Mementingkan diri sendiri daripada orang lain.
Kawan, kali ini aku akan menceritakan sebuah kisah. Entahlah, coba kalian yang mengungkapnya apakah ini termasuk dalam kategori egois atau bukan. Ya, kisah yang kuceritakan padamu kali ini adalah sebuah kisah nyata yang aku sendiri menjadi saksi matanya.
Dia teman baikku. Namanya Ika. Dia memiliki beberapa orang saudara. Benar, ia berasal dari keluarga yang mampu. Sewaktu kami masih kecil, masih lekat dalam ingatanku tiap kali ia menengadahkan tangan meminta sesuatu kepada ibunya, ibunya tak pernah menolak. Pernah suatu kali ia merengek, tak mau makan dan menangis sekencang-kencangnya meminta dibelikan sebuah anting berbentukMickey Mouse, tokoh kartun kesukaannya, ibunya sampai tiga kali bolak-balik dari rumahnya yang berjarak lumayan jauh dari toko emas.
Selalu seperti itu. Ika adalah anak manja yang selalu meminta sesuatu yang sesuai keinginannya dan hal itu harus segera diwujudkan. Meski begitu, orang tuanya tak pernah menolak karena mereka cukup berada. Saking sayangnya kepada semua anak-anaknya, orang tua Ika sangat memanjakan anak-anak mereka dengan materi, namun minim kasih sayang.
Kemanjaan tersebut berlanjut hingga Ika duduk dibangku kelas 3 SD. Krisis moneter berdampak buruk bagi keluarganya. Banyak harta dari orang tua Ika habis karena harus mengalami kerugian yang cukup besar. Namun, untuk Ika dan saudara-saudaranya, hal tersebut sangat disembunyikan oleh kedua orang tua mereka. Perkataan ibunya yang awalnya seperti, “Iya, ibu belikan sekarang.” Berubah menjadi, “Ibu akan belikan jika sudah ada uang, ya?”
Benar-benar terbalik.
Aku selalu menyertai kawanku ini. Ia setidaknya tak pernah menutupi semua masalah pada dirinya terhadapku. Ia tahu, ia selalu berbohong pada orang lain tentang perasaannya yang sesungguhnya, namun padaku ia mampu mengatakannya dengan jujur beserta alasan ia melakukannya.
Ya. Ika berubah tepat saat ia SMP.
Jarak memisahkan kami, namun komunikasi kami tetap berjalan.
Ika berubah menjadi anak yang tak banyak mau dan suka memendam perasaannya. Satu hal yang ia dapat lakukan hanya diam dan menunggu. Ia diam dan berusaha merelakan semuanya. Ia diam dan berusaha melapangkan dadanya. Ia diam dan berusaha menerima semua yang diberikan untuknya dan bersyukur akan semua yang ia miliki kini.
Ia benar-benar bermetamorfosis menjadi sebuah pribadi baru.
Ika memiliki beberapa orang saudara. Namun, bisa dikatakan hanya ia yang ‘berbeda’ dari semua saudaranya. Ia lebih menutup diri, meski sebenarnya ia pribadi yang mudah berteman dengan siapa saja. Ia cenderung menghabiskan waktunya membaca daripada menonton televisi. Ia juga tak banyak ‘gaya’ daripada semua saudaranya. Ia memiliki selera yang tak pernah berubah. Ia tak suka mengikuti gaya teman-teman sebayanya dalam urusan hidup.
Mengapa demikian?
Ia berusaha menekan keinginannya. Menekan kemauan dirinya yang sebenarnya banyak, namun tak mau ia perturutkan. Ia sebisa mungkin selalu berusaha menyukuri apa yang ia miliki, meski kadang ia lelah dan butuh teman untuk membagi masalahnya. Meski begitu, setelah mempercayakan bagian mozaik dirinya kepada orang yang ia percayai, serta merta dirinya akan kembali seperti semula. Menjadi biasa. Mampu tersenyum dan kembali berusaha memangkas nafsu keinginannya.
Ia berubah setelah melihat realita salah seorang saudaranya.
Ia memiliki saudara yang kini telah berkeluarga, namun bisa dikatakan masih menyusahkan orang tuanya. Setiap kali ia diberi modal usaha, tak lama kemudian modal tersebut habis. Uang yang ia habiskan bukan hitungan ratusan ribu atau puluhan juta, namun ratusan juta. Benar. Sebuah nominal yang mampu mencekik leher keluarga Ika. Ika benar-benar takut hal itu terjadi pada dirinya. Ia takut menjadi beban untuk kedua orang tuanya. Baginya, sudah cukup ia menjadi anak manja dan keras kepala saat ia masih kecil. Ia tak mau membuat orang tuanya yang kian hari semakin renta, kian merasa berat untuk bernapas. Padahal, setiap orang tua selalu mengharap ketenangan dihari tua mereka, bukan menjadi mesin uang yang siap diperas.
Ia tahu betul siapa dirinya kini. Meski terkadang ia terpikat dan hampir-hampir terjerumus kembali, ia membawa nurani bersamanya. Ia benar tak tega melihat hal itu terulang. Ia tak mau membiasakan dirinya menjadi anak yang suka merengek dan manja seperti dulu. Setidaknya ia mampu bertahan dan terlihat kuat dihadapan orang-orang. Terkadang, ia memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang diminta orang lain untuk dilakukan olehnya. Ia jarang dan tak tahu mengatakan kata “Tidak”
Ika adalah anak yang lemah. Sejak kecil dia selalu sakit. Pernah suatu kali ia bolos sekolah selama sebulan lebih karena sakit. Kalian tahu, kawan? Ika memang sakit dan sering mondar-mandir ke rumah sakit seorang diri. Ia selalu menyembunyikan sakit yang ia rasa. Ia selalu menolak masuk ruang periksa jika ada yang menemani. Seringkali aku mendapati bungkusan obatnya berserakan didalam tasnya atau yang paling parah ditempat sampah tanpa ia minum. Bahkan ayahnya sendiri tak tahu bahwa Ika sakit. Ibunya baru mengetahui Ika sakit saat Ika telah sembuh. Ika berbuat demikian karena ia juga tahu ibunya sakit. Ia tak mau ibunya menjaganya sama seperti saat ia kecil dulu dan hal tersebut membuat ibunya semakin sakit. Ia berpikir, ia jauh lebih muda dan lebih kuat dibanding ibunya.
Dialah Ika, teman dekatku yang seringkali dihujat sebagai anak pendiam dan tak mampu menunjukkan apa yang ia inginkan atau sekedar menunjukkan rasa sayang yang ia berikan. Ia adalah Ika, teman dekatku yang pernah dikatakan egois karena tak mau menunjukkan apa yang ia rasakan dan ia pikirkan.
Dialah Ika yang hanya mampu diam karena kekerasan kepalanya. Ia menerima semuanya dan berusaha berlapang dada. Karena ia tahu, harta dunia akan hilang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H