Mohon tunggu...
Anjani Eki
Anjani Eki Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Fiksi

Penikmat Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bias Rindu Tak Lagi Sama

7 Agustus 2017   09:35 Diperbarui: 8 Agustus 2017   00:47 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: nytimes.com

Perawat setengah berlari membawa tabung oksigen. Dokter Mei berlari di belakangnya sambil menelepon sopir ambulans. Di depan ruangan Pram, rekan kerjanya berdatangan. Pram dibawa ke rumah sakit. Lelaki itu  berada di atas bed, tidak sadarkan diri.

Gadis itu duduk di samping Pram. Mengamati parcel yang dikirim ke kamarnya. "Untuk Dokter Pramana Dito, semoga lekas sembuh." Dipandangi wajah yang dikagumi banyak perempuan itu.

Kalau bukan karena bujukan Dokter Mei, gadis itu tidak sudi menjaga Pram. Dokter Mei menyarankan untuk mengajak Pram mengobrol agar lelaki itu cepat sadar.

Mungkin karena omelan gadis itu Pram kembali ke dunia. Matanya terbuka dan menatap gadis itu. Bukan senyuman yang didapat. Gadis itu melotot dan wajahnya mendekat.

"Dokter nyenyak banget tidurnya!"

Pram tersenyum tipis.  

"Maaf." Ucapnya lirih.

Pram yang baru bangun dari tidurnya tersipu melihat gadisnya itu. Seperti rencananya gadis itu pasti merawatnya. Walaupun sikapnya berubah menjadi galak. Tak apalah pikir Pram. Yang paling penting, setia.

Lelaki itu senyum-senyum melihat gadisnya merapikan ruangan dan menyiapkan makanan.

"Kamu kelihatan beda." Gadis itu hanya melengos. Mengambil piring. Gadis itu maklum, mata pasien yang baru sadar memang tidak tajam. Mungkin masih samar.

Gadis itu meletakkan meja kecil di beddan mengantarkan nampan berisi makanan. Dia  kembali duduk di samping Pram. Mengupas apel dan memakannya dengan jengkel.

"Pasti kamu habiskan makanan disini." Pram menatap gadisnya. Perempun itu balik menatapnya tajam. Tanpa senyum dan mengunyah potongan apel dengan kecepatan tinggi.

"Masalah?"

"Enggakkk." Pram menjawab sambil mengunyah makanan.

"Kamu gendutan ya." Pram melanjutkan sambil senyum-senyum.

"Saya hamil!"

Pram gagal menelan makanan. Dia terbatuk dan makanan berhamburan keluar. Gadis itu memberikan botol air satu setengah liter. Pram menyambar dan meminumnya sambil melotot ke arah perut gadis itu. Setelah kagetnya reda dia melanjutkan.

"Bukan anak saya kan?"

Gadis itu mengambil apel kedua dan mengarahkan pisau ke wajah Pram.

"Dokter pikir, saya ikutan koma dan kita nikah di dunia lain?"

"Pede banget kalau saya..."

"Makanya kalau punya HP password-nya jangan pake nama saya dong." Gadis itu menunjukkan ponsel miliknya.

Wajah Pram memerah. Dia tidak bisa mengelak lagi. Gadis itu telah membaca semua notesyang berisi tentang dirinya dalam ponsel. Bodoh.

Hilang sudah selera makannya. Digesernya meja kecil di bed. Pram turun dari ranjang dan  berjalan menuju jendela. Dia merasa pengorbanan yang dilakukan sia-sia belaka.

"Ceraikan suami kamu!"

Gadis itu berdiri dari kursi, berjalan mendekat dan menatap Pram.

"Salah sendiri koma sampai tujuh bulan?"

"Saya akan bicara baik-baik dengan suami kamu."

"Merebut istri orang ga pernah baik Dok."

 "Saya yang duluan ketemu kamu."

"Namun pilih diam."

"Keadaannya tidak seperti yang kamu kira."

"Terus bunuh diri supaya saya kasihan?"

Tidak ada perempuan yang mau dijadikan pelarian. Sikap Pram membuat dirinya marah. Bukan gengsi. Tapi perempuan suka ditaklukkan. Bukan ribuan puisi berisi pemujaan  dirinya. Perempuan yang suka digombali cuma perempuan labil. Perempuan yang baru mengganti seragam putih abu-abu.

Dan tentu, gadis itu tidak akan masuk dalam hubungan orang lain. Pram yang bermain api. Setiap hubungan baik harus dimulai dengan cara yang baik. Dan satu lagi, tidak ada kasih yang tak sampai. Jodoh sebuah ketetapan. Betapun dia ingin lari atau membenci.

Maka ketika seorang lelaki datang menghadap orang tuanya, gadis itu menerimanya. Meninggalkan Pram yang hidup dalam dunianya sendiri.

Pram tak sanggup menolak pilihan ibunya. Hari besar itu tak mungkin batal. Mana bisa dia mencoreng nama baik ayahnya yang seorang tetua adat. Pesta megah telah disiapkan tanpa dia tahu.

Dua minggu sebelum pernikahan itu, Pram menyuntikkan senyawa yang membuatnya serangan jantung. Perempuan pilihan ibunya itu akhirnya menyerah setelah sebulan merawatnya. Undangan berwarna merah datang di bulan ketiga Pram belum sadarkan diri.

Pram seharusnya mengikuti kata hati. Sikap diamnya dibayar mahal. Dia kehilangan gadis itu. Dan melewatkan kehidupan yang terus berjalan.

Hidup bukan lotre. Omong kosong soal cinta. Bias rindu itu tak lagi sama. Entah kemana ia akan bermuara. Lelaki yang memiliki gadisnya beruntung. Jodoh sebuah ketetapan. Mungkin memang alam tidak memberikan kesempatan. Entahlah.

Gadis itu mendekati pintu dan bersiap keluar dari kamar Pram. Gadis itu menghela napas panjang dan memandang ke arah Pram.

"Suami saya meninggal tiga bulan lalu."

Pram tersenyum penuh kemenangan.

*Anjani Eki

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun