[caption id="attachment_244154" align="aligncenter" width="600" caption="Reruntuhan (dok pri)"][/caption] "Tempat-tempat wisata ini kan milik kita juga kenapa kita disuruh bayar juga ketika mengunjungi semisal Taman Sari, candi-candi yang ada di sekitar sini. Ini kan juga peninggalan nenek moyang kita berarti kita punya hak milik atas peninggalan mereka. Harusnya kita masuk ke sana gratis. Kalau turis asing suruh bayar ya wajar, mereka kan pendatang", kata seorang pria yang kemungkinan penduduk lokal kepada sekelompok anak SMA yang sedang duduk-duduk di reruntuhan Taman Sari. . [caption id="attachment_244155" align="aligncenter" width="600" caption="Salah satu sudut reruntuhan (dok pri)"]
[/caption] Saya hanya tersenyum geli mendengar orasi bapak tersebut, tentu saja karena saya sama sekali tidak setuju dengan pikirannya. Berapa banyak sih wisatawan mancanegara yang berkunjung ke tempat-tempat bersejarah semacam Taman Sari atau candi-candi yang ada di Jawa Tengah jika dibandingkan dengan wisatawan domestik terutama pelajar yang datang dari penjuru Pulau Jawa (bahkan penjuru nusantara) untuk  melihat dan mengagumi adikarya adiluhung bangsa kita di masa lampau tersebut? . [caption id="attachment_244156" align="aligncenter" width="480" caption="Gerbang bertingkat dilihat dari dalam (dok pri)"]
[/caption] Jawabannya tidak perlu mikir, tentu saja wisatawan domestik yang mendominasi kunjungan ke tempat-tempat wisata tersebut. Seandainya semua wisatawan domestik itu berpikiran seperti bapak di atas, dari mana pemerintah daerah memperoleh dana untuk merawat dan mengembangkan situs-situs sejarah yang menjadi daya tarik kunjungan wisata? . [caption id="attachment_244157" align="aligncenter" width="600" caption="lorong menuju Taman Sari (dok pri)"]
[/caption] Melestarikan dan mempertahankan situs-situs peninggalan sejarah seperti itu pasti  membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi pengelola butuh merekrut tenaga kerja yang mau bekerja merawat situs-situs tersebut. Siapa sih yang mau kerja tanpa dibayar? Lalu dari mana pengelola mendapatkan dana pemeliharaan kalau kita maunya gratisan melulu? . [caption id="attachment_244158" align="aligncenter" width="600" caption="Taman Sari tampak depan (dok Pri)"]
[/caption] Beranjak dari  tempat tersebut, kami (saya dan Mbak Anazkia) memasuki  reruntuhan di bagian dalam. Tempat tersebut tak berbeda dengan pertama kali saya mengunjunginya hampir setahun yang lalu, yang membedakan hanya coretan-coretan cat semprot di beberapa sisi dinding yang saya tidak begitu ngeh apa maksudnya. Masuk ke sisi kiri dari tempat kami masuk bahkan saya menemukan coretan-coretan spidol berupa nama-nama anak muda yang yang lagi dimabuk cinta. Saya hanya geleng-geleng tidak mengerti kenapa mereka harus melakukan vandalisme terhadap peninggalan sejarah yang seharusnya mereka lestarikan. . [caption id="attachment_244159" align="aligncenter" width="600" caption="Menyedihkan (dok pri)"]
[/caption] Kalau ingin punya kenangan dengan pacar di Taman Sari kan ada kamera yang bisa dipakai untuk mengabadikan bukti dari segala sisi bahwa mereka memang benar-benar pernah di sana berduaan. Kenapa harus mencoret-coret? Apa gunanya selain merusak pemandangan? Bergerak menuju bangunan Taman Sari yang bangunan beserta kolamnya terpelihara dengan baik lalu kami duduk-duduk sebentar  untuk melepaskan penat karena kami telah berjalan lumayan jauh. Perjalanan berawal di Stasiun Tugu menyusuri sepanjang Malioboro, menyeberangi Nol Kilometer  menuju Alun-Alun Utara, menengok sejenak Kraton lalu nekat meneruskan berjalan ke Taman Sari lewat belakang (lewat reruntuhan dahulu baru menuju ke pintu masuk utama). .
Di lapis pertama kami memotret sekitarnya lalu masuk ke ruangan bertingkat karena saya ingin melihat adakah perubahan selama setahun terakhir di sana. Saya masih ingat betul kalau tembok di ruangan teratas penuh coretan yang sangat merusak pemandangan. Sesampainya di sana, walau tidak terlalu terkejut tapi saya tidak bisa menyembunyikan kekecewaan melihat tembok Keputren penuh dengan coretan-coretan nama dengan spidol bahkan tulisan tak senonoh di beberapa titik. .
Saya bahkan menemukan seonggok sampah di pojokan. Rasanya miris melihat kelakuan generasi muda kita. Saya tak habis pikir apa mereka pernah mengenyam bangku sekolah atau tidak, bahkan untuk urusan yang seharusnya bisa dinalar oleh akal orang waras seperti ini saja mereka tak dapat mencerna. .
Saya melihat di beberapa titik Keputren telah tersedia tempat sampah, kenapa kok  tidak dimanfaatkan secara maksimal? Seprimitif itukah generasi muda kita? Lalu saya ingat lagi perkataan bapak yang kami temui di reruntuhan tentang peninggalan yang katanya milik kita bersama, cucu-cucu pembuatnya. Apakah rasa memiliki itu sebatas merasa itu tempat sendiri lalu seenaknya selonong boy tanpa bayar lalu masuk ke situs-situs wisata lalu dengan entengnya mencoret-coret apa saja yang bisa dicoret untuk menandai bahwa mereka pernah ke situ? Entah apakah saya terlalu mempermasalahkan hal yang remeh temeh ataukah memang generasi muda kita adalah generasi vandal?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya