BARA API itu merah terang menyala-nyala. Panas dan terangnya bertambah kala udara menyapu tungku tempatnya berada. Saking panasnya, bilah logam yang ada di atasnya memijar hingga sewarna bara.
Udara terus ditiupkan dari ubub[1]. Orang dibalik alat itu adalah Sakti. Pemuda itu bermandi peluh, baik karena usahanya mengububi maupun panas dari tungku. Yah, panasnya benar-benar tak tertahankan.
Begitu penjepit mengambil bilah logam di dalam tungku, Sakti buru-buru lari menjauhkan diri.
"Woi, jangan kabur!" seru orang yang memegang penjepit yang tak lain adalah Sitok.
"Kau bilang itu yang terakhir untuk hari ini?" Sakti berkilah. Sudah setengah hari ini dia habiskan waktu membantu Sitok.
"Mana bisa pandai bekerja tanpa panjak[2]!"
"Biasanya bisa. Sudahlah kerjakan saja sendiri!"
Dan dentingan palu yang beradu dengan besi berpijar dan beradu lagi dengan paron yang menjawab. Sitok mulai menempa sambil menggerutu. Otot-otot Sitok menegang setiap kali mengayunkan palu besi yang berat. Siapa pun yang melihat otot-otot itu pasti tahu, pemiliknya sudah mengayunkan palu sejak masih belia.
Selama setengah tahun ini Sakti meminta sekaligus membantu Sitok membuatkan keris untuk dirinya. Keris itu untuk menggantikan keris pembagian miliknya yang patah ketika dia pakai dalam latihan. Meskipun sudah membawa Keris Naga Angin, Sakti ingin memiliki pamor yang benar-benar menjadi miliknya sendiri. Pamor yang bisa diselitkan di pinggang tanpa repot-repot disembunyikan. Pamor yang bisa digunakan sewaktu-waktu tanpa perlu risau terbongkar jati diri rahasia yang disandangnya.
Sitok sendiri tidak keberatan membantu Sakti. Sebenarnya dia juga membantu dirinya sendiri. Setelah lulus dari tingkat awal di Perguruan Naga, Sitok mendalami ilmu pandai. Maka dari itu, ketika Sakti mendatanginya, dia dengan senang hati menyambut temannya itu. Apalagi Sakti tidak keberatan menjadi panjak-nya.