Interstellar adalah sebuah film bergenre science fiction yang sempat saya tonton beberapa waktu lalu. Sebuah film buatan Legendary Pictures dan Warner Bros. Pictures USA. bercerita tentang sekelompok ilmuwan ruang angkasa yang memiliki ide bahwa bumi sudah tidak cukup memadai lagi untuk tempat hidup manusia. Gagasan utama yang mereka usung kemudian adalah memindahkan manusia dari planet bumi ke planet lain. Masalahnya kemudian adalah planet apa yang kira-kira cocok untuk dihuni oleh manusia.
Setelah berkelana beberapa puluh tahun waktu bumi, Cooper, salah satu astronot tersisa memutuskan untuk memasuki the black hole. Seperti yang kita tahu, black hole adalah sebuah tempat di luar angkasa yang secara fisika memiliki medan gravitasi yang tinggi. Disinilah Cooper yang melayang-layang dalam dimensi kelima ternyata berada dalam labirin kamar masa kecil putrinya. Ada perbedaan rentang waktu antar dimensi. Melalui dimensi yang berbeda ia mampu melihat masa kecil putrinya saat akan ditinggalkan. Murph, sang putri yang pada awalnya menganggap bahwa jatuhnya buku-buku adalah keberadaan hantu, ternyata adalah sang ayah di dimensi yang berbeda, yang mencoba berkomunikasi dengannya.
Ada sebuah adegan yang cukup menarik untuk disimak. Saat sang ayah mencoba menembus dimensi untuk bisa berkomunikasi dengan sang putri. TARS, si robot ruang angkasa yang menemani misinya ini sempat meragukan karena ada banyak kendala terkait perbedaan ruang dan waktu. Tapi kemudian dengan sangat yakin, Cooper menjawab keraguan TARS dengan penuh kesungguhan, “dengan cinta!” Menurut Cooper, ada hubungan tak terbatas antara ia dan putrinya. Dan ia menyakini bahwa cinta adalah sesuatu yang bisa menembus ruang dan waktu yang berbeda tersebut.
Jawaban Cooper tadi tentu saja membuat saya serta merta menekan tombol previous film tersebut. Karena ada sebuah dialog dalam adegan sebelumnya yang memperkuat pernyataan tersebut.
Ini menarik. Dialog ‘abstrak’ seperti cinta yang terselip dalam sebuah film science fiction terkadang seperti sebuah virus yang disusupkan dalam sebuah komputer super canggih yang selama ini bekerja dalam sistem teratur. Persis seperti ungkapan Jalaluddin Rumi, seorang sufi termashyur, bahwa cinta adalah kubu yang berlawanan dengan nalar. Sementara intelek atau nalar sibuk menerangi ruang dan meraih dunia, cinta punya hidup dan aktivitasnya sendiri. Sesungguhnya ada keindahan harmoni yang saling melengkapi. Ketidakteraturan dalam sebuah keteraturan, ketidakpastian dalam kepastian, chaos dan order.
Seperti dalam The Divine Comedy yang ditulis oleh Dante, seorang penyair abad ke 13 dari Florence, Italy. Pada waktu orang memperbolehkan cinta sejati muncul, hal-hal yang tadinya teratur menjadi berantakan dan menjungkir-balikkan semua yang tadinya kita kira benar dan betul. Dunia akan menjadi suatu kenyataan saat orang belajar mengenal arti cinta. (saya mengartikan ini sebagai proses raising our awareness).
Mari kita sejenak mengikuti para astronot itu berkelana ke ruang angkasa. Ke tempat yang lebih tinggi dan melihat dari atas seluruh pergerakan benda-benda semesta. Mulai dari gugusan planet dan bintang yang besarnya tidak terjangkau hingga sel-sel dalam tubuh makhluk yang hidup, semua memiliki sifat dasar yang sama : mekanis, berpola, dan getaran yang teratur. Semua menciptakan sinergitas dan keseimbangan. Lalu apa energi dasar penggeraknya ? Cinta ?
Hmm, saya akan terlempar pada dunia sepi saat mempertanyakan, ‘apakah itu cinta’? Sepertinya benar adanya bahwa energi cinta ini tidak mendapat tempat pada dunia science. Dalam sains ada 12 macam energi di alam semesta, seperti energi gelombang, energi getaran, energi relativitas, dll yang semuanya bisa dijelaskan secara nalar dan logika. Namun, seperti halnya pembuat film Interstellar yang tak mampu menjelaskan tentang keberadaan “mereka’ yang disebutkan sebagai kata ganti pemilik kekuasaan tak terbatas, atau lahirnya Theory of Everything-nya Stephen Hawking untuk menjelaskan sesuatu yang tidak terbatas oleh nalar manusia dalam dunia sains, atau bahkan pendapat Imam Al Ghazali tentang hukum kausalitas yang menyakini bahwa ada satu kehendak yang berada diluar hukum tersebut, maka pengertian cinta adalah tidak terbatas dan meliputi segala macam energi.
Kata cinta lahir dari ketidakmampuan manusia atau keterbatasan bahasa manusia untuk menerjemahkannya. Maka saya menyetujui bahwa cinta menjadi bahasa universal yang mengisi relung-relung kemanusiaan dan meniadakan sekat-sekat agama. Seperti kata yang saya kutip dari pernyataan Jesuit Teilhard de Chardin, seorang filsuf Prancis. Ia mengatakan bahwa dunia kita ini diselimuti lapisan cinta. Kita bisa memanfaatkan energi angin, laut, matahari, tapi pada hari manusia belajar memanfaatkan energi cinta, saat itu sama pentingnya seperti ketika manusia pertama kali menggunakan energi api.
Jadi, mengapa seorang Paulo Coelho, seorang penulis berkebangsaan Brazil ini menulis tentang ketidakbahagiaan manusia? Ada sebuah ruang kosong dalam diri manusia yang selalu bermuara pada kata ‘bahagia’. Mengalirkan energi cinta pada diri seseorang seperti mengisi ruang kosong tersebut. Kekuatan yang mendorong kita untuk melakukan tindakan-tindakan yang mampu membahagiakan hati kita. Saya menyetujui lanjutan pernyataan Dante diatas tadi bahwa cinta adalah sebuah kekuatan untuk membuat kita bahagia dan untuk membuat kita lebih dekat pada Tuhan.
Jadi, mengapa penting bagi manusia untuk memahami bahwa ia mengalami sebuah rasa cinta. Cinta itu sendiri secara teori memang terbagi dalam berbagai tingkatan. Dalam dunia wujud/materi, cinta diwujudkan dalam bentuk yang terlihat seperti sebuah benda, manusia, hewan, tumbuhan, dsb. Namun sebagaimana kata yang saya kutip dalam sebuah blog, bahwa ide dunia materi adalah perwujudan dari ide dunia non materi, maka cinta yang mewujud itu juga tentu saja berangkat dari ide cinta tidak berwujud. Sehingga agape, atau cinta ilahi mendapatkan tempat tertinggi dalam tingkatan cinta.
Manusia yang sudah bisa mewujudkan cinta ilahi ini kedalam dunia materi ini, maka ia akan mampu mencintai tanpa batas dan tanpa syarat. Mengapa ? Karena mencintai berarti bersiap untuk kehilangan diri sendiri. Bukankah dalam dunia pernikahan kita seringkali menjumpai bagaimana upaya-upaya masing-masing pasangan mengikis ego dalam dirinya untuk melakukan penyesuaian terhadap pasangannya. Manusia bisa melakukan hal tersebut karena ia melakukannya dengan didasari oleh kekuatan cinta. Maka dalam cinta illahi, kita juga musti bersiap kehilangan diri kita sendiri, dan menggantikannya dengan ilahiah. Maka, begitulah seharusnya semesta bekerja. Untuk mencapai sinkronitas.
