Konflik antara Israel dan Hamas di Gaza menjadi pusat perhatian internasional, memicu perdebatan sengit dan emosi yang tinggi. Namun, dibalik peperangan fisik di medan perang, terdapat perang media yang  terjadi dan tidak kalah pentingnya. Di era post-truth, di mana fakta dan realitas dapat terdistorsi oleh narasi subjektif, sehingga semakin sulit untuk mengikuti pemberitaan media dalam konflik ini. Media massa memainkan peran sentral dalam membentuk persepsi dan mempengaruhi opini publik, dan dalam konteks tersebut, pemantauan pemberitaan media Israel ataupun media Barat menjadi cukup penting untuk memahami dinamika konflik dan dampaknya.
Dalam artikel ini, kami menganalisis tantangan dalam pemberitaan media Israel dalam konflik Israel-Hamas di era post-truth. Kita melihat adanya tekanan dan kritik dari berbagai pihak yang mempertanyakan objektivitas dan kebenaran pemberitaan pada media Israel maupun media Barat. Serta dampak penyebaran narasi media tersebut dan disinformasi terhadap pencarian berita yang akurat dan valid.
Dengan mendapatkan pemahaman lebih dalam mengenai tantangan penelusuran pemberitaan media dalam konflik Israel-Hamas di era post-truth ini, kita mendapatkan wawasan yang lebih kritis dan mendalam mengenai dinamika konflik dan dampaknya terhadap opini publik.
The Challenge of Narrative From One Side
Pakar media mengatakan beberapa konstitusi "melegitimasi kejahatan perang Israel" di Gaza. Para ahli dan jurnalis di media Arab berargumen bahwa mempublikasikan klaim yang tidak berdasar, hanya menceritakan satu sisi cerita, dan menggambarkan warga Palestina berada di bawah kendali Hamas merupakan pelanggaran terhadap liputan konflik Israel-Hamas sebuah kesalahan tidak profesional yang dilakukan media Barat dalam melakukan hal tersebut.
Para ahli dan jurnalis yang diwawancarai oleh Al Jazeera mengatakan bahwa "bias institusional yang berpihak pada Israel  telah merusak kredibilitas media" yang dianggap 'arus utama' di mata orang-orang Arab dan negara-negara lain. Ketika Israel mengebom Gaza, organisasi-organisasi media Barat "merendahkan martabat warga Palestina" dan "membenarkan pelanggaran  hukum internasional yang dilakukan Israel".  Seraya menyoroti apa yang dialami warga Palestina selama 75 tahun terakhir, jelas bahwa konteks sejarah yang penting dari trauma semakin diabaikan (Nashed, 2023).
Pada tanggal 7 Oktober 2023 lalu, Hamas melancarkan serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap posisi militer dan komunitas di Israel selatan, menewaskan lebih dari 1.400 warga Israel dan menyandera lebih dari 200 orang, menurut  pejabat Israel. Namun, pada hari yang sama, Israel mulai melakukan penembakan tanpa henti di Jalur Gaza, menewaskan lebih dari 8.000 orang, sekitar 40 persen di antaranya adalah anak-anak. Juga, sektor kesehatan di Gaza hancur, sebagian besar infrastrukturnya rata dengan tanah, dan pengepungan diperkuat dengan penghentian bahan bakar, air, dan makanan.
Para peneliti juga mempelajari konten media sosial terkait konflik Israel-Hamas, mengidentifikasi sejumlah akun yang terlibat dalam kampanye disinformasi terkoordinasi terkait perang, dan laporan lain dari Proyek Transparansi Teknologi, ditemukan bahwa akun premium Hamas di X (dulunya Twitter) digunakan untuk mendistribusikan video propaganda. Hal ini telah menimbulkan masalah baru-baru ini karena semakin sulitnya membedakan antara laporan dari jurnalis, tokoh masyarakat dan lembaga, dan laporan dari individu yang berpotensi melakukan penipuan. Â Artinya, tidak hanya meliput narasi Israel, namun mereka menghidupkan narasi Israel (Ruberg, 2023).
Biased or Unprofessional?
Para ahli yang dihubungi Al Jazeera mengatakan bahwa klaim yang tidak berdasar dari pihak-pihak Israel dipublikasikan di halaman depan outlet berita Barat. Contoh terkini adalah klaim yang sering dikutip bahwa Hamas "memenggal 40 bayi". Meskipun kurangnya bukti, tuduhan tersebut dilaporkan oleh The Independent, CNN, Fox News, dan New York Post. Bahkan Presiden AS Joe Biden mengisyaratkan pada 12 Oktober bahwa dia telah melihat gambar bayi yang dipotong-potong. Gedung Putih kemudian mencabut pernyataannya, dengan mengatakan Biden belum melihat gambar seperti itu dan  telah melihat laporan berita (Nashed, 2023).
New York Times (NYT), sebuah surat kabar Amerika  yang berbasis di New York City, mengatakan, "Disinformation and False Claims Flood Social Media. Here's the Reality." mengklaim bahwa "barang bukti berisiko dimusnahkan ketika pasukan Israel mendapatkan kembali kendali atas situs-situs yang menjadi sasaran." Namun, publikasi tersebut malah dikritik oleh netizen yang menyalahkan NYT ikut bertanggung jawab karena menyebarkan disinformasi mengenai konflik Israel-Palestina.