Seperti judul diataslah kehidupan bernegara kita saat ini, selayaknya kita mencoba meretas angin agar kehidupan rakyat bangsa ini lebih sejahtera alih-alih hal itu tercapai alhasil badai kehidupan yang tiada  dapat dibendung. Bukan berarti kita sebagai bangsa tidak bersyukur melainkan memang tidak semua dari kita berharap bahwa angin akan menjadi lebih baik untuk kita semua, dan akhirnya badai prahara yang justru selalu membuat bangsa kita ini jatuh kembali dalam sebuah badai dilemma.
Sebuah fakta yang di rangkum dari berbagai berita
Kenyataan selalu menarik untuk diperbincangkan manakala media menampilakan dua rupa. Buruk dan baik yang kreterianya selalu diserahkan pada wacana masing masing kepentingan. Satu sisi baik menuurut pandangan segelintir orang, belum tentu baik bauat mayoritas orang. Seperti contoh dalam berbagai berita pemerinthan presiden Jokowi ingin bangsa ini makmur dan sejahtera secara merata dengan fokus membangun infrastruktur. Kenyataanya kelompok lain berpikir bangsa ini perlu membenahi sistem dan juga perundangan agar para pengusaha mempunyai kepastian dan kesetabilan regulasi untuk usaha yang dibangunya,
Sebagian lagi berpendapat sistem keyakian iman yang harus menjadi landasan bernegara mesti direvisi agar keimanan menjadi landasam dalam hidup bernegara. Lacur semua yang terjadi dengan dasar agama dan iman justru menjadi alat bagi sebagain kelompok lain untuk menjatuhkan kelompok lainya. Seperti kasus Toa masjid tak ada hubungan penertipan suara toa dengan penistaan agama yang didasarkan pada penyampaian narasi seorang mentri. Contoh lain adalah bagaimana kesusksesa sebuah even internasional yang sukses dan didukung dengan infrastukur yang baik dinilai tidak menujukan kemartabatan bangsa karena bangsa tersebut mengangkat kearifan lokal "PAWANG HUJAN" yang dinilai sebagai bangsa pripimitif. Semua hal ini adalah sebuah ahal yang tidak saling terkait namun di bungkan dengan hanya demi sebuah legitimasi yang entah darimana dalil dan teorinya.
Fakta lain adalah agama yang digunakan untuk saling menyerang. Alih-alih agama menjadi sarana untuk menebar kebaikan, di bangsa kita agama, sistem kepercayaan dijadikan sebagai jurus jitu untuk mematikan kelompok dan personal tertentu. Agama dalam kaitanya dalam budaya adalah sebuah sistem kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang di organisasiskan. Selayaknya agama seharusnya tidak dapat di perdebatkan dan di jadikan senjata pamungkas untuk menghabisi lawan. Namun senyatanya dan pada ahkir-akhir ini semua dilakukan dengan kasar dan terang terangan seperti yang dilakukan pendeta Saifuddin Ibrahim. Hal ini tak akan terjadi jika semua manusia Indonesia sadar betul bahwa semua agama atau sistem kepercayaan itu urusan masing-masing pribadi dengan Tuhan yang dipercayanya. Sehingga aturan-aturan dalam sistem agama diselaraskan oleh departemen dan mentri agama. Dalam negeri ini, justru banyak penistaan dan pelecehan pada sebuah sistem kepercayaan yang tidak terekam oleh publik. Contoh seperti berita-berita orang yang pindah agama namun menghujat agama lamanya. Hidayah itu ditandai dengan membawa kedamaian, namun jika hidayah atau pencerahan itu justru memberi hal yang panas dan keburukan artinya itu hanyalah manipulasi dan pembohongan. Seperti yang dikutip dan kata-kata Gus Mitfah " Indonesia adalah sebuah rumah besar yang banyak kamarnya, adalah lebih baik jika tidak masuk ke kamar orang lain. Artinya setiap keyakinan entah itu agama, politik, keyakinan budaya aaupun aturan adat dan lain sebagain, janganlah dipaksakan kepada orang lain dan setiap keyakinan dalam bangsa ini harus didasarkan pada satu keyakinan yang sama yaitu "PANCASILA" dimana pancasila dan NKRI adalah sebuah indentitas kita manusia yang saling mengikatkan diri sebagai sebuah bangsa yang besar yaitu Indonesia.
Peristiwa menutupi peristiwa lain.
Setiap hal yang terjadi di dalam bangsa kita selalu ada kepentingan lain dibaliknya. Tidaka pernah ada ketulusan di dalam kehidupan bernegara, saya sebagai penulis menduga bahwa ketulusan bekerja bagi bangsa ini adalah sebuah pemikiran kuno yang justru menjadi olok-olok atau bahan pembullyan banyak orang. Hal ini terlihat pada olok -- olok pada Presiden Jokowi, Mantan Gubernur DKI Ahok, Gubernur jawa tengah yang seakan menjadi bulan-bulanan netizen dan para lawan politik. Kekayaan bagi sebagaian kelompok harus dilangengkan, kemiskinan rakyat seolah menjadi harga mati. Inikah wajah negeri ini?
Saking kasarnya tindakan politik kepentingan akan membuat rakyat kebanyakan menjadi muak, manakala satu peristiwa akan menutup dan membuang peristiwa yang lain, satu kasus menegelamkan kasus lainyang lebih bersar. Hal ini selalu saja menjadi pola-pola yang selalu sama di negeri ini. Tenggelamnya kapal selam Nenggala milik TNI AL saat ini kasusnya sudah tak terdengar lagi, bahkan apa hasil investigasinya tak secara gamblang terungkap di publik ironis sekali dengan jika ada kasus peswat komersil yang mengalami musibah, jilid narasinya bisa muncul berbab-bab.Peristiwa ini menjadi tanda bahwa ada hal yang mesti di tutup rapat seolah hal ini menjadi perstiwa yang layak untuk di tutupi.
Peristiwa satu menjadi tameng peristiwa lain untuk melindungi kepentingan kepentingan yang lain yang tentunya menjadi keuntungan untuk kelompok tertentu. Bangsa ini sakit, saat media digunakan untuk saling berbantah, media mempertontonkan aib tidak hanya yang maksiat melainkan juga hujatan demi kepentingan-kepentingan segelintir orang atau kelompok. Inilah badai yang dituai saat sebuah peradaban mencoba meretas angin. Semesta diperalat untuk untuk sebuah kepentingan, dan keuntungan segelitir orang atau kelompok. Demi perut sendiri dan kroninya semesta di perbudak maka badalah tuainya. Sampai kapan ini semua akan tetap terjadi?
Kerinduan pada bangsa yang satu. Â
Sudah saatnya kita berhenti untuk saling bantai dan menyakiti, kita semua harus sadar bahwa semesta berharap akan hal itu. Banyak tanda yang sudah seharusnya kita pahami dan cerna dengan hati. Tahun ini masa untuk saling mawas diri telah di tujukan. Dimana masa pra paskah dan Ramadhan berjalan beriringan, untuk menyambut idhul fitri dan juga kebangkitan Isha Alamasih. Sadar atau tidak peristiwa paskah dan Idhul fitri memiliki makna yang sama dimana manusia kembali ke fitrahnya. Paskah memiliki makna terdalam yaitu kembalinya relasi manusia dengan Tuhan dan sesamanya melalui penebusan dosa dalam peristiwa sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus dan Idhul Fitri yang bermakna bahwa manusia yang kembali ke fitrahnya yaitu manusia yang suci dimana Romadhan menjadi bulan penuh berkah dan ampunan.