Lima belas menit berlalu dan kau masih mondar-mandir di dalam toilet itu. Semua bilik terbuka, tetapi bukan itu tujuanmu. Tak ada yang salah dengan perut atau kantung kemihmu.
Kau menuju wastafel, mencuci muka, untuk ketiga kalinya. Lalu kau mendesah, menyuarakan beban yang membebanimu. Kau tatap cermin yang memantulkan wajah bingungmu. Muncul perasaan geram dalam dirimu. Kegeraman yang membuatmu mengacak-acak rambutmu yang tersisir rapi.
Kau pegang erat pinggiran wastafel. Jantungmu berdebar-debar, napasmu memburu. Sejenak kau palingkan wajah menuju pintu keluar. Jalan yang akan menuntunmu kepada gadis pujaan hatimu yang menunggu di luar sana.
Kau mendesah lagi.
“Oke. Akan kukatakan.”
Kemudian kau cuci muka untuk keempat kalinya, lalu menyisir rambut dengan jari-jari tanganmu. Kau busungkan dada dan melangkah ke pintu keluar.
Tepat di ambang pintu kau berhenti. Ada sesuatu yang baru kau ingat.
Apa yang harus aku katakan? pekik batinmu.
Kau pegangi perutmu. Pura-pura sakit perut agar tidak ada yang curiga padamu yang kembali masuk ke dalam toilet, terutama seorang lelaki yang berjalan menuju ke tempat yang sama. Kau sempurnakan sandiwaramu dengan masuk ke salah satu bilik.
Di dalam bilik kau dengarkan semua: suara langkah kaki yang sedikit terburu-buru, suara air yang memancur, suara kecipak air dari wastafel, dan terakhir, suara langkah kaki menuju pintu keluar. Lalu semua kembali hening. Keheningan yang kau butuhkan untuk berpikir.