Mohon tunggu...
Mitchel Vinco
Mitchel Vinco Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Tak pernah juara, tak ingin menyerah. Merasa kesehatan terlalu mahal, dan pendidikan semakin liar. Masih berwacana, karena memang bukan pengambil kebijakan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Putusibau dan Lubuk Antu

20 April 2011   12:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:36 2166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Aku ndak suka bertempur.., apalagi melawan Malaysia.. kami orang perbatasan hidup rukun dengan keluarga kami di Malaysia disana.. sejak sebelum negara ini dibentuk.” Itulah tanggapan abang sepupu saya, Konstantinus Victor, seorang PNS yang bertumbuh dan bekerja di wilayah perbatasan, dalam situs jejaring sosial.

Sebagai guru sejarah, saya tidak setuju. Nasionalisme adalah sebuah tujuan dalam pembelajaran sejarah. Itulah yang saya kobarkan hari demi hari di kelas, di depan para generasi penerus bangsa ini. Hingga percakapan dengan bapak saya, C.D. Yan Kay, membawa saya pada kisah sejarah, manusia-manusia yang akrab dengan perbatasan Indonesia – Malaysia, di daerah Kapuas Hulu.

Selasa, 19 April 2011, pukul 18:05. Saat itu mati lampu, dan saya baru saja terbangun karena dengungan nyamuk.

Bapakku berkisah: 1950 – 1960.

“Bagi masyarakat di Nanga Sungai, sebuah daerah di aliran Sungai Embaloh, mencapai pasar memadai di Putusibau, ibu kota kabupaten, bukanlah perkara sehari atau dua hari. Dari Nanga Sungai hingga pasar terdekat Nanga Embaloh, harus mengayuh sampan dua hari satu malam. Dari Nanga Embaloh perjalanan dengan sampan masih harus berlanjut tiga hari, barulah sampai di Kota Putusibau. Di kota, masyarakat menjual hasil hutan, kebun, dan ladangnya, kemudian membeli keperluan dapur, sehari-hari, dan buah tangan untuk keluarga tercinta. Itulah yang biasa kakek lakukan.”

“Ada hal lain yang kakek biasa juga lakukan, smokel, ke sebuah desa yang bernama Lubuk Antu, masuk dalam wilayah Malaysia.”

Smokel dalam artikata.com adalah penyelundupan barang.

“Untuk melakukan smokel, kakek melewati jalan ‘tikus’, jalan hutan, selama tiga hari. Bersama masyarakat lainnya, dan orang-orang yang diupah untuk mengangkut karet. Adapula yang membawa sapi, melintasi jalan hutan.”

Mengapa harus kakek saya, dan masyarakat Embaloh lainnya melakukan smokel? Bukankah penyelundupan adalah ilegal? Tanyaku pada bapak.

“Disebut smokel karena memang biasanya tanpa surat, tapi masih diperbolehkan, selama barang yang kita jual dan beli merupakan kebutuhan sehari-hari, sendal, sirup, kain, gula. Tapi semacam radio, jam, kamera, mesin motor speed, tidak boleh lewat.”

“Pada jaman Konfrontasi dengan Malaysia, banyak tentara yang masuk ke kampung. Juga banyak tentara Malaysia di perbatasan. Bagi setiap orang yang kedapatan smokel akan diperiksa tangannya. Kalau tangannya kasar berarti petani, boleh lewat. Kalau tangannya lebih halus, apalagi pakai kacamata akan dianggap spionase, diperiksa bahkan ditangkap.”

Konfrontasi dengan Malaysia juga pernah membawa derita bagi warga perbatasan. Tahun 1963 – 1969 masyarakat menjadi sukarelawan untuk ganyang Malaysia. Mereka melakukan kerja dengan penuh totalitas, menjadi penunjuk jalan, pengangkut peralatan militer, namun menjadi daerah operasi militer berarti pekerjaan berladang, berkebung, atau berburu di hutan menjadi sangat-sangat terbatas. Mungkin itulah yang menjadi dasar abang sepupu saya menolak ganyang Malaysia kali ini.

Bagi saya yang membaca buku sejarah, nasionalisme adalah kemutlakan bagi sebuah bangsa. Tak peduli darah tertumpah, tak peduli materi kekayaan, semua orang Indonesia harus membela bangsa.

Mengapa kakek, dan masyarakat Embaloh memilih smokel ke Lubuk Antu, Malaysia?

“Bila kita menjual barang ke Lubuk Antu, harga jualnya lebih baik dibandingkan di Nanga Embaloh, apalagi Putusibau.”

Nanga Embaloh adalah muara sungai Embaloh, pasar terdekat dari Nanga Sungai, kampung bapakku.

“Belanja barang juga lebih beragam di Lubuk Antu. Kita bisa beli kain, sendal, bahkan bisa sembunyi-sembunyi membeli radio, jam, dan tustel (kamera photo), barang yang mahal dan sulit di dapat di Nanga Embaloh dan Putusibau. Om Damianus, pernah menyembunyikan sebuah radio di selangkangannya, ketika diadakan pemeriksaan di perbatasan.”

Yah, tentu saja, pertimbangan waktu yang lebih singkat bila ke Lubuk Antu, dibandingkan ke Putusibau, pikirku.

“Selain itu, orang-orang Embaloh juga mendapat kenalan orang-orang Malaysia Lubuk Antu, dari sabung ayam di Badau. Di sanalah mereka berinteraksi, bersahabat, hingga melakukan tawar menawar untuk berdagang di Lubuk Antu. Para langganan di Lubuk Antu biasa juga menawarkan tempat tinggal, menginap bila orang kita menjual barang di sana.”

Badau merupakan desa terluar di Kabupaten Kapuas Hulu, yang terdekat dengan Lubuk Antu, Malaysia.

“Bagi orang-orang di Nanga Badau dan orang-orang Lubuk Antu, hampir sulit dipisahkan. Tanah ladang mereka sudah saling bersilangan. Terkadang masuk ke wilayah Indonesia, terkadang pula masuk ke wilayah Malaysia. Mereka satu keluarga, saling menikah. Kakaknya Susan (sepupuku) menikah dengan orang Lubuk Antu, dan menetap ke sana.”

Situasi dan Kondisi sekarang.

Sejak tahun 1994 mulai dibuat jalan darat, bertanah merah. Jalan ini pernah kulewati tahun 1997, dan dibutuhkan waktu dua jam Putusibau – Benua Martinus, dengan kondisi berlubang-lubang. Dari penuturan tante saya yang baru mudik ke Nanga Sungai tahun ini (2011), kondisi masih tanah merah, bila hujan akan becek dan berlubang. Untuk Nanga Sungai – Benua Martinus masing menggunakan jalan tikus, atau lewat sungai, kira-kira satu setengah jam.

Apakah dengan jalan darat ini, yang memangkas waktu berhari-hari menjadi beberapa jam, masyarakat tidak lagi smokel?

“Masih ada orang kita yang smokel, tapi tidak lagi lewat jalan hutan, tiga hari. Sekarang dari Benua Martinus bisa ke Badau dengan jalan darat, selama tiga jam. Dari Badau ada jalan perusahaan sawit, tanah merah, yang bisa digunakan, hingga ke Lubuk Antu, selama setengah jam. Sedangkan di Lubuk Antu, jalan sudah aspal”

Nasionalisme sebuah paham yang ternyata tidak mudah dipahami. Bagi mereka yang menempuh pendidikan formal, mungkin ada waktu berpikir dan merenungi kisah sejarah nasionalisme, di Amerika, Perancis, Soviet, Cina, hingga Indonesia. Bagi masyarakat yang hidupnya untuk kebahagian anak dan keluarga, nasionalisme menjadi menjadi sosok yang akrab, tapi membisu, tak mampu berbicara. Masyarakat di perbatasan, tak bicara nasionalisme. Mereka bergerak langsung, menjawab kehidupan, tanpa sempat bertanya.

Smokel bukanlah sebuah tindakan yang jahat, apalagi tidak nasionalisme. Jalan yang tidak ada sama sekali, jalan yang rusak, harga barang yang mahal, atau barang yang langka, itulah yang menjadi gambaran nasionalisme negara ini sekarang.

“Barang-barang di Embaloh Hulu, lima puluh persen barang Sarawak” tutup bapak saya.

Sebuah Penutup

Harus ada perubahan pandangan. Dulu nasionalisme menjadi alat penyerahan jiwa dan raga para anak bangsa untuk memperoleh kemerdekaan. Di jaman kemerdekaan ini, nasionalisme bukanlah tentang bambu runcing, ataupun semangat “Ganyang Malaysia”. Namun, tentang kesejahteraan yang negara berani janjikan bagi masyarakatnya.

Jangan pikirkan ganyang Malaysia…

Tapi pikirkan, wajah negara kita di perbatasan, yang memang pas-pasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun