Mohon tunggu...
Jannu A. Bordineo
Jannu A. Bordineo Mohon Tunggu... Penulis - Pengarang

Jannu A. Bordineo, lahir di Gersik, sebuah kampung di Kabupaten Penajam Paser Utara yang sering disalah kira dengan salah satu kabupaten di Jawa. Lulusan teknik yang menggandrungi sastra. Mulai menulis cerita sejak ikut lomba mengarang cerpen sewaktu SD. Buku kesukaannya adalah Jiwa Pelaut karya Moerwanto. Temui dia di kedalaman hutan atau di keluasan lautan, karena dia pendamba ketenangan. http://www.lautankata.com/ fb.com/bordineo IG: @bordineo.id

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[KC] Di dalam Toilet

2 Oktober 2015   13:36 Diperbarui: 2 Oktober 2015   14:58 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Jannu A. Bordineo, No.112

Lima belas menit berlalu dan kau masih mondar-mandir di dalam toilet itu. Semua bilik terbuka, tetapi bukan itu tujuanmu. Tak ada yang salah dengan perut atau kantung kemihmu.

Kau menuju wastafel, mencuci muka, untuk ketiga kalinya. Lalu kau mendesah, menyuarakan beban yang membebanimu. Kau tatap cermin yang memantulkan wajah bingungmu. Muncul perasaan geram dalam dirimu. Kegeraman yang membuatmu mengacak-acak rambutmu yang tersisir rapi.

Kau pegang erat pinggiran wastafel. Jantungmu berdebar-debar, napasmu memburu. Sejenak kau palingkan wajah menuju pintu keluar. Jalan yang akan menuntunmu kepada gadis pujaan hatimu yang menunggu di luar sana.

Kau mendesah lagi.

“Oke. Akan kukatakan.”

Kemudian kau cuci muka untuk keempat kalinya, lalu menyisir rambut dengan jari-jari tanganmu. Kau busungkan dada dan melangkah ke pintu keluar.

Tepat di ambang pintu kau berhenti. Ada sesuatu yang baru kau ingat.

Apa yang harus aku katakan? pekik batinmu.

Kau pegangi perutmu. Pura-pura sakit perut agar tidak ada yang curiga padamu yang kembali masuk ke dalam toilet, terutama seorang lelaki yang berjalan menuju ke tempat yang sama. Kau sempurnakan sandiwaramu dengan masuk ke salah satu bilik.

Di dalam bilik kau dengarkan semua: suara langkah kaki yang sedikit terburu-buru, suara air yang memancur, suara kecipak air dari wastafel, dan terakhir, suara langkah kaki menuju pintu keluar. Lalu semua kembali hening. Keheningan yang kau butuhkan untuk berpikir.

Sekarang otakmu bekerja keras menyusun kata-kata.

Dinda, aku suka kamu. Maukah kamu jadi pacarku?

Tidak, tidak. Itu terlalu biasa. Kau mengerang dan memukul-mukul kepalamu, memaksa otakmu untuk bekerja lebih keras lagi. Namun tetap saja tidak ada kata-kata lain yang tebersit di benakmu.

Kau maki dirimu sendiri, yang sering mengaku sebagai penulis, yang telah menulis berpuluh puisi dan cerita, yang begitu royal menelurkan kata-kata, tetapi tak bisa menemukan kata yang tepat untuk menyatakan cinta.

Kau tangkupkan kedua tapak tangan ke muka. Kau diam dan membiarkan dirimu tenggelam dalam keheningan. Cukup lama. Akhirnya kau putuskan untuk pasrah, menyuarakan apa pun kata yang kau punya.

Kau keluar dari bilik pertapaanmu, lalu berjalan menuju wastafel. Kau rapikan rambut dan pakaianmu. Kali ini kau tidak mencuci muka.

Kau keluar dari toilet, berjalan menuju mejamu dan… kosong.

Kau tercenung menatap dua piring di meja itu. Satu piring tandas isinya, satunya lagi tinggal setengah—piringmu.

Ponselmu di dalam celana tiba-tiba bergetar. Kau lihat ada pesan masuk. Dari pujaan hatimu.

“Ngajak makan, kok malah ditinggal cari wangsit.”

Kau belum sempat membalas dan tidak tahu harus membalas seperti apa tatkala pesan berikutnya masuk.

“Aku tahu kamu mau mengatakan itu.”

Kali ini kau tahu harus membalas apa. “Jadi….”

“Katakan dulu.”

Niatmu memang sudah terbaca, membuat tingkah lakumu tampak konyol, tetapi kau tak mau mengatakannya lewat pesan singkat. Kau ingin mengatakannya langsung demi menjaga harga dirimu, harga diri seorang pejantan tulen. Dan pujaan hatimu lagi-lagi tahu keinginanmu.

“Aku di luar.”

Kau melihat ke luar, mendapati bidadarimu yang tak bersayap tengah berdiri di pelataran, menyunggingkan senyum manisnya kepadamu. Senyuman yang menarikmu untuk mendekatinya, membuatmu ingin selalu dekat dengannya.

Kau melangkah ke luar. Jarakmu dengannya tinggal dua-tiga langkah saat seorang gadis asing menghalangi jalanmu, berdiri tepat di antara kau dan dia.

“Eh, mas, tagihannya.”

Pujaan hatimu tertawa, kau juga tertawa. Dan kau pun sadar, adakalanya kata-kata tidak diperlukan untuk mengungkapkan rasa, karena seribu kata pun tak cukup untuk menyatakan cinta.

 

 

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun