[caption caption="Ilustrasi bubur kacang hijau. Caramasak.com"][/caption]Warung burjo, sebagai salah satu warung makan  yang muncul untuk memenuhi permintaan masyarakat yang tinggi akan makanan cepat saji khususnya di daerah Yogyakarta. Usaha ini di pelopori oleh orang-orang Sunda khususnya yang berasal dari Kuningan Jawa Barat. Â
Burjo sendiri telah ada di tengah-tengah masyarakat Yogya sejak tahun 1980. Awalnya para pedagang dari Kuningan tersebut berjualan burjo dengan cara dipikul, namun seiring waktu mereka mulai menetap dan memiliki outlet untuk berjualan dan tidak lagi dipikul.Â
Kemudian karena mereka telah menetap, menu yang awalnya hanya bubur kacang hijau (burjo) bertahap ditambah kopi, mi instan, dan lain-lain. Dari awal kedatangan ke Yogya di tahun 80-an mereka telah menjual bubur kacang hijau sebagai menu utama karena memang bubur kacang hijau (burjo) merupakan menu yang mudah dan praktis untuk dijual, inilah yang menjadi alasan utama warga kuningan ini menjual burjo  di Yogya pada awalnya, dan turun temurun bertahan hingga sekarang.
Burjo berkembang dari sebuah jaringan masyarakat desa yang berasal dari satu daerah yang sama dan kemudian ketika salah seorang diantara mereka sukses lalu pulang kampung, para pedagang burjo tersebut mengajak keluarga dan rekan-rekannya yang berada di desa untuk bisa berpartisipasi dalam bisnis tersebut.Â
Dan mulailah mereka mencari lokasi masing-masing. Seiring berjalannya waktu, dari tahun 1980 sampai sekarang ini telah berdiri sekitar 2000 outlet/warung burjo, dengan  total warga sekitar 6000 warga Kuningan termasuk para karyawan di warung burjo.
Warga Kuningan tidak hanya merantau ke Yogya tapi juga ke wilayah-wilayah lainnya seperti Jakarta, Tangerang, Bogor, dan lain-lain, namun yang paling banyak ialah di wilayah Yogyakarta. Di Kuningan sendiri terdapat warung seperti burjo namun dengan nama yang berbeda yaitu warung kopi (warkop).
Kota Yogyakarta yang terkenal sebagai kota pelajar, memiliki daya tarik tersendiri bagi para pedagang burjo yang berasal dari Kuningan untuk mencari rezeki.Â
Dengan berdirinya banyak universitas atau kampus menjadi alasan utama mereka memilih berdagang di Yogya. Karena Yogya  merupakan lingkungan mahasiswa, dan mahasiswa butuh jajanan yang sederhana dan terjangkau, yang sesuai dengan kantong mereka.
Di tempat asal mereka yakni Kuningan, burjo yang beristilah warkop di sana, kurang begitu berkembang sehingga para pedagang tersebut memilih untuk mencari daerah lain untuk peruntungan, hal tersebut yang menjadi alasan mereka untuk datang ke Yogya.Â
Selain itu warga Kuningan memilih berjualan burjo di Yogyakarta alasannya karena, menurut mereka Yogyakarta itu nyaman, lingkungannya enak, dan secara umum sosialisasi dengan masyarakat sekitar lebih mudah. Menurut mereka tidak ada hal yang terlalu mengganggu untuk hidup di Yogyakarta.
Saat ini warung burjo telah menjamur di kota Yogya, tiap tahun warung burjo semakin bertambah. Hampir di setiap jalan akan kita dapati warung burjo, bahkan saat ini telah ada sekita 2000 outlet/ warung burjo di kota Yogyakarta.Â
Dalam operasionalnya, rata-rata para pedagang warung burjo telah mandiri dalam artian mereka masing-masing telah memilki outlet pribadi. Namun kadang kala masih kita dapati warung burjo yang bergabung dalam hal modal, jadi ada 2 pemilik dalam satu outlet.Â
Para pedagang burjo yang telah sukses berbisnis dan telah lama menetap di kota Yogya, biasanya mereka telah memiliki outlet lebih dari satu, ada yang memiliki outlet 5, 10, bahkan ada yang lebih dari 10 outlet.
Adapun dalam hal modal, pedagang burjo biasanya menyesuaikan dengan harga kontrak/sewa kios. karena bagi mereka yang paling mahal dalam usaha burjo adalah biaya sewa kios. Sebagai gambaran jika sewa kios sebesar 15.000.000/tahun, maka modal yang harus disiapkan adalah 30.000.000, karena rata-rata modal pedagang itu dua kali lipat dari sewa kios.
Kemudian dalam hal tenaga kerja, warung burjo menyerap tenaga kerja yang berasal dari Kuningan. Para pengusaha burjo mengangkat anak-anak yang sudah usia produktif dan yang putus sekolah, kemudian di didik dan selanjutnya di pekerjakan. Dengan kata lain, dengan adanya warung burjo dapat membantu program pemerintah untuk mengurangi angka pengangguran terutama di wilayah Kuningan.Â
Sebagai perumpamaan  dengan adanya sekitar 2000 outlet burjo di Yogya, dan jika 1 outlet rata-rata memiliki pekerja minimal 2 orang, maka dengan adanya warung burjo di Yogyakarta dapat mengurangi pengangguran sekitar 4.000 orang di kota asalnya. Sebuah angka yang tidak sedikit dan menjadi sebuah prestasi yang patut dibanggakan dalam hal mengurangi jumlah pengangguran yang ada.
Para pedagang burjo asal Kuningan yang berada di Yogya tidak semata-mata hanya mencari profit, akan tetapi mereka juga memilki rasa solidaritas dan sosial yang tinggi baik terhadap sesama pedagang burjo, dan juga kepada masyarakat Yogya.Â
Dengan demikian, dengan adanya faktor rasa kesamaan asal daerah yaitu dari Jawa Barat, khususnya dari Kuningan. kemudian mereka membentuk suatu perkumpulan/organisasi dengan nama Paguyuban Pengusaha Warga Kuningan (PPWK).
Paguyuban Pengusaha Warga Kuningan (PPWK) ini merupakan paguyuban yang beranggotakan oleh warga kuningan yang berjualan burjo di Yogya. Keterikatan satu sama lain, kebutuhan untuk menyatukan pendapat, kepedulian terhadap sesama merupakan beberapa alasan berdirinya paguyuban ini.Â
Tujuan utama paguyuban ini selain untuk sarana komunikasi untuk menyatukan warga kuningan juga sebagai bentuk tanggung jawab sosial sesama warga Kuningan yang tergabung dalam paguyuban.
Awal terbentuknya Paguyuban Pengusaha Warga Kuningan (PPWK) ketika terjadi bencana gunung Merapi. Beberapa warga mengoordinir bantuan untuk korban bencana merapi, untuk melakukan penggalangan dana, dan dari penggalangan dana tersebut akhirnya terkumpul dana sekitar 15.000.000 rupiah untuk membantu para korban bencana.Â
Berawal dari situlah warga Kuningan mulai berkumpul, dan terbentuklah suatu wacana untuk membentuk organisasi. Kemudian organisasi ini di bentuk dengan berlandaskan kegiatan sosial, non-politik, dan non-bisnis, sehingga tidak ada kepentingan apapun, semata-mata hanya untuk kegiatan sosial.Â
Dalam organisasi PPWK ini untuk menjadi anggota tidak mengenal adanya uang pendaftaran, begitu juga ketika telah menjadi anggota, mereka tidak akan di pungut iuran. Jadi melalui PPWK tersebut para pedagang menjalin kerja sama dengan beberapa perusahaan , terutama perusahaan mi instan.Â
Keuntungan menjadi anggota paguyuban yakni mendapat bantuan dari organisasi ketika ada anggota yang ditimpa musibah, misalnya meninggal, sakit, kecelakaan, warungnya kebakaran. PPWK akan selalu hadir dan memberi bantuan untuk mengurangi beban anggota yang terkena musibah.
Paguyuban Pengusaha Warga Kuningan (PPWK) sendiri sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial di Yogja, dalam kegiatan-kegiatan tersebut biasanya PPWK memberikan bantuan berupa mi instan, dan es teh serta makanan ringan atau snack.Â
Contohnya ketika terjadi peringatan gempa bumi Jogja, PPWK menyalurkan 1000 cup indomie dan 1000 es teh, dari kegiatan tersebut PPWK mendapat penghargaan dari BNPB. PPWK juga pernah mendapat piagam penghargaan dari keraton Yogyakarta.
Setahun sekali PPWK biasanya mengadakan acara mudik bareng dan difasilitasi atas kerja sama PPWK dengan salah satu perusahaan mi instan, karena mi instan merupakan salah satu produk utama yang di gunakan oleh para pedagang burjo.Â
Mudik bareng tersebut gratis bagi para anggota paguyuban. Ini merupakan wujud dari perhatian perusahaan dan peran sosial perusahaan bagi para pedagang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H