi maka seharusnya dapat dengan mudah dihitung dong?
Lah.. yang jelas faktanya, sudah disuapi margin segini besar pun nyatanya tidak secara signifikan mendorong peningkatan kualitas pengelolaan BBM dalam negeri oleh Pertamina. Fasilitas pengolaahan minyak (kilang) yang terakhir dibangun adalah kilang Balongan tahun 1995, sementara fasilitas distribusi SPBU lebih banyak dibangun oleh pihak swasta (SPBU milik Pertamina hanya 120 buah dari sekitar 5500 SPBU di Indonesia). Buktinya konsumen masih saja mengeluh dengan layanan di akar rumput.Â
Lalu ke mana sebenarnya margin sebesar tadi? Dan yang lebih fundamental, bagaimana transparansi atas penetapan margin alpha sebesar 20% tersebut? Kenapa BUMN ini diberi keistimewaan pasti untung 20% tanpa perlu pusing-pusing? Enak benar ya jadi badan usaha yang untungnya seolah sudah pasti dan permintaannya juga luar biasa besarnya?
Ketiga, dan yang sedang hot sekarang, akan seperti apa hitungan Dana Ketahanan Energi? Dalam komponen harga jual BBM saat ini terdapat Dana Ketahanan Energi yang dikelola oleh Badan Usaha dan dalam pengelolaan keuangannya terkonsolidasi dalam pengelolaan korporat Badan Usaha. Nah.. tidakkah akan menjadi rancu jika DKE yang harusnya hal positif dan menjadi program pemerintah, nyatanya dikelola oleh Badan Usaha, yang bisa-bisa menimbulkan potensi penyelewengan dan menjadi tidak optimal? Masa mungutin (alias memalak) rakyat, namun duitnya lari ke kantong korporat, alias bukan ke APBN?Â
Saat ini memang pungutan ini masih ditunda, namun bagaimana kalau nanti sudah dijalankan. Akan meledak lagi perdebatan soal DKE ini.. Lalu kita berkelahi massal lagi, lalu lupa lagi siapa yang sebenarnya akan menikmati ini semua.Â
Masih banyak lagi problem pelik dalam pengelolaan BBM. Tak Sekedar BBM subsidi saja, namun juga BBM Non subsidi di sektor industri juga bisa dibulang masih jauh dari transparansi. Lihatlah saat ini industri berteriak atas beban yang mesti mereka tanggung. Nyatanya harga BBM non subsidi tidak memperhatikan teriakan tersebut. Kalau sampai industri kolaps, alamak mati pula jutaan pekerja yang menggantungkan hidupnya dari roda industri kita.Â
Coba perhatikan harga HSD Pertamina bulan maret tahun 2016, kita bisa melihat  bahwa kisaran harga HSD adalah sekitar 5,900 Rp/L. Nilai ini masih harus dikenakan pajak-pajak dan margin penyalur untuk menjadi harga distributor. Nah yang menjadi perhatian adalah darimana patokan penentuan harga dasar HSD Pertamina?
Jika coba dilakukan komparasi terhadap nilai MOPS maka komoditas yang spesifikasinya sesuai dengan HSD Pertamina adalah MOPS MGO (Marine Gas Oil). Harga MOPS MGO untuk periode maret 2016 sendiri berada dalam kisaran 315 USD/MT atau setara dengan 3,500 Rp/L. Dari 3500 menjadi 5900, RUARRR BIASA selisihnya!Â
Nah, sekarang pertanyaannya...sudahkah pengusaan monopolistik ini dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H