Mohon tunggu...
Muhammad Iskandar Satriyo Utomo
Muhammad Iskandar Satriyo Utomo Mohon Tunggu... -

Mahasiswa arsitektur. Penulis. Fotografer. Jurnalis. Konseptor. Entrepreneur. Aktivis sosial.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mata Kecil

1 Mei 2013   14:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:18 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cahaya matahari pagi menerobos masuk ke dalam kamar melalui sela – sela jendela yang menganga lebar. Seperti biasa, ibu selalu menyibak gorden jendela kamarku setiap pagi. Katanya, sinar matahari pagi sangat baik untuk kesehatanku. Aku tidak tahu baik yang bagaimana atau seperti apa, tetapi aku memang merasakan sensasi hangat yang merayap di sekujur tubuh. Entah mengapa perasaan itu terasa amat nyaman, rasa sejuk yang sangat sulit aku gambarkan. Mungkin seperti didekap erat – erat oleh ibu. Aku berusaha membuka mataku yang masih terasa berat dan layu. Sulit sekali rasanya hanya untuk sekedar mengangkat dua lembar kelopak mata dan menatap langit – langit kamar. Ditambah lagi dengan silaunya cahaya matahari pagi yang seolah menahan - nahan otot di sekitar kelopak mataku, memaksaku untuk tetap terpejam dan kembali terlelap. Oh, ini sungguh menjengkelkan, aku merasa sangat lemah karena tidak memiliki tenaga samasekali untuk bisa melawannya. Aku takut. Kemudian terbesit satu pertanyaan yang membuatku bergidik. Apa aku ini seorang pemalas? Ibu bilang, orang yang kerjanya hanya tidur sepanjang hari adalah orang yang malas, dan itu bukanlah hal yang baik. Itu hal yang buruk. Aku tidak mau menjadi orang yang buruk, samasekali tidak mau! Aku takut menjadi orang jahat, karena orang jahat itu kejam. Mereka selalu membawa pisau dapur kemana – mana dan merampas uang orang – orang yang tidak berdosa. Itu kata ayahku. Sungguh mengerikan. Aku harus bangun! Harus! Sekali lagi kucoba untuk mengangkat kedua kelopak mataku yang sejak tadi masih terpejam, terkunci dengan sempurna. Kemudian sedikit demi sedikit aku berhasil membuka setengahnya, namun yang dapat kulihat hanyalah cahaya putih keemasan yang terpancar dari arah jendela di sudut kamar tidurku. Kelopak mata ini seakan memiliki keinginannya sendiri! Ia belum kalah. Ia tidak mau kalah. Sepertinya ia terus berusaha untuk kembali mengunci kedua mataku agar aku kembali terbenam ke dalam dunia di balik kelopak mata yang penuh dengan kegelapan. Hitam pekat! Hanya warna itu yang dapat aku lihat disana, dan aku tidak suka. Huh! Aku harus menang..! Aku terus berusaha sekuat tenaga untuk membuatnya terbuka lebar, namun di saat yang sama setiap kali kucoba membelalakkan kedua kelopak mataku, ia selalu berusaha menutupnya kembali dengan kekuatan yang luar biasa. Seakan kekalahan bukan pilihan baginya. Benar – benar keras kepala! Emosiku sudah semakin memucak sampai ke ubun – ubun. Aku mulai frustrasi. Aaaaarrrrrgggh!! Aku amat sangat kesal dengan tingkah kelopak - kelopak mataku ini. Bagaimana mungkin dia tega menarikku kembali ke dunia di balik kelopak mata yang menyedihkan itu?! Suram. Padahal mereka juga bagian dari aku. Aku sudah tidak tahan lagi, aku harus bangun! Ibu pasti sudah menungguku di ruang makan untuk segera menyantap sarapan pagi. Sudah tidak ada waktu lagi. Pilihanku sudah habis. Aku memutuskan untuk berkelahi dengannya. Pergumulan itu terjadi cukup lama. Entah berapa menit waktu yang terbuang sia – sia hingga sampai pada titik dimana aku dapat melihat perabotan – perabotan yang ada di dalam kamarku, walau masih agak sedikit remang dan buram. Aku dapat merasakannya, aku menyadari bahwa kelopak mataku ini sudah mulai menunjukkan tanda – tanda kekalahannya. Akupun mengerahkan seluruh sisa tenagaku yang terakhir untuk membuka kedua kelopak mataku lebar – lebar serta menguncinya agar tidak kembali terpejam. Dan terlihatlah kamarku yang terisi penuh sesak dengan berbagai macam perabotan yang diletakkan oleh ayah dan ibu entah sejak kapan. Benda – benda ini memang sudah berada disini sejak aku mulai bisa mengingat. Dan akhrinya, aku terbangun. Aku duduk di tengah tempat tidur dan terdiam sejenak, seperti orang yang sedang kebingungan. Memang seperti ini rasanya bangun di pagi hari, pikiranku kosong tanpa arah, namun aku cukup menikmatinya. Momen terdiam sesaat ini memang tidak berlangsung lama. Perhatianku segera terpusat dan terpaku pada beberapa benda acak di sekeliling kamar yang mulai mengalir mengisi pikiranku yang kosong. Aku berusaha mengumpulkan kembali sisa – sisa tenagaku yang sudah menipis akibat perkelahianku dengan kelopak – kelopak mata tadi. Energiku sudah terkuras habis hanya untuk terbebas dari cengkraman kegelapan di atas tempat tidurku sendiri. Perhatianku segera terpusat pada suara berdetak yang memecahkan keheningan. Suara itu berasal dari arah dinding yang terletak tepat di sampingku. Bunyi – bunyian itu sungguh mengganggu. Mengesalkan sekali. Suara apa itu?! Aku mentutup telinga dengan kedua telapak tanganku. Tik. Tok. Tik. Tok. Tik. Tok. Tik. Tok. Tik. Tok. Tik. Tok.. Kulihat benda berbentuk lingkaran yang tergantung di dinding dekat langit – langit kamar. Ibu sering menyebutnya jam dinding. Benda itu menunjukkan angka delapan tiga puluh, cukup siang bagiku. Jam dinding itu terus berdetak. Selalu berdetak. Terus menerus. Yah, jika baterainya habis, ayah akan segera menggantinya dengan yang baru dan jarum – jarum itu kembali bergerak. Berputar. Sepertinya mereka hidup. Kekal. Abadi. Mungkin tidak akan pernah berhenti. Aku tidak kuasa untuk tidak mendengar suaranya. Entah bagaimana, lambat laun suara itu berangsur – angsur berubah merdu. Detik – detik itu seolah berirama. Saling bersahutan satu sama lain membentuk rangkaian nada yang terasa nyaman di telingaku. Suaranya terdengar semakin indah. Untuk sejenak, aku cukup menikmatinya. Namun, aku merasakan hal lain dibalik irama – irama merdunya. Ketiga jarum itu selalu bergerak. Terus bergerak dan tidak pernah mau berhenti sebelum baterai mereka habis. Kupikir mereka tidak pernah merasakan lelah. Bahkan mungkin mereka tidak mengenal apa itu lelah. Terutama yang berwarna merah. Dia yang berlari paling cepat. Aku rasa jarum merah itu yang membuatnya terdengar sedikit menakutkan. Seolah mengajakku untuk bermain kejar – kejaran. Oh, bukan, dia memaksaku untuk berlari! Berlari secepat – cepatnya! Ini memang Sabtu pagi. Namun ketiga jarum bersaudara itu mengingatkanku bahwa seharusnya aku sudah tidak berada disini lagi sekarang. Aku masih belum mendengar suara merdu ibu yang biasanya selalu membangunkanku di setiap pagi menjelang. Suaranya terlampau lembut dan indah. Terlalu merdu hingga aku benar – benar takjub dan tak dapat kembali memejamkan mata. Aku baru menyadari bahwa ternyata selama ini ibuku lah yang selalu setia membantuku melawan kegelapan di atas tempat tidur, dan dengan sentuhan tangannya, ia selalu menarik tubuhku menuju cahaya mentari pagi yang hangat dan cerah sambil diiringi dengan senyuman yang sangat manis yang senantiasa menghiasi wajahnya. Aku keluar dari dalam kamar dan berjalan perlahan menuju ruang makan. Kedua kakiku masih terasa lemas. Bahkan hampir terlalu lemah untuk sekedar menopang berat badanku sendiri. Aku harus menuruni tangga karena kamarku berada di lantai dua. Dengan sangat hati – hati aku menginjak anak tangga satu demi satu sambil tetap menjaga keseimbangan agar tidak tergelincir. Aku baru menuruni beberapa anak tangga ketika aku mendengar suara - suara gaduh dari arah ruang keluarga. Kegaduhan