Sekarang otakmu bekerja keras menyusun kata-kata.
Dinda, aku suka kamu. Maukah kamu jadi pacarku?
Tidak, tidak. Itu terlalu biasa. Kau mengerang dan memukul-mukul kepalamu, memaksa otakmu untuk bekerja lebih keras lagi. Namun tetap saja tidak ada kata-kata lain yang tebersit di benakmu.
Kau maki dirimu sendiri, yang sering mengaku sebagai penulis, yang telah menulis berpuluh puisi dan cerita, yang begitu royal menelurkan kata-kata, tetapi tak bisa menemukan kata yang tepat untuk menyatakan cinta.
Kau tangkupkan kedua tapak tangan ke muka. Kau diam dan membiarkan dirimu tenggelam dalam keheningan. Cukup lama. Akhirnya kau putuskan untuk pasrah, menyuarakan apa pun kata yang kau punya.
Kau keluar dari bilik pertapaanmu, lalu berjalan menuju wastafel. Kau rapikan rambut dan pakaianmu. Kali ini kau tidak mencuci muka.
Kau keluar dari toilet, berjalan menuju mejamu dan… kosong.
Kau tercenung menatap dua piring di meja itu. Satu piring tandas isinya, satunya lagi tinggal setengah—piringmu.
Ponselmu di dalam celana tiba-tiba bergetar. Kau lihat ada pesan masuk. Dari pujaan hatimu.
“Ngajak makan, kok malah ditinggal cari wangsit.”
Kau belum sempat membalas dan tidak tahu harus membalas seperti apa tatkala pesan berikutnya masuk.