Laut China Selatan merupakan laut bagian barat Samudra Pasifik, yang membentang dari Selat Karimata dan Selat Malaka, hingga Selat Taiwan dengan luas kurang lebih 3.500.000 km. Laut ini sangat strategis baik secara ekonomi maupun militer, karena sepertiga perlintasan laut berlalu lalang di sana. Laut ini memiliki kekayaan biota laut yang mampu menopang kebutuhan pangan jutaan orang di Asia Tenggara sekaligus cadangan minyak dan gas alam yang besar. Selain letak geografis dan sumber daya alam yang melimpah, kawasan ini berada di antara beberapa negara sehingga rawan sengketa.
Wilayah ini menjadi sumber sengketa internasional karena beberapa negara mengklaim sebagian besar atau seluruh wilayah Laut China Selatan, yang berpotensi menimbulkan ketegangan geopolitik. Salah satu sengketa yang paling menonjol adalah antara China dan negara-negara ASEAN mengenai kepulauan Spratly dan Paracel, yang masing-masing memiliki nilai strategis dan ekonomi.
Ditinjau melalui salah satu artikel yang bertajuk 'Indonesia Sebagai Playmaker dalam Penyelesaian Konflik Laut China Selatan', bahwasanya konflik di kawasan South China Sea atau Laut China Selatan (LCS) muncul karena terdapat multi-interpretasi klaim "hak fiksi/maya" oleh satu negara pantai atau lebih terhadap hak kepemilikan atas suatu kawasan/fitur di dalam wilayah maritim tertentu. Terjadinya tumpang tindih klaim dan kepentingan atas wilayah tersebut dan bersikukuhnya negara pengklaim LCS, serta terkait jenis mekanisme yang bisa menyelesaikan konflik ini menjadi kompleks dan rumit.
Dengan adanya klaim Nine Dash Line, beberapa negara anggota Association of South East Asian Nations (ASEAN) yang terlibat konflik dengan China adalah Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam. NDL dimana salah satu garisnya bersinggungan atau mengalami tumpang tindih dengan ZEE (Zona Eksklusif Ekonomi) dan Landas Kontinen Indonesia di area Laut Natuna bagian Utara, Kepulauan Riau. Klaim Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mengenai NDL didasari oleh Sejarah, hampir semua wilayah perairan seluas 3 juta kilometer persegi itu. Dengan luas wilayah tumpang tindih dengan Laut Natuna Utara seluas 83.315,62 kilometer persegi (Octavian, 2018).
Pada United Nations Covention Law of The Sea, memuat antara lebar laut wilayah yaitu 12 mil dari pantai, Rezim negara kepulauan, Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil, tentu saja klaim NDL dari pihak RRT sangat bertentangan dengan konvensi yang sudah berlaku sehingga atas klaim tersebut menimbulkan ketidakstabilan geopolitik kawasan ASEAN, khususnya Laut China Selatan.
Ancaman konflik di Laut China Selatan (LCS) memang merupakan isu strategis yang signifikan bagi kedaulatan Indonesia, meskipun sebagian besar wilayah sengketa di LCS tidak langsung menyentuh perairan Indonesia. Ada beberapa alasan yang mendasari mengapa konflik ini bisa menjadi ancaman bagi kedaulatan Indonesia:
1. Keamanan dan Stabilitas Regional
Konflik di LCS dapat mengganggu stabilitas regional di Asia Tenggara. Sebagai negara yang berbatasan langsung dengan kawasan ini, Indonesia bisa terkena dampak negatif dari ketidakstabilan, termasuk peningkatan ketegangan militer dan risiko eskalasi konflik yang bisa merembet ke wilayah Indonesia.
2. Klaim Tumpang Tindih
Meskipun Indonesia tidak menjadi pihak yang mengklaim wilayah di LCS, sebagian Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di sekitar Kepulauan Natuna berada dekat dengan wilayah sengketa. China telah beberapa kali menyatakan klaimnya yang mencakup bagian dari ZEE Indonesia di Natuna, meskipun Indonesia menegaskan bahwa klaim tersebut tidak memiliki dasar hukum internasional. Ketegangan ini bisa berujung pada insiden maritim atau provokasi militer.