Mencari titik sinkronitas itu tidak mudah. Sama tidak mudahnya dengan melebur keakuan kita. Freud menyebutnya dengan ego. Ego menghalangi panca indera kita untuk menangkap sinyal-sinyal yang dikirimkan oleh sang pencipta. Ego menjadi noise atau gangguan komunikasi terbesar dalam komunikasi kita dengan Tuhan. Tapi bayangkanlah saat dimana ego melebur dan hilang. Maka sebuah ayat dalam Al Quran yang menyatakan bahwa Tuhan meliputi seluruh makhluk-makhluknya, itu akan terjadi. Kita akan diliputi olehNya. Tidak ada tabir penghalang. Segala sesuatu menjadi jernih. Semua sekat dan kerangkeng pikiran terbuka. Tidak ingin kemana-mana, hanya ingin disini. Karena semua hadir disini. Tapi semua itu tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya pengalaman. Proses mengalami itu sendiri. Lalu bagaimana menuju jalan untuk melakukan proses pengalaman itu sendiri ? Tidak bisa tidak, bersiaplah untuk menceburkan diri dalam sebuah latihan yang bernama : berlatih ikhlas.
Ikhlas itu memang pekerjaan paling sulit. Bukankah Al Quran itu sendiri sebenaranya berisi tentang keikhlasan. Semua berisi keakuan sang pencipta. Tidak ada setitik pun menyisakan keakuan untuk manusia yang membacanya. Bukankah sulit sekali mengakui keakuan lain diluar kita. Tapi itulah yang seharusnya dilakukan. Dan ketika pada satu titik tertentu kita merasakan sesuatu seperti saat membuang air besar di toilet itu, pada saat itulah kita meleburkan diri dalam keakuan sang maha pengatur. Di titik itulah terjadi momentum sinkronitas. Frekuensi yang akurat dan jernih. Persis seperti saat kita mencari frekuensi gelombang radio untuk menangkap kejernihan suara sang penyiar. Frekuensi yang akurat menyebabkan kita bisa menangkap pesan-pesan sang penyiar dengan jelas.
Saya mengalami proses bifurkasi setelah menjalani 35 tahun bernapas di muka bumi ini. Bagaikan sesuatu yang selama ini bergerak statis dan teratur, tiba-tiba tersusupi oleh inspirasi halus yang hinggap dalam sukma dan mengamplifikasi seluruh sistem pemahaman yang ada. Keping-keping teori yang selama ini terpecah-pecah tiba-tiba terekat menjadi satu dan mengungkap sekelumit rahasia semesta. Menjernihkan. Bifurkasi itu sendiri bisa digambarkan seperti anak-anak yang bermain titik-titik yang dihubungkan satu sama lain dan kemudian menjadi satu gambar utuh. Saat terjadi gambar yang utuh itulah kita mendapatkan momentum. (Dan saat kita tergerak untuk melakukan sebuah perubahan atas dasar ini maka inilah yang disebut hijrah).
Seperti Cooper yang akhirnya berusaha mencerna kata-kata TARS bahwa kehadirannya dalam black hole bukan karena pilihannya, tapi karena ia telah dipilih oleh ‘mereka’. Sepertinya Cooper saat itu mengalami bifurkasinya. Tabir semesta yang tiba-tiba tersingkap dalam alam pikirnya. Sama halnya ketika ia menyadari bahwa bukan ia perantara atau orang yang dipilih untuk menyelamatkan bumi seperti sangkaannya selama ini. Tapi, Murph, sang putri yang masih berada di bumi-lah yang ternyata terpilih untuk menjadi penyelamat bumi. Bukan ia. Bagaimana pemahaman ini muncul ? Cooper mengalami sebuah loncatan quantum yang terjadi karena ledakan dalam dirinya. Sebuah sistem yang mengalami overload karena kehadiran virus diluar keteraturannya. Jalan satu-satunya adalah keluar dari sistem itu sendiri dan melihat dari luar.
Kita semua berada dalam kondisi amnesia akut saat diluncurkan dalam misi ke bumi oleh atasan kita. Maka dengan cara apa kita berjuang mengenali diri kita dalam kondisi amnesia akut ini ? Dengan mengaktifkan sebuah chip yang sebenarnya terinstall pada diri setiap manusia yang terlahir ke bumi. Chip ini menjadi piranti utama bagi manusia untuk mampu memahami keberadaannya didunia. Untuk membantunya berkomunikasi dengan sang penciptanya dan memahami perannya kemudian.
