Mohon tunggu...
Hildi Febriana
Hildi Febriana Mohon Tunggu... -

I know nothing about art, but I know what I like☺

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ayah dalam Kenanganku

2 Mei 2012   03:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:51 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini aku memutuskan untuk mampir ke bengkel sebelum berangkat kerja untuk membetulkan gigi di sepeda motorku yang agak sulit untuk dipijak gara-gara kecelakaan kemarin.

“Ah, aku mampir ke bengkel ayah aja kali ya, mumpung satu arah ini…”, ujarku dalam hati.

Sudah beberapa waktu ini aku tidak pernah bertemu dengan ayah. Beberapa tahun lalu pernikahan orangtuaku kandas di tengah jalan, dan aku beserta adikku memutuskan untuk tinggal bersama ibu. Sekarang ayah bekerja di bengkel kecil milik salah satu temannya. Ayahku memang hanya seorang lulusan SMA, tetapi ia cerdas dan berwawasan luas. Satu-satunya alasan ia tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, hanya karena keterbatasan biaya.

Jadilah aku berangkat lebih pagi dengan harapan tidak terlambat sampai kantor.

“Bang, aku mau benerin gigi motornya dong, kemarin bekas jatoh terus agak susah diinjek gini..”, ujarku sesampainya di bengkel.

Sambil celingak-celinguk, aku mencari sosok ayahku yang tak kunjung juga menampakkan dirinya. Aku lupa, apakah orang-orang disini tau kalau aku adalah anak ayah atau tidak, karena seingatku aku belum pernah mengunjungi ayah di bengkel ini.

“Berapa lama mas, ngerjainnya? Soalnya aku harus buru-buru ke kantor nih..”

“Dilihat dulu ya, dek. Mudah-mudahan yang rusak cuma giginya aja, jadi gak lama benerinnya..”, ujar abang di bengkel, yang aku pun tidak mengenalinya.

Beberapa menit kemudian abang itu masuk kedalam bengkel yang juga dijadikan rumah oleh mereka, para tukang bengkel yang lain. Tahu ruko bertingkat dipinggir jalan, bukan? Nah, seperti itu penampakkan bengkel ini, sepertinya lantai atas ruko ini dijadikan tempat tinggal oleh mereka. Kemungkinan ayahku juga tinggal disitu.

Beberapa waktu kemudian, abang tukang bengkel dan satu orang temannya keluar dari dalam. Jantungku berdebar cepat seiring mataku mulai melihat sepintas sosok orang itu dan otakku mulai mengenali dirinya. Ia pun tidak bisa menyembunyikan kekagetannya sewaktu melihat sosok diriku, anak perempuan satu-satunya yang berdiri di depan pintu. Sempat tersirat raut muka ingin tahunya mengapa aku sampai bisa mengalami kecelakaan, menutupi rasa khawatirnya terhadap keadaanku saat ini. Memang hanya beberapa luka kecil di tangan, punggung dan kaki yang aku dapatkan dari kecelakaan kemarin. Tapi, tak sepatah katapun yang keluar dari mulut laki-laki paruh baya itu.

“Terus apa aja nih yang rusak jadinya? Gak lama kan benerinnya?”, ucapku sambil terus menegaskan bahwa aku memiliki keterbatasan waktu pagi ini.

“Tinggal di panasin aja giginya, trus paling setel velg karena agak goyang nih..”, ujar ayahku.

Beberapa menit kemudian, masih dengan perang dingin di antara kami, pikiranku menerawang jauh ke masa-masa ketika aku, ibu, ayah dan adikku masih tinggal di atap yang sama, masih dengan status keluarga. Aku termasuk tipe orang yang dingin hati —sama persis seperti ayahku—yang sama sekali tidak pernah menunjukkan kasih sayang ataupun perhatian terhadap orang lain. Jauh di lubuk hati yang terdalam aku peduli, aku sayang dengan orang-orang di sekelilingku, tetapi rasanya aneh apabila aku harus menunjukkannya lewat tindakan atau kata-kata. Seharusnya mereka bisa merasakan kalau aku sebenarnya peduli. Aku memang aneh. Iri rasanya setiap melihat tayangan televisi, baik film maupun iklan, yang menunjukkan satu keluarga yang saling menyayangi, terlihat dari betapa perhatiannya mereka satu sama lain, tidak canggung untuk ngobrol serius atau sharing hal-hal remeh temeh atau bahkan dengan mudahnya mengucapkan, “Aku sayang ayah dan ibu”. Suatu kemewahan yang sederhana bagiku. Aku tidak mau menyalahkan pola didik orangtuaku selama ini, tapi memang ada beberapa orang yang bisa lebih terbuka dengan sahabatnya atau bahkan orang lain daripada keluarga mereka sendiri.

“Tunggu bentar ya kak, soalnya lagi di setting dulu velgnya, gak begitu lama kok..”

Deg. Jantungku serasa berhenti untuk se-per-sekian detik. Ayahku masih memanggilku dengan panggilan “kakak” seperti panggilan dulu dirumah kami.

“Oh yaudah, tapi cepetan aja soalnya udah mau jalan ke kantor nih..”, balasku, tanpa memanggilnya ayah.

Aku tahu aku salah. Aku tahu tidak ada yang namanya bekas anak maupun orangtua. Tapi, kenangan masa laluku yang pahit seolah-olah membatasai diriku agar bisa kembali akrab.. umm tidak, kami tidak pernah akrab. Untuk setidaknya mengakui ia sebagai ayahku. Orang yang selama belasan tahun mendidikku, menanamkan rasa tanggung jawab terhadap apa yang telah atau akan aku lakukan, memupuk rasa ingin tahuku yang tinggi, atau bahkan sekedar mengingatkanku agar belajar dengan baik. Bahwa pendidikan itu teramat penting. Ia menekankan agar jangan sampai aku mengikuti jejak dirinya. Hanya seorang lulusan SMA yang bahkan tidak mampu untuk membiayai anak-anaknya masuk perguruan tinggi. Mengingatkanku untuk bisa jauh lebih darinya di kemudian hari.

Waktu berjalan begitu cepat pagi ini. Jam di tanganku menunjukkan pukul 07.30 yang berarti aku harus bergegas ke kantor kalau tidak mau terjebak macet yang berkepenjangan apabila kita berangkat agak siang. Tetapi, masih belum ada tanda-tanda motorku sudah selesai diperbaiki oleh ayah. Karena diburu waktu, aku pun mendesak ayah agar segera menyelesaikan pekerjaannya.

“Agak cepet dong, udah telat masuk kantor nih..”, kataku dengan nada agak tinggi.

“Iya sebentar dulu, kamu tuh dari dulu gak sabaran orangnya..”

“Yee lagian orang tadi Cuma mau benerin gigi aja kenapa musti velgnya juga dibenerin sih, bikin lama aja..”, balasku.

“Nanti kalau velgnya gak di setel, bakal goyang motornya kalau ngebut dikit. Nanti jatoh lagi malah..”, ujarnya.

“Udah deh gapapa besok-besok aja benerin velgnya, sekarang pasang dulu lagi soalnya beneran udah telat nih, liat aja udah jam berapa!”, balasku. kali ini dengan nada memerintah agar aku bisa mengejar waktu sampai kantor.

“Kamu tuh ya, dari dulu kalau dibilangin gapernah mau dengerin. Terserah lah!”

Lantas, ayahku memutuskan untuk masuk ke dalam… dan tidak keluar lagi. Walhasil, abang yang pertama kali menangani motorku keluar menemuiku.

“Jadi berapa semuanya, bang?”, tanyaku.

“Gausahlah, gratis. Kamu anaknya pak Hilman kan?”

“Iya, kenapa?”

“Saya nemu buku ini di kamarnya dia, kemarin. Dia sering bertanya-tanya, kenapa anaknya sama sekali gapernah mampir ketemu dia. Walaupun begitu, dia juga sayang lho sama anak-naknya. Ini buku buat kamu aja, karena dia udah gak mau simpen lagi. Hati-hati dijalan, ya.”

Saat itu juga aku buka buku itu. Bentuknya memang seperti buku agenda biasa, tidak terlalu tebal. Aku terperanjat melihat halaman demi halaman buku itu. Ada banyak fotoku disitu, disisipi catatan kaki untuk setiap fotonya. Dari foto bayi, TK, sampai foto-foto masa SMA. Bahkan, ada beberapa foto yang aku tidak ingat. Catatan kaki itu dibuat oleh ayahku. Isinya mengharukan. Begitu bangganya ia, akan putri kecilnya yang sekarang sudah beranjak dewasa. Banyak pujian dilontarkannya, berbeda 180 derajat dengan sikap dinginnnya terhadapku selama ini. Selain foto, ada beberapa tulisan review film yang pernah aku tonton. Selama ini ternyata ayah selalu mengamati film apa saja yang pernah aku tonton, dan diam-diam menontonnya saat aku tidak dirumah. Mengharukan karena ternyata ia begitu perhatian terhadap diriku, bahkan untuk hal-hal kecil seperti film tipe apa yang sedang menjadi kesukaanku. Tak terasa, air mataku jatuh perlahan mengiringi gerakan jariku membuka halaman demi halaman buku milik ayahku.

Selama ini aku salah menilai. Dia sama saja sepertiku. Kami hanya orang yang tidak pandai dalam mengungkapkan apa yang kami rasa. Seperti bercermin, aku menemukan sosok diriku di dalam dirinya. Memang betul kata peribahasa, buah tak jatuh jauh dari pohonnya. Tiba-tiba ada keinginan yang kuat untuk memeluknya. Untuk bilang bahwa selama ini aku salah menilainya. Untuk mengatakan bahwa selama ini ia tidak sendiri. Ia masih punya anak-anak yang sampai kapanpun akan tetap menjadi keturunannya. Yang akan merawat ia di hari tua, yang suatu hari nanti ia bisa bilang dengan bangga di depan teman-temannya, “Mereka anak-anakku..”

Aku memanggil-manggil namanya sembari sesekali melongok ke dalam bengkel, tetapi tidak ada siapa-siapa. Aneh rasanya, karena baru saja abang itu pergi dari hadapanku. Aku memberanikan masuk ke dalam dan sama sekali tidak bisa menemukan mereka. Perasaanku kalut. Ternyata begitu bodohnya aku selama ini. Bodoh karena tidak bisa merasakan cinta yang begitu besar dari orangtuaku. Bodoh karena aku merasa sendirian di dunia yang luas ini, dan berfikir, “There’s no place called home”.

Aku terbangun dari tidurku. Ternyata, semua peristiwa itu hanya mimpi. Aku bingung. Mimpi itu sangat nyata seakan-akan aku memang menjalaninya di dunia nyata. Aku menangis. Belum pernah aku menangis dan terguncang sebegitu besarnya oleh mimpi-mimpi yang selama ini menghiasi tidurku. Padahal tak jarang aku mengalami lucid dream, atau mimpi didalam mimpi. Dimana aku bisa mengatur jalannya mimpiku sendiri. Tapi kali ini aku benar-benar larut dalam adegan demi adegan dimana aku bisa merasakan kasih sayang ayahku yang begitu besar lewat buku Itu.

Aku menangis lebih kencang beberapa menit kemudian. Ketika aku sudah sepernuhnya sadar bahwa peristiwa itu hanya mimpi. Aku menangis karena aku tidak mau bangun dari mimpiku. Aku menangis karena kenyataan lebih pahit daripada mimpi itu. Aku menangis karena aku menyadari bahwa ayahku sudah lama tiada. Ia meninggal tahun lalu, di usianya yang ke-50 tahun.

Aku menyesal. Aku menyesal karena aku tidak sempat menyadari betapa ia menyayangiku selama ini. Aku menyesal karena aku belum bisa membahagiakannya sampai dihari terakhir ia menutup mata. Aku menyesal karena selama ini belum banyak hal yang aku tahu tentang dia. Sejuta kata menyesal pun lebur dalam tangisku pagi ini. Tetapi hanya satu hal yang sampai sekarang benar-benar membuatku menyesal.

Aku menyesal karena aku tidak pernah bisa mengatakan satu hal yang sangat sederhana kepadamu. Maafkan aku karena selama 20 tahun aku mengenalmu, aku belum pernah sekalipun mengatakannya. Aku menyayangimu, Ayah. Kami semua menyayangimu. May you rest in peace.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun