"Aku bersusah payah menuju ke masa depan untuk bertemu dengan Ibu, ya. Tapi Ibu malah seperti ini reaksinya." Ia ngambek. Lucunya. Hatiku terasa sangat sakit sekarang. Mengingat ia telah tiada sebenarnya. Masa depan katanya?
      "Memangnya bisa ya pergi ke masa depan?" tanya ku serius. "Iya, Kala udah tahu kalo Kala bakal meninggal. Makanya Kala berkunjung ke sini, mau lihat Ibu, apakah Ibu masih bahgia dan tersenyum sperti biasanya. Tapi ternyata senyuman yang ingin Kala lihat sekarang udah hilang. Kecewa ih!"
      Lelah ku tahan air mata ini untuk tidak jatuh ke lantai. Kala masih bertahan dengan senyuman manis khasnya. "Terpenuhkan, kan? Kala bisa ke sini makan bareng di kafe ini sama Ibu, untuk pertama dan terakhir kalinya."
      "Tapi Kala ga nepatin janji sama Ibu untu trus hidup. Kenapa, Mel? Harusnya Kala cerita sama Ibu." Tanyaku dengan nada yang sedikit terisak. Ia kembali tersenyum hangat
"Maaf, Bu. Kala ga bisa. Kala ga sanggup. Kala penyakitan, Bu. Kala lebih pantas pulang, pulang ke Tuhan. Tapi, kita berdua sudah mengerjakan apa yang Ibu inginkan terakhir kali kan." Jelasnya. Jatuh, air matanya pun terjatuh, tak sanggup menahan bulir itu. Bersamaan dengan ku yang tak bisa menahan air mata untuk tak jatuh.
      "Waktu Kala ga banyak, nih. Kala ke sini cuman mau ngucapin terima ksih banyak-banyak but Ibu, karena udah mau jadi guru Kala. Kala bersyukur banget bertemu dengan Ibu. Ibu udah kaya Ibu kandung Kala buat Kala yang ga pernah ngerasai gimana kasih sayang seorang Ibu. "
      "Maafin Kala ya, Bu. Maaf... maaf karena telah mati." Tuturnya sambil triak-isak menahan tangisan agar tak terdengar keras hingga ke seluruh kafe. Sakit. Hatiku menjadi sangat sakit, seperti ditusuk oleh jarum berkali-kali. Emosi ku bercampur aduk sekarang hingga tak bisa memikirkan apa-apa lagi sekarang. Kala, ternyata ia tahu ia akan mati. Ia merencanakannya.
      "Namun, aneh. Kala ga takut mati, Bu. Malah Kala pingin banget mati. Tapi, yang Kala takutkan adalah, ketika Kala ga ada lagi, senyuman dan tawa bahagia di Ibu juga ikut hilang." Ia menjulurkn tangannya dan memajukan badannya ke depan hingga wajah kami berdekatan. Kedua tangan mungil Kala menyentuh kedua sisi pipi ku dan mengelusnya dengan lembut menghapus air mata yang membasahi pipiku dengan tulus. Ia tersenyum dengan hangat Namun, bukannya membuatku tenang, malah semakin membuatku sakit hati.
      "Jadi, tersenyumlah. Janji, ya, Bu. Sekarang Kala uda bahagia, udah di rumah yang sebenarnya. Terus bahagia, Bu." mulai menghilang tubuh Kala, lama kelamaan berubah menjadi seperti uap yang hilang begitu saja.  Kusebut namanya beberapa kali, meraumg-raung bak anak kecil yang ditinggal Ibunya. Masih tak terima atas kepergian anak baik itu.
***
      "Permisi... Anda tidak kenapa-napa, kan?" seseorang menepuk pundakku dengan lembut dan menanyakan keadaanku. Astaga, aku tertidur di sini? Tak sadar air mata yang bukan hanya membasahi pipiku, tapi juga meja tempat yang aku duduki di kafe itu. Mengusap air mata malu. Aku membersihkan air mata ku yang ada di meja itu menggunakan tisu. Belum kujawab pertanyaan seorang pelayan tadi. Sibuk berusaha mencari pekerjaan untuk menahan rasa malu.