Chip ini pada akhirnya ada yang terkubur hidup-hidup karena tuntutan eksternal yang lebih besar. Ada yang kemudian menyadari keberadaan chip ini kemudian mencarinya, dan akhirnya ketemu sebelum terlambat untuk digunakan. Ada pula yang bahkan sampai akhir hayatnya ia tidak mampu menemukan chip ini sehingga tidak pernah mengerti bahwa ia memiliki peran yang seharusnya diemban selama bernafas di dunia. Tuhan sang pencipta, menginginkan manusia memahami peran dan tugasnya saat ia diciptakan. Lalu bagaimana manusia bisa memahami jobdes-nya apabila ia tidak menemukan bahasa yang sama untuk berkomunikasi ? Kembali pada sinkronitas, tentu saja.
Maka latihlah diri untuk terus mengalami rasa cinta. Cinta membuat kita lebih mudah menekan ego untuk mendengarkan dengan hati. Yang menjadikan segala sesuatu menjadi lebih tidak berfungsi adalah kegagalan orang dewasa dalam memberikan ruang pada cinta itu untuk bertumbuh dan berkembang pada hati anak-anaknya. Bagaimana orang dewasa mampu menumbuhkan, mungkin menyadari saja tidak. Atau bisa jadi tidak memiliki pemahaman bahwa cinta tidak melulu pada dimensi materi, tapi jauh menembus lintas dimensi.
Fenomena yang menunjukkan bahwa cinta tidak pernah mendapatkan tempat untuk tumbuh itu banyak sekali. Dan gampang sekali kita lihat dalam kehidupan dewasa ini. Orang tua yang lalai menyadari bahwa pemenuhan kebutuhan anak tidak melulu kesejahteraan secara fisik tapi juga batin seperti : gesture kasih sayang, perhatian melalui pandangan mata, perhatian melalui obrolan, sentuhan atau waktu yang tercurah dan optimal. Atau bisa juga kita lihat pada guru-guru yang mulai berkeringat mengejar target hingga kehabisan energi untuk menyadari bahwa tiap murid itu berbeda dan sudah seharusnya mendapatkan perlakuan yang berbeda-beda pula.
Pada anak-anak juga sering kita temui persepsi tentang cinta sebatas pada dunia materi dan hasil adopsi dari tontonan-tontonan drama yang menjamur dimana-mana. Bukan salah anak-anak tentu saja, tapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah orang dewasa selama ini membantu anak memaknai dan memaknai pembahasan tentang cinta menuju pada dimensi yang lebih tinggi ? Jalaluddin Rumi sempat menyatakan, ‘ada banyak jalan menuju Tuhan, dan saya memilih jalan cinta’. Orang dewasa meletakkan cinta ini pada sebuah kotak yang terbatas pada hubungan antar pasangan dan mencari jalan religius lain untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Akibatnya banyak orang-orang beragama tapi perilakunya sama sekali tidak menunjukkan adanya tanda-tanda cinta didalamnya.
Kegelisahan saya kemudian adalah : kita lalai memberikan ruang untuk cinta bertumbuh dan berkembang. Kita lalai mengaktifkan chip bernama cinta yang sudah terinstal dalam diri manusia itu untuk bisa berkomunikasi dengan sang pencipta. Kita tidak pernah tahu bagaimana rasanya cinta itu ? Mengalami cinta memang akan selalu membuat kita melihat segala sesuatu dengan penuh keindahan dan pendar-pendar kebahagiaan. Tapi kita tidak pernah belajar atau diajari memaknai sensasi rasa cinta itu menuju pada dimensi lain yang lebih tinggi. Kita diajari untuk menuju kepadaNya melalui ritual-ritual keagamaan yang dilangsungkan terus-menerus tapi tidak pernah merasakan getaran-getaran cinta didalamnya, karena kita tidak pernah diajari bagaimana menumbuhkan itu. Maka, mulailah untuk benar-benar meleburkan diri dalam sebuah pengalaman mencintai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H