Mohon tunggu...
miyaa dewayani
miyaa dewayani Mohon Tunggu... -

Saya hanya seorang penulis amatiran yang memiliki hobi membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki Kedua [Ta'aruf 3]

8 November 2013   15:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:26 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aku datang ke Pakistan adalah untuk melarikan diri dari rasa sakit hatiku terhadap pernikahan Radit dan Diana. Dan aku sama sekali tidak berharap akan mendapatkan pengganti Radit di tempat ini.


Namun takdir Allah berkata lain. Resepsi pernikahan salah satu sepupuku yang diadakan di hawalii milik kakek, membuatku bertemu dengannya... Lelaki keduaku.


Namanya Thariq, dia merupakan putera bungsu seorang Tuan tanah di desa tempat kakekku tinggal. Dan dia bekerja sebagai salah satu karyawan bank swasta di Lahore. Dia lelaki yang tampan, sopan, dan (tampaknya) bertanggung jawab. Kakekku sangat menyukainya.


Namun pertemuan pertamaku dengan Thariq ... Sangat tidak berkesan ... Lebih tepatnya memalukan! Tolong jangan paksa aku bercerita karena aku tidak mau mengingatnya lagi! Aku menyalahkan Paman Sikander karena kejadian itu, dan kalau waktu bisa diputar kembali, aku tidak akan mau masuk ke kamar beliau lagi.


Sudah kubilang jangan memaksaku! Sshhhsssh, kalian menyebalkan. Baiklah aku akan bercerita.


Waktu itu, suasana hawalii kakek terlihat lebih sibuk dari biasanya. Hari ini Hasan, salah satu sepupuku yang bekerja sebagai seorang dokter gigi di kota, akan menikahi gadis pilihannya. Kakek memerintahkan pada semua anaknya untuk membantu menyelenggarakan resepsi pernikahan salah satu cucu kesayangannya itu dengan mewah. Berlakh-lakh rupe dihabiskan untuk mendekorasi bagian dalam rumah tempat pelaminan berada, menyewa tenda, menyiapkan konsumsi, souvenir, dan juga seserahan untuk pihak wanita. Kakekku tidak pernah setengah-setengah dalam melakukan sesuatu, dia bahkan membuat kursi pelaminan Hasan, dengan sutera dan emas. Jujur, aku iri!


"Fizaaa!" Suara seruan kakek dari ruang tamu membuatku terkejut. Meninggalkan pekerjaanku yang sedang menghias kamar pengantin bersama bibi dan para sepupu perempuanku, aku beranjak keluar dari kamar, dan berlari menuruni tangga yang menuju ruang tamu.


"Ya Babajee!" Aku menemukan kakek yang sedang berdiri tegap di tengah ruang tamu, dengan tongkat pendek di tangan kanannya. Beliau tampak tegas memberi instruksi pada orang-orang yang bekerja mendekor ruang tamu dan juga kursi pelaminan, agar menjadi ruang pesta mewah di mata para undangan.


Beliau mendongak menatapku yang masih berdiri di atas tangga. Matanya menyipit menilai penampilanku, kemudian dia mengangguk puas.

'Ya ampun Babajee, jangan khawatir hari ini aku akan memakai pakaian tertutup dan sopan, tidak minim seperti biasanya, aku tidak mau mempermalukanmu.'

Aku memutar mataku, kemudian cengengesan saat melihat kakek memelototiku.


"Cepat cari pamanmu, Sikander. Seharusnya dia sudah menyiapkan mobil untuk mengantarkan seserahan ini ke tempat pengantin wanita." Kakek menunjuk gunungan bingkisan cantik di sudut ruangan menggunakan tongkatnya.


Aku mengangguk. "Siap Babajee." Aku berbalik lalu berlari menaiki tangga dan menyusuri lorong menuju kamar paman Sikander.


Sesampainya di depan kamar Paman Sikander, aku kemudian mengetuk pintu lalu mengucap salam.


"Assalamu'alaikum. Paman?" Panggilku sambil mengetuk pintu, namun tak ada jawaban.


Dan pada ketukan dan salam yang ketiga kalinya, saat paman masih tidak menjawab, aku terpaksa masuk ke dalam kamar beliau. Kebetulan pintu kamarnya tidak dikunci.


"Assalamu'alaikum, paman dipanggil kakek tuh!" Seruku sembari celingak-celinguk di kamar paman Sikander yang bagus, rapi, dan bernuansa kuning emas itu.


Apa dia tidak ada di kamar? Aku baru saja akan berbalik untuk keluar dari kamar tersebut ketika tiba-tiba aku mendengar suara air mengalir dari keran wastafel kamar mandi.


"Paman?" Gumamku seraya bergerak ke arah pintu kamar mandi lalu membukanya tampa berpikir dua kali.


Dan begitu pintu terbuka, mataku langsung melotot dan tubuhku membeku.


Seorang lelaki tampan bertubuh tegap berotot terlihat sedang menyikat gigi di depan wastafel, dia hanya mengenakan selembar handuk, dan dia menoleh ke arahku dengan busa odol yang masih blepotan di dalam mulutnya.


Dia menatapku bingung. Sebelah alisnya terangkat tinggi. Dia bukan Paman Sikander!


Aku memekik mengucapkan istighfar, menutup muka dengan kedua tanganku, lalu berlari terbirit-birit keluar kamar. Di lorong depan kamar aku berpapasan dengan paman Sikander, dia menyapaku heran, namun aku mengabaikannya dan terus berlari menjauh.


Aku maluuu! Ini pertama kalinya (selain di film) aku melihat laki-laki bertubuh bagus yang bertelanjang dada dan hanya mengenakan handuk. Ngomong-ngomong laki-laki itu siapa? Dia bukan salah satu keluargaku, dan aku tidak pernah melihatnya.


.

.


Dua minggu kemudian, aku dikejutkan oleh kedatangan keluarga tuan tanah terpandang di desa kakekku. Mereka datang melamarku untuk putera bungsu mereka, Thariq Al-Farizi. Laki-laki setengah telanjang yang pernah aku lihat di kamar mandi paman Sikander!


Ternyata Thariq adalah rekan kerja paman Sikander, mereka sama-sama karyawan senior di Bank swasta di Lahore.


Setelah pertemuan konyol itu, Thariq kemudian menanyakan tentangku pada Paman Sikander. Dengan senang hati Pamanku yang bodoh itu menceritakan semua tentangku pada Thariq, mulai dari A sampai Z. Dan setelah itu aku sering berpapasan dan melihat Thariq di rumah kakekku. Paman Sikander bilang, kalau Thariq sering mencari alasan untuk datang ke rumah kakek, agar bisa melihatku.


Aku tersanjung, walaupun terkesan dingin dan pendiam, Thariq sangat manis. Kehadirannya perlahan bisa menyembuhkan luka hatiku yang dibuat Radit.


Seiring waktu aku bisa menerimanya menjadi calon pendamping hidupku. Dan setiap malam aku berdo'a kepada Allah, agar Thariq, lelaki kedua yang mengisi hatiku ini, bisa menjadi lelaki terakhir dalam hidupku.


.


.


*END*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun