Mohon tunggu...
Dwi Purwanti
Dwi Purwanti Mohon Tunggu... lainnya -

Iseng is my state of art

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Menikmati Keindahan Lamma Island Musim Gugur

6 Desember 2012   14:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:05 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1354779108217068186

Hong Kong mulai memasuki musim dingin sehingga udara terasa sejuk dengan belaian angin sepoi-sepoi yang cenderung kering. Entah karena kejenuhan melihat padatnya lalu lalang kendaraan bermotor dan juga arus pejalan kaki yang saya temui setiap hari atau mungkin udara yang tak lagi lembab, gerah dan panas atau kombinasi kedua hal tersebut, saya jadi bergairah untuk hiking. Bahkan sebulan yang lalu saya melewati hari libur saya dengan menjelajahi beberapa hiking trek yang tersedia di sini. Seperti biasa, hiking tak lengkap tanpa membawa serta kamera untuk mengabadikan hal-hal menarik yang mungkin saya temui sepanjang perjalanan nanti. Untuk tempat hiking kali ini, saya memilih Lamma Island. Sebuah pulau kecil yang terletak di sebelah selatan, tak jauh dari Hong Kong Island. [caption id="attachment_213113" align="aligncenter" width="595" caption="Dermaga di So Kwu Wan (Dok. Pri)"][/caption]

Rute hiking menghubungkan dua titik pelabuhan yang terdapat di Lamma Island yaitu Yung Shue Wan dan So Kwu Wan. Jalur yang ramai didatangi pelancong adalah Yung Shue Wan karena sisi tersebut lebih ramai, lebih banyak penduduk dan lebih berkembang dibanding So Kwu Wan yang cenderung sepi. Segala macam fasilitas seperti bank, perpustakaan, hotel (atau lebih tepatnya losmen) dan toko-toko terpusat di sana. Karena alasan perut, saya memutuskan untuk memulai perjalanan dari So Kwu Wan. Sebenarnya di So Kwu Wan juga terdapat beberapa restoran dan toko kelontong yang menjual makanan, juga beberapa penduduk lokal yang menjual kue tradisional tapi saya ingin makan kembang tahu (sweet beancurd dessert) yang hanya bisa ditemui di sekitar area pantai Hung Shing Yeh. Hiking kali ini saya mengajak serta sepupu saya sekaligus memperkenalkannya dengan seluk beluk Hong Kong agar nanti dia tidak hanya berkutat di sekitaran Causeway Bay tanpa menjelajahi sudut-sudut yang menawarkan keindahan alam. Kami naik feri dari Central yang memakan waktu sekitar 35 menit, tiket sekali jalan kira-kira HKD 28 atau kurang lebih Rp 35.000, tak begitu mahal. Dermaga So Kwu Wan sangat kecil jika dibandingkan dengan ferry pier di Yung Shue Wan. Tapi bukan masalah buat saya. Seturun dari kapal kami segera saja berjalan melewati jajaran restoran yang menyajikan makanan laut yang mengapit jalan sempit tempat orang berlalu lalang dari dan atau menuju dermaga. [caption id="" align="aligncenter" width="690" caption="Jalur Hiking yang terbuat dari beton (Dok.Pri)"][/caption] Tak jauh dari restauran kami bertemu seorang nenek yang menjajakan jajanan tradisional terbuat dari tepung ketan yang biasa disebut Cha Kuo. Cha Kuo ada dua rasa, manis dan gurih. Yang manis biasanya isi kacang cincang bercampur gula atau isi pasta kacang merah, sedangkan yang gurih berisi black eyed peas yang dicampur dengan ebi dan irisan daun bawang. Yum, enak apalagi dimakan ketika masih hangat. Sayangnya saya tidak sempat memotretnya karena keburu masuk perut :D [caption id="" align="aligncenter" width="594" caption="Tin Hau Temple di So Kwu Wan (Dok. Pri)"][/caption] Sambil menikmati gurihnya Cha Kuo, kami meneruskan berjalan sampai kami bertemu sebuah kuil. Kuil yang tak begitu besar itu tak sepi dari kunjungan baik peziarah maupun pelancong yang ingin sekedar berfoto di sana. Kuil ini disebut Tinhau Temple yang mengkhususkan menyembah Dewa Laut (sepengetahuan saya :D) dan kebetulan letaknya juga menghadap ke laut yang agak menjorok ke daratan dan terhubung dengan aliran sungai tak jauh dari kuil tersebut. Kami hanya singgah sebentar di sana lalu melanjutkan berjalan menyusuri jalan sempit yang terbuat dari beton yang mengarah ke jalur hiking ke sisi Lamma Island yang lain. Tak berapa lama kemudian kami sampai ke gua peninggalan jaman Jepang. Ada 2 buah gua buatan yang terdapat di sana, menurut cerita yang pernah saya dengar, pada Perang Dunia II tentara Jepang menyimpan senjata dan artileri serta peralatan perang lainnya di sana. Setelah Jepang kalah perang gua tersebut ditinggalkan begitu saja. [caption id="" align="aligncenter" width="595" caption="Gua peninggalan Jepang jaman PD II (Dok. Pri)"][/caption] Saya tidak tahu apakah ada yang iseng menjelajahi gua tersebut tapi saya tidak berani masuk ke dalam, hanya berdiri di mulut gua sambil mengamati interior gua yang kelihatannya tak begitu dalam. Lagipula lantai gua juga tergenang air yang kira-kira dalamnya 20 sampai 25 cm. Air berasal dari tetesan air yang menetes di dinding dan atap gua yang di atasnya terdapat hutan yang dipenuhi pepohonan. Gua ini juga berpenghuni yaitu ribuan kecebong yang besar-besar dan gemuk :D Tak ingin berlama-lama di gua, kami segera bergegas berjalan menyusuri jalan beton, melewati perumahan penduduk yang bentuknya mengingatkan saya dengan rumah-rumah di tanah air pada umumnya. Rumah tak bertingkat dengan pagar tanaman bunga, lengkap dengan halaman dan pohon-pohon buah. Serasa di tanah air. Kami juga bertemu rumah sederhana dengan kebun sayur mayur yang cukup luas di samping rumah. [caption id="" align="aligncenter" width="595" caption="Rumah penduduk dan kebunnya (Dok. Pri)"][/caption] Semakin jauh berjalan, hanya padang rumput yang kami temui atau deretan pohon dan rimbun semak belukar.Yang paling menyenangkan, ketika kami melewati jalan terbuka tanpa direcoki pepohonan sehingga kita dapat menikmati pemandangan laut lepas di sisi kanan jalan. [caption id="" align="aligncenter" width="594" caption="Pemandangan So Kwu Wan dari Hiking Trail (Dok. Pri)"][/caption] Sesekali kami berpapasan dengan rombongan pelancong baik lokal maupun asing. Banyak dari mereka yang berjalan searah dengan kami tapi tak sedikit juga yang datang dari arah berlawanan. Entah berapa lama kami berjalan, kami asyik ngobrol dan bercanda, ditambah jepret sana, jepret sini hingga tak terasa kami sampai di The Pavillion. Di The Pavillion kita disuguhi pemandangan laut lepas, tak ada pulau kecil yang terlihat, hanya laut berbatas cakrawala. Seandainya cuaca hari itu cerah dan langit indah, saya pasti nekat menunggu matahari terbenam di sana. [caption id="" align="aligncenter" width="595" caption="Pemandangan laut lepas dari The Pavillion (Dok. Pri)"][/caption] Karena takut kemalaman akhirnya dengan berat hati kami menyeret langkah untuk meneruskan perjalanan. Sampai di dekat pantai Hung Shing Yeh, kami berpapasan dengan rombongan remaja bersepeda yang menurut saya merupakan anak-anak ekspatriat penduduk lokal. Kami hampir mencapai pantai ketika saya melihat jalan setapak mengarah ke bebatuan karang di bawah sana. Dan seperti biasa, tanpa berpikir dua kali, saya meloncat dan menapaki jalan kecil yang licin dan curam demi memuaskan rasa ingin tahu. Sepupu saya terpaksa mengikuti langkah saya karena saya bilang di bawah ada karang landai yang bisa kami pakai untuk duduk sambil menunggu matahari yang tak lama lagi akan terbenam. [caption id="" align="aligncenter" width="460" caption="Ilalang (Dok. Pri)"][/caption] Ternyata saya salah besar! Bebatuan karang itu ternyata tak hanya enak untuk duduk-duduk tapi enak juga untuk tiduran! Saya sempat jatuh tertidur selama kurang lebih setengah jam. Kondisi badan yang kurang fit ditambah hangatnya matahari sore dan belaian angin laut serta dininabobokan oleh deburan ombak membuat saya tak kuat menahan kantuk dan saya tertidur dengan nyenyak walau hanya sebentar dan terbangun ketika sepupu saya bilang matahari mulai tenggelam. Tanpa ba bi bu saya keluarkan kamera saku saya dan berusaha mengambil foto terbaik. Cuaca yang tidak mendukung, langit pada hari itu tak mengijinkan saya mendapatkan foto sunset penuh warna seperti yang saya dapatkan di Cheung Chau bulan sebelumnya. Tapi tak apa, mendingan daripada tak mendapat foto sama sekali. [caption id="" align="aligncenter" width="621" caption="Bulat sempurna (Dok. Pri)"][/caption] Setelah matahari tenggelam sempurna, kami membereskan tas-tas kami dan bergegas menuju jalan utama menuju pelabuhan. Tapi kami sempatkan membeli kembang tahu yang lapaknya sudah diberesi, nenek penjualnya berbaik hati mau melayani kami dengan dua mangkok kembang tahu hangat. Setelah dari sana kami pun meneruskan langkah menuju ferry pier karena tak ingin kemalaman sampai di rumah. Satu lagi pengalaman menyenangkan untuk menghabiskan waktu libur dan rehat sejenak dari keramaian untuk menghirup udara segar nan bersih sekaligus memanjakan mata dengan pemandangan alam yang indah. Tulisan ini dibuat sebagai partisipasi kegiatan Kampretos. Klik link untuk membaca karya peserta lain. Salam Jepret :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun