“Lha terus kayak mana ini?” Jam lima lewat berarti sudah masuk waktu Subuh, dan aku belum minum. Seret!
“Terserah. Mau tetap puasa atau tidak.” Bapak nyengir makin lebar, walaupun sebenarnya tidak merokok setelah makan membuatnya merasa ada yang kurang—seperti dipukuli penjajah belanda tapi tidak membalas, begitu ungkapan yang sering Bapak gunakan.
Mau tak mau, aku menenggak air minum di botol, dan memosisikan diriku sebagai orang yang tidak tahu. “Biarlah Tuhan yang menentukan, puasaku ini dihitung atau tidak,” kataku pura-pura memelas yang membuat Bapak nyengir lebih lebar lagi.
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community | Silakan bergabung di group FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H