"Ah anu kang, eh tapi jangan bilang siapa-siapa ya kang? Janji?"
"Ah kayak sinetron aja kau ni Jip, ho oh lah, okelah, pa an?"
"Anu kang, aye mimpi nungguin abah di ruang ICU sebuah rumah sakit kang, dan mimpinye ntu udah delapan hari berturut-turut kang..."
"Astaga?"
"Iye kang"
"Abahmu kan gak pernah dirawat di ICU Jip?"
"Iye kang"
Kang Joni melengos. Hemhh gimana ya? Apa musti gue bilang ke Najip, kalau gue juga punya mimpi yang aneh tentang abahnya? Kang Joni menggumam, melihat kejauhan agar Najip tak melihat wajahnya yang mendadak menjadi pucat, seperti kapas yang baru saja dibuka dari wadahnya.
"Duh pak bos, saya minta tolong ya, ambil nih, ambil saya, tapi langsung saja, gak usah pake sakit yang lama, langsung aja,"
"Enak saja, lu tuh manusia, kudu nurut sama gue, yang notabene tukang jemput nyawa!"
"Tapi pak bos, nanti biaya perawatan saya kan jadi banyak, trus ujung-ujungnya juga kamu jemput?"
"Ya itu urusan lu manusia, sama uang sama harta, gue mah gak da urusan sama itu!"
"Plis bos..."
"Bos.."
"Bos..."
"Kang!"
"Kang!"
"Kang Joni!"
"Halo?"
"Eh?" kang joni kaget, sadar dari lamunannya. Otaknya masih acak kadut. Di depannya nampak Najip yang mulutnya sedang komat-kamit, entah omong apa. Badannya makin lama makin terasa berguncang-guncang, sepertinya si najip mencoba membawanya ke alam sadar, duh!
"Kang!"
"Kang Joni!"
"Halo?"
Kalau saja ada tawar menawar, pasti abahnya Najip lebih memilih untuk diambil langsung tanpa perlu lama sakit, membikin repot anggota keluarga, dan yang paling penting, tidak menghabiskan banyak uang... karena memang tak ada uang!
"Uang?"
"Uang apa kang?"
"Kang?"
"Eh Jip, anu Jip, uangnya anu"
"Hadeh kang Joni ni malah bikin aye jadi setres aje"
Najip melihat kang Joni dengan perasaan bersalah. Mungkinkan curhatannya membuat si akang jadi setres? Dipijitnya punggung akangnya sambil menggumamkan lelaguan desa supaya akangnya jadi normal kembali. Duh, berdosanya aku! seru Najip lirih.
"Kang?"
"Iya Jip"
"Maafin aye ya kang?"
"Ah enggak pa pa kok Jip, akang udah rela abah pergi"
"Iya Kang"
"Cuma..."
"Cuma apa kang?"
"Cuma... abah kan perginya mendadak Jip, mungkinkah abah bikin perjanjian sama si anu, asal bisa pergi langsung gitu.. trus jiwanya boleh diambil jadi budaknya si anu Jip?"
"Hah? Kang, akang omong apa sih? Kok serem amat?"
"Kang?"
"Kang?"
"Kang? Si anu tuh maksud akang, si setan kah?"
"Kang?"
"Kang?"
Angin tiba-tiba berhembus keras, daun jendela berbunyi keras akibat terhempas dengan keras. Sebuah potret di tembok reot mengayun kekiri, membuatnya menjadi miring. Potret abah yang sedang tersenyum dengan polos...
"Tak perlu keluar uang banyak Jip! Abah bisa bebas langsung pergi, jangan pikir yang macam-macam, pikirkan saja masa depanmu!"
"Abah?" Najip terkejut, seperti mendengar abahnya berbicara padanya, walau hanya terdengar pelan,
"Abah?"
"Abah?"
"Kang?"
"Kang?"
"Kang? Abah kenapa kang?"
.
.
"Kurindu duduk di rumahmu o cakrawala, di sana ku kan bercengkrama dengan senja.. bergurau pada malam, dan menangis pada bintang.
Kurindu berlama-lama di rumahmu o cakrawala, di sana ku tak harus bertemu muka dengan malam, menanti sang bulan, dan kehilangan tujuan...."
.
.
.
.
.
Jogja, Juli 2024
miss sukarti dimejo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H