Pernah suatu kali, Sumi khawatir. Jika perempuan telat menikah. Nanti rahimnya kering. Tidak bisa hamil. Anak gadisnya hanya tersenyum lalu menjawab santai. Selama perempuan datang bulan rutin. Insha Allah tidak ada masalah. Lagi pula sekarang ada bayi tabung. Harganya tidak mahal. Seharga DP Mobil Karimun.
Sumi hanya perempuan tamat SD. Semakin sulit memahami jalan pikiran Marni. Dia merasa Marni salah makan. Karena pikirannya tidak bisa ditebak. Apalagi bayi tabung. Kedua matanya hanya menatap tabung gas elpiji tiga kilo. Warnanya hijau. Apa warna bayinya juga begitu. Lemas tubuhnya.
Suara ponsel mengagetkan dirinya. Buru-buru dijawab telepon dari anak gadisnya.
***
Malam ini Sumi mengenakan kebaya terbaik. Wajahnya sumringah. Senyum menawan dan anggun. Dia mengajukan diri untuk membawa tumpeng. Di ujungnya berdiri bendera merah putih mini.
Malam 17 Agustus. Hatinya merdeka. Merah putih berkibar di dadanya. Dibawanya tumpeng itu menuju meja dekat podium. Tempat Pak RT akan memberi sambutan. Melewati anak-anak kecil yang berbaris rapih. Memegang bendera kecil merah putih di kedua tangan. Hati Sumi mengharu biru.
Perempuan itu diijinkan Pak RT untuk naik ke podium. Memberi kabar kepada seluruh warga RT sebelas bahwa Marni akan segera pulang. Anak gadisnya telah lulus kuliah. Dan akan segera dilamar oleh laki-laki dari negeri Jiran. Calon menantunya adalah teman kuliah Marni. Dan yang lebih membanggakan. Calon menantunya adalah mantan sopir penyanyi terkenal di Malaysia. Hati Sumi tiba-tiba berdendang.
Hendaklah hendak hendak ku rasa Ahai Sayang
Puncaknya gunung Hendak di Tawan
Tidaklah tidak tidak Ku daya Ahai Sayang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H