Mohon tunggu...
Mita
Mita Mohon Tunggu... Administrasi - Kerja dari rumah.

Minat yang terlalu sering berubah-ubah

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Warna-warni Ijen: Api Biru, Kuning Belerang dan Danau Hijau Toska

22 Desember 2014   15:44 Diperbarui: 4 Juli 2015   12:20 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Sampai di parkiran paltuding sudah banyak mobil yang parkir dan orang-orang yang mau naik.  Kami dikenalkan dengan pak Sam yang akan jadi guide kami.  Pak Sam ini sehari-hari adalah pekerja tambang belerang.  Beliau berpakaian hiker lengkap dengan boots dan ransel.  Dia juga membawa senter kepala dan masker gas! Pak Sam meminjamkan kami tongkat untuk memudahkan mendaki.

Pukul 1.30 pagi kami mulai start berjalan dari parkiran setelah terlebih dahulu ke toilet.  Toiletnya hanya ada 2 dan turis LN mengantri dengan tertib, tidak begitu dimengerti oleh turis lokal yang tidak mengantri dan memberikan WC kepada temannya yang baru datang.  Saya kasih tau rahasia, dibagian sebaliknya dari deretan toilet itu ada toilet juga dan orang-orang tidak ada yang tahu jadi tidak perlu mengantri.

Perjalanan awal masih lancar.  Cuaca cerah dan kami masih bisa mengobrol sambil memperhatikan langit.  Bintang banyak sekali, saya jadi mengerti istilah stardust setelah melihat ini.  Kami membayar tiket pada petugas yang bermarkas didalam tenda dome kecil.  7500 per orang dan 10 rb untuk mobil. Setelah menanjak beberapa saat, rekan saya mulai banyak meminta istirahat.  Rombongan demi rombongan menyalip kami.  

Jalannya cukup lebar sekitar 3 meter, terdiri dari pasir padat.  Setelah beberapa lama jalannya ada yang bergelombang bekas limpasan air. Kami bawa senter genggam, tapi ternyata lebih praktis memakai senter kepala, sehingga kita tukar dengan punya pak Sam. Kami melewati sebuah bangunan yang ternyata untuk menimbang belerang.  Pembawa belerang ada yang sudah mulai bekerja tengah malam itu.  Mereka memakai sepatu boots karet dengan senter kepala.  Dua buah keranjang disatukan dengan tongkat bambu dan dipanggul di bahu.  Ada yang baru naik sehingga keranjangnya kosong.

 

Emak emak boleh kan naik gunung?

Setelah berjalan menanjak selama 2 jam kami sampai dipinggiran kawah atau kaldera.  Pandangan masih gelap.  Setelah berjalan datar selama beberapa ratus meter, kami sampai di area yang dibatasi pagar.  Dari situ kami sudah bisa melihat api biru dari kejauhan, terletak dibawah kami, jauuh dan samar-samar.  Pak Sam bertanya apa mau terus turun mendekat ke api biru.  Saya tentu saja mau.  Rekan saya turun setengah jalan karena sudah terlalu lelah.

Jalanan turunnya lebih sulit daripada tadi, berbatu-batu dan tidak beraturan.  Berzigzag kekiri, ke kanan.  Lalu kami bertemu dengan para pembawa belerang yang naik berlawanan arah dengan kami.  Mereka memanggul belerang berbobot hingga 80 kg.  Harga perkilonya 800 rupiah.  Kalau berpapasan kita harus merapat ke dinding supaya tidak menghalangi mereka.  Mereka naik perlahan, bisa kedengaran nafas mereka terengah-engah.  Tapi mereka masih bisa berbicara untuk menawari souvenir belerang, yang kata pak Sam kasih saja 10rb untuk 2 buah miniatur penyu.

Penambang belerang ini bertaruh nyawa setiap hari selain karena medan yang berbahaya ketika membawa belerang juga akibat dari paparan racun yang dihirup.  Udara yang terpapar belerang dan zat beracun lain dari kawah memasuki paru-paru dan merusak apapun.  Geligi pun bisa habis kena udara masam ini.  Dan kita bertanya-tanya kalau buruh di seputaran Jakarta bisa punya serikat pekerja yang menuntut segala hal dari tunjangan pulsa sampai BH, siapa yang membantu para buruh tambang ini dari situasi pekerjaan yang sama seperti kerja paksa jaman Daendels?  setidaknya beri mereka masker dan rel atau skylift untuk mengangkut hasil tambang!

Setelah turun kurang lebih 500 m sampailah kami dibawah.  Langit sudah mulai terang, api biru masih terlihat.  Dibalik asap kuning tebal, terlihat api biru seperti mengalir berpendar-pendar.  Bau belerang menyesakkan hidung.  Api yang berpendar biru mengalir  penuh misteri membayar rasa lelah sesudah berjalan berjam-jam. Ketika asap berbalik arah kearah kami, saya dengan panik bernafas pakai mulut walaupun sudah pakai masker kertas, dan tenggorokan langsung terasa sakit. Rasanya mau pingsan.  Pak Sam meminjamkan masker gasnya, saya pakainya dobel dengan masker kertas, bekas siapa itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun