“Masih sempat,” begitu kata Bapak setelah melihat layar ponsel bututnya yang terbungkus plastik. “Habis makan baru kita angkat pancing rawenya.”
Yah, bulan Ramadan tidaklah menjadi penghalang bagi seorang nelayan seperti Bapak untuk terus melaut, meski itu berarti harus sering berbuka dan sahur sendirian. Dan sebagai anak yang baik, libur Ramadan dan hari raya adalah kesempatanku menemani dan membantu Bapak di laut.
Bapak membuka bekal kami yang menjadi satu. Makan sahur kami adalah makanan yang sama untuk berbuka yang dibawa dari rumah. Sederhana dan seadanya, memang. Tetapi aku berani jamin, ikan goreng dan sambal dan nasi yang kami miliki ini jauh lebih enak daripada masakan chef-chef penghambur bahan makanan yang banyak berseliweran di tv. Kombinasi rasa lelah, serta suasana alam yang sejuk dan tenang menghadirkan kenikmatan yang luar biasa pada makanan sederhana kami.
Perahu oleng saat aku mencondongkan tubuh ke salah satu sisi perahu untuk mencuci tangan dengan air laut. Aku makan dengan tetap mempertahankan sarung yang menyelimuti hampir sekujur tubuhku.
Kami makan dalam diam, selain karena memang tidak ada yang perlu dibicarakan juga karena dinginnya udara menjelang pagi. Bapak selesai lebih dahulu, lalu minum air putih dan dilanjut dengan menenggak kopinya yang sudah dingin. Kopi yang sama untuk berbuka tentunya.
Aku sudah selesai makan dan sedang mencuci wadah makanan saat Bapak mengambil bungkusan plastik tempat ponselnya berada. Pasti hendak mengambil rokok, karena rokok termasuk barang yang dimasukkan ke dalam bungkusan itu untuk menjauhkannya dari air.
Bapak sempat melihat kembali layar ponselnya dan langsung menceletuk, “Loh, sudah jam lima lewat!”
Aku langsung menghentikan kegiatanku. “Tadi bilangnya masih sempat?”
“Bapak kira tadi masih jam empat lewat?”
“Kira?”
“Namanya juga melihat dengan mata masih mengantuk.” Bapak nyengir.
“Lha terus kayak mana ini?” Jam lima lewat berarti sudah masuk waktu Subuh, dan aku belum minum. Seret!
“Terserah. Mau tetap puasa atau tidak.” Bapak nyengir makin lebar, walaupun sebenarnya tidak merokok setelah makan membuatnya merasa ada yang kurang—seperti dipukuli penjajah belanda tapi tidak membalas, begitu ungkapan yang sering Bapak gunakan.
Mau tak mau, aku menenggak air minum di botol, dan memosisikan diriku sebagai orang yang tidak tahu. “Biarlah Tuhan yang menentukan, puasaku ini dihitung atau tidak,” kataku pura-pura memelas yang membuat Bapak nyengir lebih lebar lagi.
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community | Silakan bergabung di group FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H