Gunung Ijen yang terletak di Jawa timur ternyata menyimpan banyak hal yang menarik. Â Api birunya konon hanya ada dua di dunia, kawahnya menampung danau berair masam yang terbesar didunia, dan para penambang belerangnya yang disebut sebagai pekerjaan paling mematikan (didunia?). Fenomena api biru atau blue flame ini di seantero bumi katanya hanya ada di dua tempat, salah satunya ya di Ijen ini. Â Video api biru ijen yang sangat terkenal dibuat oleh Olivier Grunewald (Perancis) yang saya lampirkan disini linknya ini http://youtu.be/gzi67qOtvsg. Â
Selain api biru, ternyata kawah ijen adalah danau kawah asam terbesar didunia. Â Seorang petualang dan pembawa acara Angry Planet George Kourounis pernah menaiki perahu karet didanau ini dan mengukur ph air yang menunjukkan angka 0.5 (dari skala 0 -14, netral 7). Â Ini membuktikan bahwa air danau ini memiliki kemasaman yang sama dengan air aki. Â
Penasaran dengan hal ini kamipun merencanakan perjalanan untuk melihat kawah Ijen. Dari Surabaya Gubeng kami naik KA ke Banyuwangi dengan kereta api mutiara timur siang. Â Setelah 6 jam perjalanan kamipun sampai di stasiun Banyuwangi Baru. Â Dari situ kami meluncur ke hotel dengan taksi. Â Dari blog-blog yang saya baca kebanyakan travelernya masih muda dan mereka naik ke ijen menggunakan kendaraan umum lalu naik ke Paltuding (tempat parkir Kawah Ijen) menumpang truk belerang - yang tidak akan kita lakukan - karena kami bukan backpacker, teman saya bawa koper sebesar meja kopi. Â Untuk itu saya berharap pihak hotel bisa membantu.
Untuk melihat api biru ini kita harus berangkat tengah malam karena kalau sudah ada matahari apinya tidak akan kelihatan. Â Hotel bisa membantu dengan mempersiapkan tour ke ijen dengan membayar biaya Rp 1.5 jt. Â Kami belum memutuskan dan berusaha mencari cara lain yang lebih murah untuk bisa diantar kesana. Â Setelah menelepon beberapa agen travel dan rental mobil, biayanya sekitar 1.2 juta. Â Saya merasa aneh dengan penjelasan rental mobil yang mengatakan biaya sewa mobil sebetulnya 500rb, tetapi mereka harus membayar jip lagi kepada asosiasi sehingga biayanya jadi 1.2 jt.
Â
Â
Lalu kami cari informasi ke Tourist Information (naik taksi jadi tidak tahu alamatnya), ternyata ini hari Sabtu dan kantornya tutup. Â Disana ada beberapa bapak dan setelah kami mengutarakan keinginan kami memanggil temannya yang katanya biasa mengantar turis ke Ijen. Â Akhirnya kami bertemu dengan Pak Tripno, seorang PNS dari dinas pariwisata yang punya mobil taft dan biasa mengantar turis ke Ijen. Â Disepakati biaya mobil 550rb dan biaya guidenya 150rb.
Malam hari di bulan November itu ternyata hujan rintik-rintik dan saya khawatir kami tidak bisa naik karena hujan. Â Tapi pak Trip bilang biasanya diatas tidak hujan. Â Kami berangkat dari hotel pukul 12 malam naik taft pak Trip. Â Di lobby ada beberapa orang guide dan turis mancanegara yang mau berangkat ke Ijen juga. Perjalanan ke Paltuding sekitar 1 jam karena pak Trip menyetir santai dan berbincang banyak mengenai pariwisata di Banyuwangi. Â Saya perhatikan sebetulnya kami tidak harus pakai mobil 4 wheel drive, karena banyak mobil SUV biasa yang naik sampai Paltuding. Jalanan kesana sangat bagus dan mulus karena habis ada event Tour de Ijen, menurut pak Trip.
Â
Â
Sampai di parkiran paltuding sudah banyak mobil yang parkir dan orang-orang yang mau naik. Â Kami dikenalkan dengan pak Sam yang akan jadi guide kami. Â Pak Sam ini sehari-hari adalah pekerja tambang belerang. Â Beliau berpakaian hiker lengkap dengan boots dan ransel. Â Dia juga membawa senter kepala dan masker gas! Pak Sam meminjamkan kami tongkat untuk memudahkan mendaki.
Pukul 1.30 pagi kami mulai start berjalan dari parkiran setelah terlebih dahulu ke toilet. Â Toiletnya hanya ada 2 dan turis LN mengantri dengan tertib, tidak begitu dimengerti oleh turis lokal yang tidak mengantri dan memberikan WC kepada temannya yang baru datang. Â Saya kasih tau rahasia, dibagian sebaliknya dari deretan toilet itu ada toilet juga dan orang-orang tidak ada yang tahu jadi tidak perlu mengantri.
Perjalanan awal masih lancar. Â Cuaca cerah dan kami masih bisa mengobrol sambil memperhatikan langit. Â Bintang banyak sekali, saya jadi mengerti istilah stardust setelah melihat ini. Â Kami membayar tiket pada petugas yang bermarkas didalam tenda dome kecil. Â 7500 per orang dan 10 rb untuk mobil. Setelah menanjak beberapa saat, rekan saya mulai banyak meminta istirahat. Â Rombongan demi rombongan menyalip kami. Â
Jalannya cukup lebar sekitar 3 meter, terdiri dari pasir padat. Â Setelah beberapa lama jalannya ada yang bergelombang bekas limpasan air. Kami bawa senter genggam, tapi ternyata lebih praktis memakai senter kepala, sehingga kita tukar dengan punya pak Sam. Kami melewati sebuah bangunan yang ternyata untuk menimbang belerang. Â Pembawa belerang ada yang sudah mulai bekerja tengah malam itu. Â Mereka memakai sepatu boots karet dengan senter kepala. Â Dua buah keranjang disatukan dengan tongkat bambu dan dipanggul di bahu. Â Ada yang baru naik sehingga keranjangnya kosong.
Â
Setelah berjalan menanjak selama 2 jam kami sampai dipinggiran kawah atau kaldera. Â Pandangan masih gelap. Â Setelah berjalan datar selama beberapa ratus meter, kami sampai di area yang dibatasi pagar. Â Dari situ kami sudah bisa melihat api biru dari kejauhan, terletak dibawah kami, jauuh dan samar-samar. Â Pak Sam bertanya apa mau terus turun mendekat ke api biru. Â Saya tentu saja mau. Â Rekan saya turun setengah jalan karena sudah terlalu lelah.
Jalanan turunnya lebih sulit daripada tadi, berbatu-batu dan tidak beraturan. Â Berzigzag kekiri, ke kanan. Â Lalu kami bertemu dengan para pembawa belerang yang naik berlawanan arah dengan kami. Â Mereka memanggul belerang berbobot hingga 80 kg. Â Harga perkilonya 800 rupiah. Â Kalau berpapasan kita harus merapat ke dinding supaya tidak menghalangi mereka. Â Mereka naik perlahan, bisa kedengaran nafas mereka terengah-engah. Â Tapi mereka masih bisa berbicara untuk menawari souvenir belerang, yang kata pak Sam kasih saja 10rb untuk 2 buah miniatur penyu.
Penambang belerang ini bertaruh nyawa setiap hari selain karena medan yang berbahaya ketika membawa belerang juga akibat dari paparan racun yang dihirup. Â Udara yang terpapar belerang dan zat beracun lain dari kawah memasuki paru-paru dan merusak apapun. Â Geligi pun bisa habis kena udara masam ini. Â Dan kita bertanya-tanya kalau buruh di seputaran Jakarta bisa punya serikat pekerja yang menuntut segala hal dari tunjangan pulsa sampai BH, siapa yang membantu para buruh tambang ini dari situasi pekerjaan yang sama seperti kerja paksa jaman Daendels? Â setidaknya beri mereka masker dan rel atau skylift untuk mengangkut hasil tambang!
Setelah turun kurang lebih 500 m sampailah kami dibawah.  Langit sudah mulai terang, api biru masih terlihat.  Dibalik asap kuning tebal, terlihat api biru seperti mengalir berpendar-pendar.  Bau belerang menyesakkan hidung.  Api yang berpendar biru mengalir  penuh misteri membayar rasa lelah sesudah berjalan berjam-jam. Ketika asap berbalik arah kearah kami, saya dengan panik bernafas pakai mulut walaupun sudah pakai masker kertas, dan tenggorokan langsung terasa sakit. Rasanya mau pingsan.  Pak Sam meminjamkan masker gasnya, saya pakainya dobel dengan masker kertas, bekas siapa itu?
Â
Pak Sam menawarkan mengambil gambar dengan hp untuk memotret api biru lebih dekat. Â Api biru itu sebetulnya adalah belerang yang saking panasnya menyala. Â Katanya suhunya bisa 600 derajat. Â Para penambang membuat saluran-saluran dari keramik supaya belerangnya mudah diambil. Â Lalu belerang yang sudah membeku dicungkil dan diangkut sampai ke penimbangan belerang, penambang harus menanjak ke kaldera, lalu menuruni gunung seperti kami tadi. Â
Pak Trip bercerita bahwa penambangan ini membantu supaya gunung Ijen tidak meletus. Â Karena adanya saluran-saluran ini sehingga gas-gas dan belerang keluar. Â Pernah ada kejadian ketika dari danau muncul gelembung besar berisi gas yang pecah mengeluarkan asap beracun sehingga menimbulkan korban jiwa. Ketika matahari mulai lebih terang terlihatlah pemandangan indah danau ini. Â
Dari bawah danau tidak begitu terlihat tertutup asap belerang. Â Api biru berangsur-angsur tidak kelihatan. Â Bebetuan yang tadi kami lewati ternyata berwarna kuning. Â Waktu gelap terlihat seperti berwarna putih dan saya bertanya apakah batu-batu ini dicat putih? Pantas saya ditertawakan. Air danau berwarna hijau toska, sangat tenang. Â Waktu naik Ijen saya belum googling bahwa ini adalah danau asam, jadi saya tanya kok tidak ada yang naik perahu? Ternyata itu bisa mematikan karena danaunya yang asam. Â Saya membayangkan tidak ada satupun mahluk hidup didalam danau itu. Woow, itu keren.
Â
Â
Banyak sekali pendaki hari itu karena malam minggu. Â Didasar kawah banyak yang berfoto-foto, ada juga yang shalat subuh. Â Setelah puas berfoto kami naik lagi. Â Siang hari menanjak terasa lebih mudah. Â Dari kaldera kita bisa melihat pemandangan yang sangat menakjubkan dari kawah ini. Â Biru toskanya danau dengan sapuan asap didepannya, langit yang cerah, udara yang mulai hangat dengan angin dingin semilir, sungguh suatu pengalaman yang indah.
Perjalanan turun cukup mudah karena sudah terang. Â Ingin cepat-cepat sampai ke parkiran karena sudah kebelet ke toilet. Â Lalu kita bisa ngopi-ngopi dulu di warung. Â Nikmat. Â Setelah itu kami diantar pulang oleh Pak Tripno, sampai hotel jam 9 pagi jadi masih dapat breakfast.
Untuk yang berminat naik ke Ijen bisa hubungi telepon pak Tripno. Â Pak Sam mengatakan sebetulnya bisa sewa mobil biasa (bukan 4 wheel) ke rental yang dimiliki masyarakat Using, harganya lebih murah. Â Kami menginap di hotel Ketapang Indah (dekat dari pelabuhan Ketapang dan stasiun kereta api). Â Hotelnya cukup bagus dengan taman dan kolam renang, tapi banyak hotel yang lebih dekat ke kaki gunung Ijen.
Kontak: Pak Tripno 081249830249
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H