itu membuatku penasaran. Rasa penasaranku memuncak ketika aku melihat dua orang mengenakan pakaian rapi lengkap dengan jas dan dasi sedang menggeledah perabotan di ruang keluarga. Aku tidak tahu siapa dan apa yang sedang mereka lakukan, dan aku harus mendapatkan jawabannya. Kedua orang itu terlihat sedang mencari sesuatu yang sepertinya amat sangat penting. Aku tidak melihat ayah dan ibu dimanapun. Aku berjalan beberapa langkah menuruni anak – anak tangga ke arah orang – orang aneh itu. Mereka berdua samasekali tidak menghiraukan keberadaanku disana dan terus melanjutkan pencarian mereka. Aku sudah sampai di dasar anak tangga, bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa diam, berdiri di tempat dan menyaksikan tingkah aneh kedua orang misterius tersebut. Kakiku seakan terpaku di lantai parket yang dingin tempatku berdiri, tidak bergerak sedikitpun. Aku dapat merasakan tubuhku bergetar hebat. Ingin rasanya aku berteriak memanggil ayah dan ibu. Namun, entah mengapa aku tidak bisa melakukannya.. “Nah! Ini dia! Sudah kutemukan!!” Teriak seorang wanita berpakaian rapi itu kepada teman prianya. Ia menggenggam secarik kertas. Sepertinya kertas itu berisi tulisan – tulisan penting yang tak ternilai harganya. Aku dapat melihat dari raut wajah mereka yang teramat sangat girang saat berhasil menemukan secarik kertas aneh tersebut. “Baiklah kalau begitu, ayo kita berangkat. Aku hampir terlambat.” Sahut teman prianya tergesa – gesa. Mereka berdua bergegas berlari keluar dari rumahku. Di halaman rumah, sudah bertengger sebuah mobil mewah berwarna hitam yang diparkir di sebelah taman bunga milik ayahku. Ya, ayah memang senang memelihara bunga. Dengan terburu – buru, mereka segera masuk ke dalam mobil, dan melesat pergi begitu saja. Aku merasakannya, ada sesuatu yang janggal disini. Apakah rumahku baru saja dirampok oleh pencuri? Kata ayah, pencuri itu suka mengambil barang – barang milik orang lain, dan itu tidak baik. Aku rasa mereka berdua adalah sekelompok penjahat yang ingin mengambil sesuatu milik ayah dan ibu untuk kepentingan mereka sendiri. Dan yang lebih parah lagi, ayah dan ibu tidak mengetahuinya samasekali! Apa yang harus aku lakukan sekarang?! Kemudian aku menemukan diriku sedang menangis. Aku bingung dan takut. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya terduduk lemas di atas salah satu anak tangga sambil menangis. Aku memang cengeng, pikirku. Namun aku menangis tidak lama. Dalam sekejap ibu segera datang menghampiri dan mendekapku erat – erat, sambil berusaha menenangkan dan meredam tangisanku. Seketika itu tangisanku terhenti. Aku tahu semuanya akan baik – baik saja ketika aku sedang berada di dalam pelukan ibu yang terasa hangat dan nyaman. Aku merasa sudah tidak ada lagi hal yang perlu aku cemaskan, paling tidak untuk saat ini. Ibu segera membawaku ke meja makan untuk segera menyantap hidangan masakan yang telah ibu siapkan. Aku duduk di atas kursi, sementara ibu mempersiapkan makanan untukku. Aku senang sekali dengan masakan – masakan buatan ibu. Rasanya sangat enak! Aku selalu ingin menyantapnya lagi dan lagi. Hanya dari aromanya saja sudah cukup untuk membuat liurku menetes. Ibuku memang pemasak yang hebat! Aku sayang ibu. Sebelum makan bersamaku, ibu menyempatkan dirinya untuk menutup pinturuang tamu terlebih dahulu. Pintu itu masih terbuka lebar sejak kedua orang penjahat misterius tadi melarikan diri. Dari meja makan, aku bisa melihat melalui jendela, ayah yang sedang sibuk menyirami tanaman kesayangannya di pekarangan rumah. Wangi bunga – bunga di pekarangan tercium sampai ke ruang makan, bercampur dengan aroma masakan ibu. Sungguh hebat, bunga – bunga itu mampu menghasilkan bau yang begitu indah, entah bagaimana caranya. Mungkin ayah selalu menyemprotkan parfum milik ibu di pekarangan. Tanaman – tanaman itu sudah ia pelihara sejak dulu. Ayah selalu memperlakukan tanaman – tanaman itu seperti anaknya sendiri, bahkan tidak jarang ia mengajak mereka berbicara dan bersenandung. Sungguh lucu ayahku ini. Apakah tanaman – tanaman itu bisa mengerti perkataan ayah? Sejauh yang aku perhatikan, mereka tidak pernah sekalipun membalas celotehan – celotehan ayah. Namun tetap saja ayah tidak bosan – bosannya mengajak mereka berdialog dan bersenda gurau. Mungkin ayah senang melihat bunga – bunga indah bermekaran di kebunnya. Mulai dari warna merah, biru, kuning, jingga, bahkan ada juga yang berwarna pucat kehitaman. Memang warna – warna itu terlihat sungguh cantik dan mempesona siapapun yang melihatnya, namun aku berpikir mungkin ayah sudah jatuh cinta pada mereka. Ayah sangat menyayangi bunga – bunga yang merekah dari tiap - tiap kuncupnya. Setiap kali ayah menyadari ada satu bunga yang mekar, ia pasti menyanyikan senandung – senandung aneh dengan ekspresi wajah matahari terbit yang berkilau oleh keringat. Dan setiap kali ada bunga yang menghitam dan layu, ayah pun tidak pernah lupa untuk menguburnya di dalam tanah. Aku sangat sayang pada ayah, seperti ayah juga menyayangi bunga – bunga harum itu. Aku sudah selesai menghabiskan makananku. Aku masih terbayang oleh kejadian tadi pagi yang membuatku merasakan perasaan aneh yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Rasa bingung bercampur dengan rasa takut yang luar biasa. Pikiranku masih dipenuhi dengan pertanyaan – pertanyaan yang menunggu untuk dijawab. Siapa mereka, dan apa yang mereka inginkan..? Namun aku sudah cukup merasa aman selama ayah dan ibu berada di dekatku. Aku berusaha melupakan kejadian itu dan duduk di ruang keluarga. Ibu sedang mencuci piring di dapur. Ayah masih sibuk dengan tanaman - tanamannya. Aku duduk termenung sendiri di atas sofa yang sangat empuk sambil memperhatikan acara di televisi. Acara itu menampilkan gambar seorang pemuda berdasi dan berpakaian rapi serta membawa koper hitam sedang berjalan di tengah hiruk pikuk pusat kota. Kota itu dipenuhi dengan menara – menara kaca menyilaukan yang menjulang tinggi sekali, seolah saling berlomba – lomba untuk dapat mencakar – cakar awan di langit biru. Menara – menara kaca itu saling memantulkan cahaya matahari kepada menara – menara lainnya yang juga melakukan hal serupa. Hanya melihatnya saja aku sudah merasa panas dan gerah, bagaimana dengan pemuda di dalam televisi itu? Ia berbelok di perempatan jalan sebanyak beberapa kali sebelum akhirnya memasuki salah satu menara berbentuk kotak persegi panjang yang menjulang sangat tinggi menuju angkasa. Pemuda berkoper itu kemudian memasuki ruangan sempit yang memiliki pintu otomatis. Di dalamnya, samasekali tidak terdapat apapun kecuali barisan tombol – tombol menyala berwarna merah yang terletak tepat di sebelah pintu tersebut. Ia menekan salah satu tombol bertuliskan angka “72”, kemudian berdiri terdiam menghadap ke arah pintu otomatis. Apa yang sedang ia lakukan? Ia terlihat seperti sedang menunggu sesuatu terjadi? Sesaat kemudian pintu otomatis itu terbuka. Dan yang terlihat melalui jendela – jendela kaca menara bukan lagi mobil – mobil berseliweran di jalanan, bukan lagi pejalan – pejalan kaki yang berjalan di atas trotoar, melainkan kawanan awan dan seberkas garis horizon. Hanya itu! Apa itu?! ...Surga?!? Ini bukanlah hal yang biasa aku lihat. Ini terlalu aneh bagiku. Bagaimana mungkin sebuah ruangan sempit seperti itu dapat mengirim manusia pergi ke surga! Ayah dan ibu tidak pernah menceritakan hal – hal seperti itu padaku sebelumnya. Ini aneh! Walaupun menakjubkan, tetap saja aneh! Namun, hal yang jauh lebih tidak masuk akal perlahan mulai terlihat, seiring dengan pemuda itu berjalan keluar dari ruangan sempit tadi. Aku mengikutinya dari belakang sambil menoleh – noleh ke kiri dan ke kanan. Sejauh mata memandang yang dapat kulihat hanyalah sekat – sekat berisi orang – orang berwajah murung yang duduk di kursi sedang memusatkan perhatian mereka ke layar televisi yang terletak tepat di depan wajah. Jaraknya mungkin hanya beberapa sentimeter dari batang hidung mereka. Raut wajah mereka benar – benar datar, tanpa perubahan mimik muka yang berarti. Baik pria maupun wanita, semuanya duduk diam dengan mata terpaku pada layar televisi. Jari - jari mereka terlihat sangat sibuk menekan deretan tombol – tombol persegi yang timbul dari atas meja, kira – kira terletak di depan dada mereka. Tombol – tombol itu mengeluarkan suara berdetik yang keras dan cepat, serta saling bersahut – sahutan satu sama lain. Sungguh tidak nyaman didengar oleh telinga. Tetapi, apa boleh buat, aku harus tetap terus berjalan mengikuti kemanapun pemuda itu pergi. Pemuda itu akhirnya berhenti di salah satu ruang antar sekat yang masih kosong dan segera duduk di kursi yang serupa dengan kursi orang – orang tadi. Ia samasekali tidak terlihat bingung dengan tingkah laku manusia – manusia di sekitarnya. Sepertinya ia sudah tahu apa yang harus ia lakukan di tempat itu. Ia segera membuka kopernya, mengambil beberapa lembar kertas, meletakkannya di atas meja, dan menekan tombol biru aneh yang berada di bawah meja. Sesaat kemudian, aku menyadari bahwa kelakuan aneh mereka adalah perbuatan si tombol biru tersebut! Aku melihat pemuda itu ikut tertular penyakit aneh yang menginfeksi orang – orang disekitarnya setelah menekan tombol biru. Layar televisi di depan wajahnya menyala seketika dan jemarinya mulai menekan – nekan deretan tombol yang timbul di atas meja sambil sesekali melirik ke arah kertas yang telah ia letakkan sebelumnya. Mengerikan sekali.. Aku tidak paham dengan tingkah laku mereka. Ini pasti neraka! “Hei, sampai kapan kamu mau melamun terus di depan televisi, sayang?” Terdengar suara ibu yang sangat merdu dari arah dapur. Suaranya memecahkan keheningan. Aku tersentak kaget dan mendapati seluruh tubuhku penuh dengan keringat yang bercucuran. Aku juga baru menyadari bahwa hanya suara klik klak klik tombol – tombol saja yang kudengar sejak tadi. Televisi ini benar – benar berhasil menarik pikiranku sampai aku lupa bahwa aku sedang berada di dalam rumah. Hampir saja televisi ini menghapus ingatanku tentang kejadian tadi pagi. Hampir. Sayang, masih belum berhasil. Mungkin karena ibu yang terlalu cepat menarikku keluar dari dalam televisi. Hari beranjak semakin siang. Mentari pagi sudah lama pergi. Cuaca di luar sudah berubah menjadi amat panas dan menyilaukan mata. Ketiga jarum pada jam yang tergantung di dinding ruang keluarga, seluruhnya mengarah ke angka 12. Aku telah selesai menghabiskan makan siangku bersama ayah dan ibu. Setelah itu aku harus segera tidur siang seperti biasanya. Ini memang rutinitas yang menjemukan, namun aku tidak tahu lagi hal – hal apa saja yang lebih menyenangkan daripada rutinitas ini. Lagipula aku tidak punya kuasa untuk bisa terbebas darinya. Aku berbaring di atas kasur, dan sudah tidak peduli lagi dengan semua keanehan – keanehan yang terjadi sejak tadi pagi. Aku benar – benar mengantuk. Oh iya, aku lupa bahwa kasurku ini dikelilingi oleh pagar! Pasti hal ini yang membuatku merasa tidak dapat terbebas dari segala macam rutinitasku yang menjemukan. Namun tetap saja aku tidak kuasa untuk menyingkirkannya. Dan akupun segera tertidur pulas di atas kasur. Aku mulai bermimpi. Sudah dapat kutebak, lagi - lagi mimpi yang aneh. Aku berada di ruang keluarga bersama ibu. Ibu sedang mnyaksikan acara di televisi. Dan ayah, kurasa ia sedang mencuci mobilnya di garasi. Aku dapat mendengar suara gemericik air yang menyembur dari dalam selang, lengkap dengan senandung – senandung khas ayah. Terdengar suara klakson mobil dari arah depan rumahku. Ayah segera berlari untuk membukakan pintu gerbang. Sepertinya ayah mempersilahkan mobil itu parkir di dalam garasinya. Ibu pun bergegas berjalan ke arah ruang tamu untuk menyambut kedatangan Sang Tamu. Ia memutar kunci pintu utama dan membukakannya agar tamu itu dapat masuk ke dalam ruang tamu. Nah, disini mimpiku mulai berubah menjadi aneh. Sangat aneh. Tamu – tamu itu ternyata adalah dua orang misterius berpakaian rapi yang pagi tadi mencuri kertas dari dalam rumahku! Aku masih dapat mengingat persis wajah pria dan wanita itu. Tubuhku gemetar dan aku merasa sangat takut. Hal yang lebih aneh lagi bahwa ayah dan ibu justru menyambutnya dengan ramah. Bahkan mereka sampai membungkukkan badan. Ayah pernah bilang, gerakan itu berguna untuk mengekspresikan tanda hormat dan sopan santun. Ayahpun mau bersusah payah membawakan barang – barang bawaan mereka masuk ke dalam rumah. Tapi mengapa mereka berlaku seperti ini kepada kedua orang yang tak dikenal itu?! Apa – apaan mereka ini?! Perasaan bingung yang bersenyawa dengan rasa takut kembali merembes dan mengalir ke dalam tubuhku, mulai dari tengkuk, hingga ujung - ujung jemari dikedua kakiku. Kali ini terasa berkali – kali lipat jauh lebih intens! Tubuhku gemetar tidak karuan. Entah bagaimana caranya aku dapat berada di dalam situasi seperti ini, namun aku berusaha untuk tidak peduli. Toh aku hanya bermimpi. Sekarang aku tahu, mungkin inilah rasa yang ibu sebut dengan ‘panik’. Namun kepanikan ini jauh melebihi kapasitas yang dapat aku terima. Seketika aku meledak dalam tangisan yang sangat hebat. Ayah, ibu dan kedua orang asing itu menatapku yang sedang menangis meraung - raung di atas sofa. Seluruh perhatian mereka terpusat padaku dalam sekejap. Aku terus menangis dan menangis. Aku melihat kedua orang asing itu menghampiriku. Tangisanku semakin menjadi - jadi seiring dengan berkurangnya jarak antara mereka dengan tempat dimana aku berada. Aku tidak tahu harus berbuat apalagi. Anehnya, kali ini ayah dan ibu tidak cukup untuk membuatku merasa aman dan nyaman. Mereka justru membiarkan kedua orang mengerikan itu mendekatiku. Keduanya menjulurkan tangan – tangan mereka, berusaha meraihku. Apa yang harus kulakukan?!? Kemudian aku mendengar mereka bersuara, mengatakan kalimat - kalimat yang membuatku ingin segera pingsan di tempat. “Halo sayaaang! Kamu sudah bangun rupanya.. Jangan menangis lagi ya, mama dan papa sudah mempersiapkan pesta untuk merayakan hari ulang tahunmu yang ke-tiga besok..!” Kata salah seorang dari mereka, seraya tersenyum sambil menyibakkan rambut panjangnya yang ikal. “Papa juga punya hadiah yang sangat spesial untukmu sayang.” Sahut yang pria. “Sekarang kamu harus berhenti menangis ya..” Tambahnya sambil mencium keningku. “Apakah dia sudah dapat mengerti apa yang kita bicarakan pa?” “Sedikit banyak, lama kelamaan ia pasti akan fasih berbicara, ma. Dan juga, kita punya seorang pengasuh yang akan selalu mengajarinya selama kita berada di kantor.” Jawab pasangannya, sambil melepas jas hitamnya yang terlihat mahal. “Ya, kurasa ia sangat menyayangi pengasuhnya, dan bahkan tukang kebun kita juga ya pa?” ....... Di dinding, aku melihat jarum jam yang terpendek sedang menunjukan angka sepuluh. Sepertinya aku memang sudah terbangun dari tidurku sejak tadi.

Aku lihat kamu? Muhammad Iskandar Satriyo Utomo. delapan belas - april - dua ribu dua belas. (Foto oleh: Muhammad Iskandar Satriyo Utomo)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun