Gambar: Ilustrasi dari Harian Warta NasionalÂ
Miris negeri ini, kita lebih senang meributkan sesuatu bukan kepada substansinya. Misalnya saat terjadi isu bancakan saham freeport, maka yang seharusnya segera diangkat adalah bagaimana bancakan itu dan keberadaan tambang emas terbesar dunia telah membuat negara gagal mensejahterakan rakyatnya di Papua sana. Jadi bukan kopppig atau bukan koppig, sidang MKD atau bukan sidang MKD yang seharusnya pertama kali kita angkat.
Ini semua soal kesejahteraan Papua kok!
Harusnya itu yang kita gugat kepada negara. Bahwa di sekitaran lokasi Freeport sana, justru penduduknya paling miskin dibanding wilayah lainnya di Papua. Dan Papua kenyataannya hingga kini tetap salah satu Provinsi termiskin di Indonesia. Padahal Freeport mengaku sudah mengirim triliunan ke Pemerintah Indonesia. Ke mana perginya seluruh uang itu?
Inilah yang terjadi di lapangan. Saat kita meributkan anggota DPR yang hidupnya sudah mewah dan senang, sebanyak 41 (kemudian diupdate jadi 56) anak Papua meninggal secara misterius di Distrik Mbuwa, Dal, dan Bumulyama. Penyebab pasti belum diketahui, namun ada beberapa dugaan antara lain malnutrisi dan kelaparan, keracunan, serangan penyakit broncho pneumonia dan penyakit infeksi saluran pernapasan akut, atau bisa pula karena perilaku kurang higienis dan akses kesehatan yang minim. Bahkan tercatat kasus bahwa sebenarnya yang terjadi adalah kelaparan, sampai warga harus memakan bangkai ternak yang terlanjur mati. Duh!
Manapun di antara seluruh kemungkinan tersebut, ada satu benang merah yang bisa kita tarik: Rakyat Papua sedang mati kelaparan di tengah lumbung padi! Di saat Freeport mengeruk kekayaan alam luar biasa dalam bentuk tambang emas terbesar di dunia, di tengah bancakan saham dan pencatutan nama presiden, ternyata mereka dikibuli habis bahwa keberadaan Freeport akan membantu mereka untuk sejahtera. Lah bagaimana mau sejahtera, kalau pemuda pemudi sana pun jarang dipakai tenaga dan jasanya dalam menambang?
Salahkah Freeport? Kalau dalam dunia bisnis ya namanya bisnis pasti mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, dengan pengorbanan sekecil-kecilnya, termasuk dalam memperhatikan kesejahteraan masyarakat setempat tentunya. Maka yang perlu kita gugat adalah mengapa pemerintah daerah seolah tidak punya taji memperjuangkan kesejahteraan masyarakatnya?
Jawabannya adalah penundaan untuk memperbaharui RUU Otsus Plus Papua. Ternyata selama ini UU Otonomi Khusus yang berlaku adalah buatan Tahun 2001 yang sama sekali sudah tidak relevan dengan pembangunan ekonomi dan situasi yang terjadi sekarang. Kenyataannya, pemerintah daerah membutuhkan kewenangan lebih leluasa dan perimbangan bagi hasil yang lebih baik bagi daerah, ketimbang terus dikeruk untuk kepentingan pusat. Karena itulah desakan dari masyarakat Papua untuk direvisinya UU tersebut melalui dimasukkannya RUU Otsus Plus Papua di dalam Prolegnas DPR.
Sayangnya, beberapa pihak terlihat anti, bahkan memfitnah perjuangan ini seolah perjuangan kemerdekaan atau lepas dari Indonesia. Padahal kalau sekedar ingin lepas, ya seharusnya yang dilakukan adalah angkat senjata dan memberontak. Kenyataannya yang diperjuangkan itu melalui proses legal dan konstitusional kok. RUU Otsus Plus Papua diperjuangkan lewat DPD dan DPR. Bahkan Menkumham Yasonna Laoly pun disebut pernah berjanji akan memperjuangkannya. Namun apa yang terjadi? Ternyata malah dibarter dengan kepentingan sesaat. Pembahasan RUU Otsus Plus Papua ditunda-tunda dengan iming-iming alokasi anggaran untuk Papua diperbesar.
Lho... ini bukan soal duit anggaran lho Pak! Ini soal keleluasaan daerah untuk mengatur daerahnya dan kekayaan alam yang dimilikinya untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan Rakyat Papua. Anggaran 702 Miliar harusnya cuma seuprit nilainya dibanding jika RUU Otsus Plus Papua berhasil memberikan kewenangan lebih kepada pemerintah daerah.Â