"Ssst!"
"Ssst!"
"iyaaahh..."
Iya, iya, iya sayang, gumamku pelan-pelan, takut buat keriuhan yang bisa berujung pecah keributan. Seperti beberapa waktu yang lalu, saat indah mata coklatnya menyiratkan cinta, namun tak berapa lama kemudian jadi makian penuh kekerasan,
"Anjir!"
"Anjir! Sacilad! Pabu!"
"Anjing kali sayang?"
"Diam kau anjir!"
Prang! Dua piring besar pecah berantakan di ujung ruangan. Keras bunyinya buatku terjongkok diam hingga tanpa sadar basah pula diantara paha besar, aku ngompol!
"Ssst!"
Aduh, seperti sebuah sembilu kata itu gumamku. Boleh dibilang aku sisofrenia bila dengar kata itu: sst, sst, sst, lalu sepihan demi serpihan beterbangan seperti perang dunia ke 3 yang belum datang (jangan datang). Tapi... di ujung peristiwa-peristiwa itu selalu saja kulihat telunjuk di bibir yang manis, yang mempunyai background wajah manis dengan mata coklat bulat indah, tanpa sebutir kata keluar, yang buat takjub, heran, sejuk, dan merindukan.
"Pagi"
"Pagi," balasku suka. Duh duh duh, gumamku sambil menahan denyut jantung yang kencang tak terkira. Untung celanaku masih kering, tidak ngompol! Seperti biasanya, bila teringat kata: ssst! Ssst! Yang biasanya terdengar di subuh menjelang pagi, dekat kamar, pojok selasar, gang delapan.Â
"Lihat cara jalannya!" Kataku pada seekor kucing jantan, indah bukan? Gemulai tangannya oh,
"Meong"
"Apa? Kau suka juga? Apanya? Jemarinya, kakinya, suaranya?" selidikku penuh cemburu.
"Meong"
"Nah, meong, meong aja, aku ya ndak tau artinya tho!" kesal kutepuk kepala kucing jantan tanpa tahu akibat yang terjadi kemudian,
"Ssst!"
Aduh
"Ssst!"
Aduhh, aku ngompol!
                                                                        ***
Srek srek, Andi menutup catatan harian yang selalu buatnya tersenyum geli, lalu tertawa tiba-tiba, kemudian biasanya diikuti keinginan kuat untuk menangis, meneteskan banyak air mata. Sebuah buku catatan dengan nama pemilik yang ditulis dengan ukuran besar, "Jon saja".
"Istirahat yang damai ya Jon..." Andi mengelus batu nisan sang teman, lulusan Sastra yang meninggal di rumah sakit jiwa dengan bahagia, sebab selalu bertemu dengan si manis yang jari telunjuknya selalu di bibir saat menghantar makan, entah pagi, siang, atau malam.
.
.
.
jangan biarkan aku menjadi pagi...
karena aku seorang penyendiri.
Jangan biarkan aku mengikat benang mimpi,
karena sebuah sembilu akan menginap di hati.
Jangan biarkan aku mengukir indahnya pagi,
karena kau telah mengetahui rahasia ini.
Beri saja aku waktu, untuk duduk sendiri di ujung malam,
agar ku dapat menghitung bintang dan menyelimuti kebisuan....
.
.
.
.
.
2.49 pagi, akhir Agustus 2023
sukar tidimejo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H