Walau bagaimanapun, tidak ada pamor yang benar-benar sempurna. Hambatan itu pasti ada. Namun, guratan seperti apakah yang paling baik dalam menyalurkan tenaga dalam? Cara pembuatan seperti apakah yang terbaik? Sakti dan Sitok ingin mengetahuinya. Membuat pamor yang memiliki hambatan terkecil, itulah yang ingin mereka capai.
"Bukannya kau menitip besi Luwu sama Konda?" tanya Sakti.
"Ya. Besi terbaik se-Nusantara."
"Jadi, kecemasanmu itu tidak beralasan." Sakti bangkit berdiri.
"Itu beli, Neng." Sitok sewot sendiri.
"Setengah... tidak, sepertiga harga." Karena ini pekerjaan bersama untuk membuat pamor yang akan dia pakai, Sakti ikut urunan membeli bahan. Dan dia tahu Konda pun ikut urun, lantaran tiap kali pesanan datang, jumlahnya selalu lebih dari yang seharusnya.
"Kau mau ke mana?" tanya Sitok, melihat Sakti memakai baju, bersiap pergi.
"Biasa," jawab Sakti singkat tanpa perlu menjelaskan lebih lanjut. Kepada ketiga teman dekatnya, dia tidak pernah menyembunyikan jati diri dan segala kegiatannya sebagai prajurit Naga Angin. Ketiganya juga tidak pernah mempermasalah hal itu. Pertemanan mereka tetap berjalan seperti biasa. Malahan tetap padu seperti semasa di tingkat awal, meski kini kegiatan yang berbeda membuat mereka terpisah dan jarang berkumpul.
Sakti melangkah pergi.
Sementara itu, Sitok mengikuti Sakti dengan pandangnya. Terus mengikuti Sakti, yang keluar dari halaman rumahnya, berjalan di jalan desa dan... sesaat sebelum sosok Sakti menghilang dari pandangannya, seseorang mengiringi temannya itu.
Walau hanya sekilas, Sitok tahu orang itu adalah Indraja.